Mengurai Kegaduhan DPR: Antara Kekecewaan Publik dan Miskomunikasi

- Penulis

Kamis, 28 Agustus 2025 - 09:27 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

djourno.id–Di studio podcast Curhat Bang milik Denny Sumargo, suasana hangat namun penuh makna tercipta saat dua narasumber, Sigit Purnomo Said—lebih dikenal sebagai Pasha Ungu, anggota DPR RI—dan Ferry Irwandi, perwakilan suara rakyat, berbincang tentang dinamika terkini yang mengguncang DPR.

Dengan gaya santai, mereka membedah isu demonstrasi yang baru-baru ini membanjiri berita, mulai dari rumor kenaikan tunjangan hingga protes pajak yang memicu kemarahan. Di balik canda dan sindiran, obrolan ini adalah cerminan nyata dari ketegangan antara rakyat dan wakilnya, sekaligus panggilan untuk komunikasi yang lebih baik.

 

Tunjangan Kehormatan yang Mengguncang Kepercayaan

“Kalau kehormatan pakai tunjangan, kita nggak perlu hormat lagi, dong?” ujar Ferry dengan nada setengah bercanda, langsung mengena. Isu kenaikan “tunjangan kehormatan” anggota DPR, yang dikabarkan mencapai Rp3 juta per hari, menjadi pemicu utama kemarahan publik.

Angka ini, yang konon berasal dari pernyataan seorang wakil ketua DPR, bagaikan bensin yang menyulut api keresahan. Namun, Pasha buru-buru meluruskan. “Saya sendiri bingung, dari mana angka Rp3 juta itu? Saya cari-cari berita, nggak ketemu!” katanya, setengah tertawa namun dengan raut serius.

Kebingungan ini bukan cuma milik Pasha. Bahkan di kalangan anggota DPR, informasi soal kenaikan tunjangan ini kabur. “Tunjangan perumahan, komunikasi, transportasi itu sudah ada sejak awal kami dilantik. Tapi kenaikan? Belum ada,” tegas Pasha.

Namun, di tengah ekonomi yang sulit—dengan lapangan kerja yang kian sempit dan harga kebutuhan pokok melonjak—kabar ini terasa seperti tamparan. Ferry menangkap sentimen publik: “Mungkin 90% rakyat Indonesia lihat ini negatif. Sisanya? Ya, anggota DPR atau keluarganya.” Tawa kecil menggema, tapi realitasnya pahit: kepercayaan publik pada DPR sedang di ujung tanduk.

 

Dari Joget Viral hingga Pajak yang Membakar

Kemarahan masyarakat tak berhenti pada isu tunjangan. Sebuah video viral menunjukkan anggota DPR berjoget riang dalam acara resmi MPR, saat pidato kenegaraan Presiden Prabowo Subianto.

Bagi Pasha, ini hanyalah spontanitas manusiawi—respons terhadap lagu daerah yang dimainkan mahasiswa Universitas Pertahanan. “Mereka cuma gembira, pidato Pak Prabowo luar biasa,” bela Pasha. Namun, bagi publik, joget ini adalah simbol ketidakpekaan. “Di saat rakyat susah, kok malah joget?” keluh Ferry, mewakili suara yang bergema di media sosial.

Api protes kian membesar di Pati, Jawa Tengah, di mana kenaikan pajak properti (NJOP) hingga 250% memicu demonstrasi besar. “Kenaikan segitu, tanpa sosialisasi, bikin orang syok,” kata Ferry, yang pernah bekerja di pemerintahan.

Ia menjelaskan bahwa penyesuaian NJOP memang lumrah, tapi kenaikan drastis tanpa melibatkan tokoh masyarakat atau akademisi adalah resep bencana. Respons pejabat lokal yang menantang warga—“Kalau Rp50.000 aja nggak sanggup, ke sini!”—membuat situasi kian memanas.

Gas air mata dan bentrokan pun tak terelakkan. “Ini soal respons yang salah,” tegas Ferry. “Kalau dari awal ada empati, mungkin nggak akan sepanas ini.”

Seruan ekstrem pun muncul: “Bubarkan DPR!” Pasha mengingatkan bahwa tuntutan ini, meski penuh emosi, berbahaya. “Di era Soekarno pernah terjadi, hasilnya malah fasisme,” katanya.

Trias politika—eksekutif, legislatif, yudikatif—adalah tulang punggung demokrasi. Membubarkan DPR berisiko menciptakan kekosongan kekuasaan. Namun, Ferry menegaskan bahwa kemarahan ini bukan tanpa sebab.

Masyarakat merasa suara mereka tak didengar, dan DPR, yang seharusnya jadi jembatan aspirasi, justru terasa asing.

 

DPR Bekerja, Tapi Siapa yang Melihat?

Baca Juga:  Dari Kaki Lima Hingga Pasar Global: QRIS, Revolusi Digital Kebanggaan Indonesia

Di tengah kritikan pedas, Pasha berusaha menegaskan bahwa DPR tidak diam. “Kalau DPR nggak bekerja, program pemerintah nggak akan jalan,” tegasnya.

Ia mencontohkan upaya DPR menangani antrean haji yang mencapai 49 tahun di beberapa daerah, hingga pengawasan kuota dan petugas haji.

“Kami kerja sampai jam 12 malam untuk urusan seperti RUU Haji,” tambahnya. DPR juga berperan dalam mendukung program pemerintah, seperti hilirisasi ekonomi dan ketahanan pangan, yang disebut sukses dalam 10 bulan pemerintahan Prabowo.

Namun, mengapa kerja keras ini tak sampai ke telinga rakyat? “Satu kesalahan kecil merusak semuanya,” keluh Pasha.

