Desa Wisata: Alternatif Menambah Pundi-pundi Desa

- Penulis

Senin, 18 Agustus 2025 - 11:01 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh Kurniawan Zulkarnain
Konsultan Pemberdayaan Masyarakat, Dewan Pembina Yayasan Pembangunan Mahasiswa Islam Insan Cita (YAPMIC) Ciputat

 

Kita memiliki ungkapan terkenal, “Indonesia bagaikan Jamrud di Khatulistiwa”. Ungkapan ini merupakan kiasan puitis yang menggambarkan keindahan sekaligus kekayaan alam Indonesia. Jamrud adalah batu permata berwarna hijau yang indah dan berharga, melambangkan kemewahan dan keelokan. Sementara itu, khatulistiwa menunjukkan posisi geografis Indonesia yang dilintasi garis ekuator.

Makna filosofis dari ungkapan tersebut menggambarkan panorama alam berupa pegunungan, pantai, hutan tropis, hingga terumbu karang. Kekayaan sumber daya tercermin dari mineral, flora-fauna unik, dan tanah yang subur. Selain itu, keragaman budaya hadir dalam wujud lebih dari 17.000 pulau, puluhan etnis dan bahasa, serta tradisi dan kearifan lokal yang beraneka ragam.

Anugerah Tuhan ini merupakan aset utama bangsa untuk mengembangkan berbagai program pembangunan demi kesejahteraan masyarakat, termasuk sektor pariwisata. Pemerintah telah mengembangkan sepuluh destinasi wisata unggulan yang mewakili keindahan tanah air dari Sabang hingga Merauke.

Di ujung timur, kita memiliki Raja Ampat di Papua Barat, surga wisata selam dengan keanekaragaman hayati laut terkaya di dunia. Di barat, ada Danau Toba dan Pulau Samosir di Sumatra Utara, danau vulkanik terbesar di dunia yang memadukan panorama indah dengan budaya Batak yang khas. Di tengah, terdapat Candi Borobudur di Jawa Tengah, warisan dunia UNESCO, serta Pulau Bali dengan pantai, pura, adat istiadat, dan budaya yang mendunia.

Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur dikenal dengan komodo dan destinasi bahari kelas dunia. Gunung Bromo di Jawa Timur menampilkan panorama matahari terbit yang menakjubkan. Di Sulawesi Tenggara, wisata bahari menawarkan keindahan terumbu karang, sementara di Sulawesi Utara terdapat taman laut tropis yang menjadi surga penyelam hingga kedalaman 30 meter.

Jika di tingkat nasional kita memiliki destinasi unggulan, di tingkat desa sesungguhnya sejak lama telah digagas konsep “menjual” keunggulan lokal. Keindahan gunung, sawah terasering, sungai, pantai, dan hutan, berpadu dengan budaya lokal seperti tarian tradisional, musik daerah, upacara adat, serta keramahan masyarakat desa. Tak ketinggalan kuliner khas berupa makanan dan minuman tradisional, serta kerajinan tangan seperti anyaman, batik, dan ukiran.

Bagi petualang, tersedia wisata trekking, tubing, arung jeram, hingga bersepeda. Semua ini dikemas dalam bentuk Desa Wisata, yaitu kawasan pedesaan yang menawarkan suasana asli desa dengan potensi alam, budaya, dan kearifan lokal yang dikelola secara terpadu. Desa wisata pada umumnya berbasis masyarakat (community-based tourism), sehingga keuntungan ekonominya dapat dinikmati langsung oleh warga desa setempat.

 

Pengembangan Desa Wisata: Peluang dan Tantangan

Pembelajaran dari Desa Wisata Ponggok (Klaten, Jawa Tengah) dan Desa Wisata Penglipuran (Bangli, Bali) menunjukkan tahapan pendirian yang penting:

  1. Identifikasi potensi melalui survei alam, budaya, dan SDM calon pengelola.
  2. Menentukan segmen wisatawan, baik lokal maupun mancanegara.
  3. Musyawarah Desa (Musdes) untuk menyepakati pendirian desa wisata dengan melibatkan pemangku kepentingan.
  4. Pelatihan SDM mencakup keramahtamahan, komunikasi, bahasa asing dasar, serta pemasaran digital.
  5. Penguatan infrastruktur: akses jalan, kebersihan, area parkir, toilet, papan informasi, promosi digital, situs web, kerja sama dengan agen perjalanan, dan event khas tahunan.
  6. Kolaborasi dengan pemerintah daerah, perguruan tinggi, komunitas, dan investor lokal.

Menurut Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) dan Jejaring Desa Wisata (Jadesta), hingga 2024 terdapat 4.674 desa wisata rintisan resmi. Angka ini terus bertambah; tercatat 6.016 desa wisata mengikuti program Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI). Pada 21 Oktober 2024, Jadesta mencatat 6.026 desa wisata dengan rincian: 4.687 rintisan, 992 berkembang, 314 maju, dan 33 mandiri. Padahal, Indonesia memiliki 84.276 desa dan kelurahan yang tersebar di seluruh Nusantara. Ini menunjukkan peluang pengembangan desa wisata masih sangat terbuka.

Baca Juga:  Beras Berlapis Digital: Solusi Transparansi atau Beban Baru Rantai Pangan?

Keberadaan desa wisata memberi manfaat bagi pemerintah desa dan masyarakat. Pemerintah desa memperoleh tambahan pendapatan asli desa (PADes) dari tiket masuk dan parkir. Warga sekitar mengembangkan homestay, menjual kuliner, kerajinan, hingga cenderamata. Lapangan kerja baru terbuka, mulai dari pemandu wisata, pengelola homestay, penjual makanan, pengrajin, hingga penyedia jasa fotografi, penyewaan alat petualangan, dan transportasi lokal.

