Paradoks Kebijakan Perberasan: Antara Petani, Penggilingan, dan Konsumen

- Penulis

Rabu, 27 Agustus 2025 - 12:36 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

djourno.id – Kebijakan perberasan nasional menjadi sorotan dalam diskusi publik bertajuk “Paradoks Kebijakan Hulu-Hilir Perberasan Nasional” yang diselenggarakan Ombudsman Republik Indonesia secara hibrida di Jakarta, Selasa (26/8).

Diskusi yang dibuka oleh anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menghadirkan lima pembicara: Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas) I Gusti Ketut Astawa, Kepala Satuan Tugas Pangan Polri Brigjen (Pol) Helfi Assegaf, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University Dwi Andreas Santosa, pengamat sosial ekonomi pertanian Ahmad Alamsyah Saragih, dan pengamat pertanian Khudori.

Diskusi ini mengungkap sejumlah kelemahan dalam kebijakan perberasan yang dinilai tidak hanya memengaruhi petani, tetapi juga penggilingan padi dan konsumen.

 

Kebijakan Gabah “Any Quality” dan Dampaknya

Salah satu kebijakan yang menjadi sorotan adalah pembelian gabah kering panen (GKP) dengan standar “any quality” seharga minimal Rp 6.500 per kilogram sesuai harga pembelian pemerintah (HPP).

Menurut Khudori, kebijakan ini memicu perilaku yang merugikan. Petani, misalnya, memanen padi sebelum waktunya atau sengaja membiarkan gabah berkualitas baik kehujanan untuk menambah berat saat dijual. Akibatnya, rendemen gabah menurun, menghasilkan beras berkualitas rendah dan volume produksi yang lebih kecil.

“Jika penurunan produksi beras mencapai 1-2 persen, ini cukup signifikan. Pasokan ke pasar pun menjadi lebih kecil dari yang diprediksi,” ujar Khudori.

Kebijakan ini juga meningkatkan biaya produksi beras, yang pada gilirannya mendorong kenaikan harga. Namun, pemerintah tidak menyesuaikan harga eceran tertinggi (HET) beras medium dan premium, sehingga penggilingan padi terpaksa menjual beras dengan harga di bawah biaya produksi.

“Ini kebijakan regresif yang menekan margin keuntungan penggilingan padi, membuat mereka kesulitan bertahan,” tambah Khudori. Tanpa insentif, penggilingan padi kecil dan menengah juga kesulitan menyimpan stok gabah atau beras, yang berpotensi memperkecil pasokan beras di pasar.

 

Ketimpangan Manfaat bagi Petani

Dwi Andreas Santosa mengakui bahwa kebijakan pembelian gabah “any quality” menguntungkan petani secara finansial. Namun, kebijakan ini justru melemahkan motivasi petani yang berupaya menghasilkan gabah berkualitas tinggi.

Ia juga menyoroti pembatasan harga pembelian GKP di kisaran Rp 6.500-Rp 7.000 per kilogram, yang menyebabkan petani gagal menjual gabah di atas harga tersebut. “Kebijakan ini responsif, tetapi tidak sepenuhnya mendukung petani yang ingin menghasilkan produk berkualitas,” ujarnya.

Di sisi lain, cuaca juga memengaruhi sektor pertanian. Di Kecamatan Dawarblandong, Kabupaten Mojokerto, misalnya, petani seperti Kani terpaksa memanen padi lebih awal karena hujan deras dan angin kencang menyebabkan padi rebah. Banyak bulir padi yang dipanen masih hijau, yang tentunya memengaruhi kualitas gabah.

 

Politisasi Pangan dan Dampak pada Konsumen

Baca Juga:  Megawati: PDIP Dukung Kebijakan Prabowo yang Pro Rakyat, Kritisi Penyimpangan

Ahmad Alamsyah Saragih menyoroti kenaikan harga beras akibat kebijakan pembelian gabah “any quality”. Biaya produksi beras medium melonjak hingga Rp 13.000 per kilogram, melebihi HET beras medium sebesar Rp 12.500 per kilogram.

“Kenaikan harga beras bukan hanya karena permainan pasokan, tetapi juga karena kualitas dan harga bahan baku gabah,” katanya. Ia mempertanyakan keadilan bagi konsumen yang terpaksa mengonsumsi beras dari gabah berkualitas rendah.