Video joget atau rumor tunjangan lebih mudah viral ketimbang laporan tentang undang-undang yang disahkan. Ferry menambahkan, “Masyarakat cuma nangkap yang negatif. DPR perlu jembatan komunikasi yang lebih baik.”

Sebagai representasi rakyat—dari Jakarta Barat hingga pelosok desa—DPR seharusnya bisa membanggakan kerja mereka. Tapi tanpa komunikasi yang efektif, semua tenggelam dalam lautan kritik.

 

Komunikasi yang Terputus, Empati yang Hilang

Inti dari kegaduhan ini, menurut Ferry, adalah kegagalan komunikasi. “Kuping anggota DPR terlalu tipis,” katanya blak-blakan.

Respons defensif, seperti menyebut pengunjuk rasa bodoh atau menantang mereka, hanya memperbesar api. Di Pati, sikap arogan pejabat menjadi contoh nyata.

“Padahal, kalau bilang, ‘Kami salah, kami perbaiki,’ mungkin selesai,” ujar Ferry. Ia menekankan bahwa pejabat publik harus belajar mendengar sebelum berbicara.

Kesenjangan komunikasi juga terlihat dari pernyataan yang saling bertentangan di kalangan DPR. “Satu bilang begini, yang lain bilang begitu. Rakyat jadi merasa digaslight,” kritik Ferry.

Ia menyarankan adanya “satu pintu” komunikasi yang terstruktur untuk memastikan kejelasan. Lebih dari itu, empati adalah kunci. “Kami dibayar dari pajak rakyat,” Ferry mengingatkan.

“Tugas kami bukan jaga citra, tapi kerja dengan jujur.” Pasha setuju, meski dengan nada hati-hati. “Kami juga manusia, kadang keseleo lidah,” candanya, merujuk pada pernyataan kontroversial yang memicu kemarahan. Ia mengakui bahwa DPR perlu lebih waspada, terutama di tengah situasi sensitif.

 

Jalan ke Depan: Menjembatani Rakyat dan DPR

Obrolan di Curhat Bang ini bukan sekadar curhat, melainkan panggilan untuk perubahan. Ferry, dengan pengalamannya di pemerintahan, menawarkan solusi sederhana: dengarkan, akui kesalahan, dan perbaiki.

“Minta maaf itu nggak menyakiti siapa pun,” katanya. Ia bermimpi DPR menjadi lembaga yang disukai rakyat.

“Bayangkan kalau DPR selesaikan undang-undang yang mandek, seperti perlindungan rumah tangga atau perampasan aset koruptor. Rakyat pasti apresiasi,” ujarnya penuh semangat.

 

Pasha mengangguk. “Kami cinta rakyat. Kalau nggak, nggak akan ada revisi undang-undang yang menyesuaikan zaman,” katanya.

Ia mencontohkan program pintu terbuka untuk aspirasi masyarakat, meski mengakui respons sering tersendat birokrasi. Untuk itu, ia setuju perlunya komunikasi yang lebih terbuka dan empatik. “Kritik itu cambuk, bukan musuh,” tambahnya.

Di akhir obrolan, analogi pernikahan muncul. Hubungan DPR dan rakyat ibarat suami-istri: tanpa komunikasi yang baik, perceraian mengintip.

“Partisipasi pemilu terus turun,” Ferry memperingatkan. “Kalau rakyat merasa nggak didengar, mereka bisa ‘cerai’ dari demokrasi.”

Untuk mencegah itu, DPR harus membangun jembatan—bukan tembok—dengan rakyat.

Dengan mendengar lebih banyak, berbicara dengan hati, dan menunjukkan kerja nyata, DPR bisa mengubah narasi negatif menjadi harapan baru.

Seperti kata Ferry, “Kerja bagus, komunikasi bagus. Itu saja sudah cukup.”

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Follow WhatsApp Channel djourno.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Potret Kemarahan Publik di Media Sosial ke DPR yang Memicu Gelombang Demonstrasi
Presiden Prabowo Respons Tragedi Affan Kurniawan dengan Keprihatinan dan Janji Keadilan
Malu Noel Ditangkap KPK: Komitmen Prabowo Berantas Korupsi Diapresiasi Publik
Paradoks Kebijakan Perberasan: Antara Petani, Penggilingan, dan Konsumen
Pembentukan Kementerian Haji dan Umrah: Langkah Berani Atasi Sengkarut Tata Kelola
Mampukah Dasco Kembali Meredam Kemarahan Publik ke DPR?
Harapan di Balik Seruan Bubarkan DPR
Dari Gula Petani ke Whoosh: Bagaimana Danantara Menggerakkan Roda Ekonomi Indonesia

Berita Terkait

Jumat, 29 Agustus 2025 - 13:59 WIB

Potret Kemarahan Publik di Media Sosial ke DPR yang Memicu Gelombang Demonstrasi

Jumat, 29 Agustus 2025 - 13:42 WIB

Presiden Prabowo Respons Tragedi Affan Kurniawan dengan Keprihatinan dan Janji Keadilan

Kamis, 28 Agustus 2025 - 15:12 WIB

Malu Noel Ditangkap KPK: Komitmen Prabowo Berantas Korupsi Diapresiasi Publik

Kamis, 28 Agustus 2025 - 09:27 WIB

Mengurai Kegaduhan DPR: Antara Kekecewaan Publik dan Miskomunikasi

Rabu, 27 Agustus 2025 - 12:25 WIB

Pembentukan Kementerian Haji dan Umrah: Langkah Berani Atasi Sengkarut Tata Kelola

Berita Terbaru

Kolom

Warisan Pemikiran Ekonomi Syafruddin Prawiranegara

Jumat, 29 Agu 2025 - 13:28 WIB