Oleh Anis Fauzan
Advokat dan Founding Partner Ideality Law Firm
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) baru-baru ini mengumumkan kebijakan pemblokiran rekening dormant—rekening bank yang tidak aktif dalam jangka waktu tertentu, misalnya tiga bulan.
Kebijakan ini digambarkan sebagai upaya proaktif untuk mencegah tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan melindungi masyarakat.
Namun, alih-alih menjadi solusi, kebijakan ini justru ibarat melepas kepala ular sambil memegang erat buntutnya: ular hanya berputar-putar tanpa bisa mematuk, tetapi tetap menimbulkan keresahan.
PPATK beralasan bahwa pemblokiran rekening dormant bertujuan untuk mendeteksi dini potensi TPPU dan melindungi masyarakat dari penyalahgunaan rekening.
Dalam berbagai pemberitaan, PPATK menyebutkan bahwa rekening yang tidak aktif rentan dimanfaatkan untuk aktivitas ilegal, seperti menyamarkan aliran dana hasil kejahatan.
Sekilas, niat ini tampak mulia. Namun, jika ditelusuri lebih jauh, kebijakan ini menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
TPPU bukanlah kejahatan sederhana. Untuk menjerat seseorang dengan pasal TPPU, harus ada predicate crime atau tindak pidana awal yang terbukti, seperti korupsi, perdagangan orang, penyelundupan narkoba, atau salah satu dari 11 kategori kejahatan lain yang diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Proses pembuktian predicate crime ini sendiri sudah sangat kompleks, melibatkan koordinasi antarlembaga penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dengan kata lain, TPPU bukanlah kejahatan yang bisa dideteksi hanya dengan melihat status aktif atau tidaknya sebuah rekening.
Kewenangan PPATK Sudah Cukup
PPATK memiliki mandat kuat untuk memantau dan menganalisis transaksi keuangan yang mencurigakan.
Lembaga ini memiliki akses untuk “mengintip” rekening nasabah, menganalisis pola transaksi, dan memetakan potensi pelanggaran tanpa perlu langkah ekstrem seperti memblokir rekening secara massal.
Data transaksi yang dikumpulkan PPATK—baik dari bank, lembaga keuangan non-bank, hingga penyedia jasa keuangan lainnya—sudah cukup untuk mendeteksi aktivitas mencurigakan.
Misalnya, transaksi yang tidak sesuai dengan profil nasabah, transfer dana dalam jumlah besar ke negara berisiko tinggi, atau pola transaksi yang tidak wajar.
Jika PPATK sudah memiliki alat analisis yang canggih dan kewenangan yang luas, mengapa harus mengambil langkah yang menyulitkan masyarakat?
Memblokir rekening dormant tanpa analisis mendalam justru terkesan sebagai solusi instan yang kurang terarah.
Rekening dormant bisa saja milik warga biasa yang, misalnya, sedang bekerja di luar negeri, memiliki tabungan darurat, atau bahkan lupa mengaktifkan rekening karena kesibukan.
Apakah mereka harus kehilangan akses ke dana mereka hanya karena rekeningnya tidak aktif selama tiga bulan?
Karena itu, kebijakan ini berpotensi menciptakan beban baru bagi masyarakat. Bayangkan seorang pekerja migran yang menyimpan dana di rekening untuk keluarganya di kampung halaman, tetapi rekening tersebut tidak digunakan dalam waktu tertentu.
Atau seorang lansia yang memiliki tabungan di bank, tetapi jarang bertransaksi karena keterbatasan fisik. Pemblokiran rekening mereka tanpa pemberitahuan yang memadai atau proses yang transparan bisa memicu kepanikan dan ketidakpercayaan terhadap sistem perbankan.
Belum lagi, proses pembukaan blokir rekening kemungkinan akan melibatkan birokrasi yang tidak sederhana. Nasabah harus menghubungi bank, menyediakan dokumen, dan mungkin melalui verifikasi berlapis.
Bagi masyarakat di daerah terpencil dengan akses terbatas ke layanan perbankan, ini menjadi beban tambahan. Ironisnya, kebijakan yang diklaim untuk melindungi masyarakat justru berisiko menyulitkan mereka.
Efektivitas yang Dipertanyakan
Kritik utama terhadap kebijakan ini adalah efektivitasnya. Memblokir rekening dormant tidak secara otomatis mencegah TPPU.
Pelaku TPPU biasanya menggunakan rekening aktif dengan pola transaksi yang dirancang untuk menyamarkan asal-usul dana.
Mereka mungkin menggunakan rekening mule (rekening boneka) yang sengaja dibuat aktif untuk menghindari deteksi. Dengan kata lain, fokus pada rekening dormant justru bisa menjadi pengalihan dari tugas utama PPATK: menganalisis transaksi mencurigakan secara mendalam.
PPATK seharusnya lebih mengoptimalkan teknologi dan intelijen keuangan untuk memetakan pola TPPU, seperti transaksi berulang dalam jumlah kecil, transfer lintas negara yang tidak wajar, atau penggunaan perusahaan cangkang.
Dengan sumber daya yang dimiliki, PPATK mampu melakukan analisis prediktif untuk mendeteksi kejahatan keuangan tanpa harus mengorbankan kenyamanan masyarakat.
Di samping itu, sebagai lembaga yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden, PPATK memiliki posisi strategis.
Kepala PPATK ditunjuk langsung oleh Presiden tanpa melalui proses fit and proper test di DPR, yang menunjukkan betapa besarnya kepercayaan yang diberikan kepada lembaga ini.
Namun, dengan kuasa yang besar, datang pula tanggung jawab yang besar pula. Kebijakan yang kontroversial seperti pemblokiran rekening dormant bisa merusak kepercayaan publik terhadap PPATK, terutama jika tidak disertai dengan komunikasi yang jelas dan alasan yang kuat.
Masa jabatan Kepala PPATK saat ini diperkirakan berakhir pada 2026. Di sisa waktu yang ada, sebaiknya PPATK fokus pada langkah-langkah yang memperkuat reputasinya sebagai lembaga yang efektif dan pro-rakyat.
Kebijakan yang terkesan reaktif atau terburu-buru justru bisa memicu polemik yang tidak perlu, apalagi di tengah kondisi ekonomi yang masih menantang pasca pandemi.
Pemblokiran rekening dormant mungkin dimaksudkan sebagai langkah preventif, tetapi tanpa analisis yang mendalam dan komunikasi yang baik, kebijakan ini justru bisa menjadi bumerang.
Mari dorong PPATK untuk bekerja lebih cerdas, bukan sekadar lebih keras, demi menciptakan sistem keuangan yang aman, adil, dan berpihak pada rakyat.
Dengan demikian, PPATK dapat mengakhiri tugasnya dengan husnul khatimah, meninggalkan jejak yang membanggakan bagi bangsa.