djourno.id — Di tengah gemerlap lampu Sudirman-Thamrin yang menyambut HUT Jakarta ke-498 pada 22 Juni lalu, ibu kota ini tak hanya merayakan usia, tetapi juga harapan baru.
Duet Gubernur Pramono Anung dan Wakil Gubernur Rano Karno, yang baru seratus hari lebih menakhodai Jakarta, telah menorehkan catatan manis di hati warga.
Survei Litbang Kompas (10-14 Juni 2025) mengungkapkan 64,5 persen warga puas dengan kinerja Pramono, sementara 57,5 persen memberikan acungan jempol untuk Rano.
Namun, di balik angka-angka itu, ada cerita tentang tantangan, harapan, dan kerja keras yang masih menanti untuk mewujudkan Jakarta sebagai kota global.
Langkah Awal yang Menggembirakan
Pagi di Jakarta selalu sibuk. Jalanan dipenuhi deru kendaraan, pedagang kaki lima berlomba menjajakan dagangan, dan warga bergegas mengejar waktu. Di tengah hiruk-pikuk itu, Pramono dan Rano bergerak cepat.
Dalam waktu singkat, mereka telah meluncurkan program revitalisasi ruang publik, seperti taman-taman kota yang kini jadi oase bagi keluarga Jakarta. Program pelestarian budaya Betawi juga mulai terasa, dengan festival seni dan pasar tradisional yang menggema di kampung-kampung.
“Saya suka lihat Jakarta sekarang lebih ramah buat warga biasa. Taman di dekat rumah saya jadi tempat anak-anak main, dulu cuma lahan kosong,” ujar Siti, ibu rumah tangga dari Tanjung Priok.
Survei Litbang Kompas menegaskan sentimen positif ini. Kepuasan warga merata, dari kalangan bawah hingga atas, dengan Pramono dinilai merakyat (5,7 persen) dan profesional (5,6 persen).
Rano, dengan kharisma kebintangannya, dianggap populer (17,2 persen) dan peduli pada identitas Betawi.
Citra positif mereka melonjak tinggi: 88,4 persen warga memandang Pramono dengan hormat, sementara 89,5 persen mengangguk setuju pada Rano. Angka-angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cerminan langkah awal yang meyakinkan.
Bayang-Bayang Kritik dari Generasi Produktif
Namun, Jakarta bukanlah kota yang mudah ditaklukkan. Di balik pujian, ada sorotan kritis, terutama dari kelompok Gen Y (28-43 tahun).
Survei menunjukkan bahwa warga usia produktif ini cenderung lebih skeptis, dengan 30,1 persen kurang puas terhadap Pramono dan 32,9 persen terhadap Rano.
Mengapa? Tekanan ekonomi menjadi salah satu jawabannya. Financial Fitness Index 2024 mencatat kekhawatiran milenial Jakarta akan biaya hidup yang melonjak, sulitnya akses pekerjaan, hingga ancaman perubahan iklim.
“Gaji saya habis buat sewa dan kebutuhan sehari-hari. Banjir di musim hujan kemarin masih bikin was-was,” keluh Bima, seorang pekerja swasta di Cikini.
Kelompok sosial-ekonomi atas juga menunjukkan sikap kritis. Mereka mengharapkan terobosan besar, seperti solusi jangka panjang untuk kemacetan dan banjir—dua momok klasik Jakarta.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta per Juli 2025 mencatat indeks kemacetan turun 3,2 persen berkat perluasan transportasi publik, tetapi warga masih merasa waktu tempuh di jalanan terlalu lama.
Banjir, meski frekuensinya berkurang, masih menghantui kawasan seperti Kelapa Gading dan Pluit.
Kinerja di Bawah Sorotan
Pramono dan Rano tak tinggal diam. Program unggulan mereka, seperti normalisasi kali dan pengembangan MRT fase baru, mulai berjalan, meski hasilnya belum sepenuhnya terasa.
“Kami sedang bekerja keras untuk menyelesaikan masalah banjir. Ini butuh waktu, tapi kami komitmen,” ujar Pramono dalam wawancara di Balai Kota, pekan lalu.
Rano, di sisi lain, gencar mempromosikan budaya Betawi, seperti menggelar festival Ondel-Ondel yang sukses menarik ribuan wisatawan lokal.
Namun, survei juga menyoroti kekurangan: 12,2 persen warga merasa Pramono kurang turun ke masyarakat, dan 10,3 persen menilai Rano perlu lebih dekat dengan warga.
“Programnya bagus, tapi saya pengin lihat gubernur kami lebih sering di lapangan,” ujar Dedi, sopir ojek online dari Kemayoran.
Menuju Jakarta Kota Global
Jakarta, di usianya yang nyaris lima abad, sedang berlari menuju visi kota global. Pemandangan dari gedung-gedung tinggi di Sudirman-Thamrin menunjukkan wajah metropolis yang dinamis.
Namun, untuk sampai ke sana, Pramono-Rano harus menjawab tantangan besar: menyelesaikan persoalan banjir dan kemacetan sembari mendorong inklusivitas sosial.
“Kami ingin Jakarta jadi kota yang tak hanya megah, tapi juga nyaman untuk semua,” tegas Rano dalam pidato HUT Jakarta.
Apresiasi publik adalah modal berharga. Namun, seperti yang ditunjukkan survei, kepuasan belum sepenuhnya sejalan dengan citra positif keduanya.
Legitimasi politik mereka bergantung pada kinerja nyata, bukan hanya ketokohan. Dengan lima tahun ke depan, duet ini punya waktu untuk membuktikan bahwa Jakarta bisa lebih dari sekadar ibu kota—melainkan kota yang merangkul semua warganya, dari kampung Betawi hingga gedung pencakar langit.
Kinerja Pramono-Rano ibarat fondasi rumah yang baru dibangun: kokoh, tapi belum lengkap.
Apresiasi warga adalah angin segar, tetapi sorotan kritis dari generasi produktif dan kalangan elite menjadi pengingat bahwa Jakarta menanti terobosan.
Di bawah langit ibu kota yang terus berubah, langkah mereka akan terus disorot—dan waktu akan menjadi penutup cerita apakah Jakarta benar-benar bisa menjadi kota global yang diimpikan.