Peluang lain adalah pengembangan SDM, pelestarian budaya, serta diversifikasi ekonomi desa agar tidak semata bergantung pada pertanian. Namun, tantangan juga hadir: keterbatasan infrastruktur, lemahnya SDM, minimnya promosi digital, serta risiko kehilangan keaslian budaya bila pariwisata terlalu dikomersialisasi. Jika tidak dikelola bijak, desa wisata bisa menghadapi konflik sosial, perubahan gaya hidup, hingga kerusakan lingkungan.

 

Pemberdayaan Masyarakat: Memperkuat Kapasitas Desa Wisata

Pemberdayaan desa wisata adalah upaya sistematis meningkatkan kapasitas agar desa mampu berkembang secara mandiri, berkelanjutan, dan memberi manfaat nyata bagi masyarakat. Tujuannya meningkatkan kualitas SDM dan kelembagaan melalui pelatihan, pendampingan, dan penguatan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis).

Ada empat pilar penting penguatan desa wisata:

  1. Kelembagaan yang kuat, transparan, dan akuntabel, termasuk aturan main, SOP, tata kelola, dan pembagian hasil yang jelas.
  2. SDM mumpuni, melalui pelatihan pemandu wisata, manajemen, kuliner, kebersihan, hingga kemampuan komunikasi dan bahasa asing.
  3. Produk wisata unggulan, berupa paket wisata tematik (budaya, alam, edukasi, petualangan) dan keunikan lokal.
  4. Identitas digital, berupa situs web, media sosial, Google Maps, pemasaran kreatif, serta kolaborasi dengan platform daring dan influencer.

Kolaborasi lintas pihak menjadi kunci: pemerintah, masyarakat, dunia usaha, akademisi, LSM, hingga wisatawan. Prinsip yang perlu dijaga adalah partisipasi inklusif, transparansi, keberlanjutan, serta keadilan dalam distribusi hasil.

 

Cerita Sukses Dua Desa Wisata

Desa Wisata Ponggok – Klaten, Jawa Tengah
Dulu, Ponggok adalah desa tertinggal dengan sumber daya terbatas. Kini, berkat BUMDes Tirta Mandiri dan dukungan karang taruna, Ponggok menjadi destinasi wisata air unggulan. Umbul Ponggok dikembangkan menjadi wisata selam dengan atraksi foto bawah air menggunakan properti unik. Dana Desa digunakan tepat sasaran untuk infrastruktur, pelatihan, dan promosi.

BUMDes Ponggok menghasilkan omzet miliaran rupiah per tahun. Warga mendapat pekerjaan baru sebagai pemandu, fotografer bawah air, hingga penyedia homestay. Sebagian keuntungan digunakan untuk pembangunan desa dan beasiswa. Promosi berbasis media sosial terbukti efektif, mendatangkan omzet hingga Rp12 miliar per tahun.

Desa Wisata Penglipuran – Bangli, Bali
Desa ini dikenal dunia karena kebersihannya. Arsitektur tradisional Bali Aga terjaga, lingkungan bambu lestari, dan adat istiadat tetap hidup. Pengelolaan berbasis masyarakat membuat keuntungan wisata kembali ke warga.

Pada 2023, Desa Penglipuran dikunjungi hampir 960.000 wisatawan dengan pendapatan Rp25,8 miliar. Desa ini meraih predikat salah satu dari 54 Best Tourism Villages dunia versi UNWTO, dan sebelumnya memperoleh Kalpataru (1995) serta pengakuan sebagai salah satu desa terbersih di dunia.

 

Kisah sukses Ponggok dan Penglipuran menunjukkan kunci keberhasilan desa wisata: konsistensi menjaga kearifan lokal, partisipasi aktif masyarakat, kelembagaan yang kuat, kolaborasi lintas pihak, serta keseimbangan antara pelestarian budaya dan lingkungan dengan komersialisasi wisata.

Wallahu ‘Alam bi Sawab

Sumber: Kemenparekraf, Jadesta, Angkasa News, Radar Solo, Kenaldesa.id, Balipost, Radar Bali, dan Jawa Pos.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Follow WhatsApp Channel djourno.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Warisan Pemikiran Ekonomi Syafruddin Prawiranegara
Gerakan Protes Rakyat Pati: Sebuah Analisis Sosiologis
Kebijakan Pencegahan Korupsi Jangan Berhenti di Level Formalitas
PBB 250 Persen Batal: Kemenangan Rakyat atau Cermin Buram Kebijakan?
Jejak Langkah dan Pemikiran Politik Mohammad Natsir
Beras Berlapis Digital: Solusi Transparansi atau Beban Baru Rantai Pangan?
Refleksi 80 Tahun Indonesia: Antara Realita dan Impian
Memblokir Rekening Dormant: Solusi atau Beban Baru bagi Masyarakat?

Berita Terkait

Jumat, 29 Agustus 2025 - 13:28 WIB

Warisan Pemikiran Ekonomi Syafruddin Prawiranegara

Sabtu, 23 Agustus 2025 - 13:17 WIB

Gerakan Protes Rakyat Pati: Sebuah Analisis Sosiologis

Sabtu, 23 Agustus 2025 - 10:56 WIB

Kebijakan Pencegahan Korupsi Jangan Berhenti di Level Formalitas

Senin, 18 Agustus 2025 - 11:01 WIB

Desa Wisata: Alternatif Menambah Pundi-pundi Desa

Minggu, 10 Agustus 2025 - 13:48 WIB

PBB 250 Persen Batal: Kemenangan Rakyat atau Cermin Buram Kebijakan?

Berita Terbaru

Kolom

Warisan Pemikiran Ekonomi Syafruddin Prawiranegara

Jumat, 29 Agu 2025 - 13:28 WIB