Alamsyah juga mengkritik keterlambatan pemerintah dalam menyalurkan beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). Meskipun harga beras mulai naik sejak April 2025, penyaluran beras SPHP baru dilakukan pada pertengahan Juli 2025.

“Kebijakan ini seperti pacar yang ketinggalan kereta. Pemerintah terlalu berhati-hati agar tidak merugikan petani, tetapi kurang mempertimbangkan dampaknya pada pasar dan konsumen,” ujarnya.

Lebih lanjut, Alamsyah mengingatkan adanya risiko politisasi pangan, baik dalam bentuk kriminalisasi pelaku usaha maupun pencitraan pejabat publik melalui penegakan hukum. “Penegakan hukum di sektor perberasan harus sesuai porsi, bukan malah menjadi alat politik,” tegasnya.

 

Upaya Pemerintah dan Penegakan Hukum

I Gusti Ketut Astawa dari Bapanas menjelaskan bahwa kebijakan pembelian gabah “any quality” bertujuan memudahkan petani menjual hasil panen.

Untuk menekan harga beras, pemerintah telah menyalurkan bantuan pangan berupa beras dan beras SPHP dengan rata-rata 7.000 ton per hari, dengan target meningkat menjadi 10.000 ton per hari. Selain itu, Bapanas berencana menaikkan HET beras medium di setiap zonasi untuk menyesuaikan dengan biaya produksi dan distribusi.

“HET saat ini sudah tidak sesuai dengan struktur biaya,” ujar Ketut.

Di sisi penegakan hukum, Helfi Assegaf menyatakan bahwa Satuan Tugas Pangan Polri fokus menangani pelaku yang mengoplos beras tidak sesuai ketentuan.

Hingga kini, polisi telah menetapkan 28 tersangka dari 25 kasus beras oplosan, tetapi belum menemukan indikasi penimbunan.

Helfi juga menegaskan bahwa pengusaha penggilingan padi didorong untuk mematuhi aturan, dengan opsi menjual beras curah sesuai HET jika khawatir melanggar regulasi. Untuk penggilingan yang kekurangan stok, polisi berkoordinasi dengan Bulog untuk memastikan pasokan.

Diskusi ini menggarisbawahi perlunya kebijakan perberasan yang lebih seimbang, mempertimbangkan kepentingan petani, penggilingan padi, dan konsumen.

Kebijakan pembelian gabah “any quality” mungkin membantu petani dalam jangka pendek, tetapi tanpa penyesuaian HET dan dukungan bagi penggilingan padi, kebijakan ini justru memicu masalah berantai, mulai dari penurunan kualitas beras hingga kenaikan harga di pasar.

Penegakan hukum yang adil dan tidak memihak juga menjadi kunci untuk mencegah politisasi pangan, sekaligus memastikan pasokan beras yang stabil dan terjangkau bagi masyarakat.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Follow WhatsApp Channel djourno.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Potret Kemarahan Publik di Media Sosial ke DPR yang Memicu Gelombang Demonstrasi
Presiden Prabowo Respons Tragedi Affan Kurniawan dengan Keprihatinan dan Janji Keadilan
Malu Noel Ditangkap KPK: Komitmen Prabowo Berantas Korupsi Diapresiasi Publik
Mengurai Kegaduhan DPR: Antara Kekecewaan Publik dan Miskomunikasi
Pembentukan Kementerian Haji dan Umrah: Langkah Berani Atasi Sengkarut Tata Kelola
Mampukah Dasco Kembali Meredam Kemarahan Publik ke DPR?
Harapan di Balik Seruan Bubarkan DPR
Dari Gula Petani ke Whoosh: Bagaimana Danantara Menggerakkan Roda Ekonomi Indonesia

Berita Terkait

Jumat, 29 Agustus 2025 - 13:59 WIB

Potret Kemarahan Publik di Media Sosial ke DPR yang Memicu Gelombang Demonstrasi

Jumat, 29 Agustus 2025 - 13:42 WIB

Presiden Prabowo Respons Tragedi Affan Kurniawan dengan Keprihatinan dan Janji Keadilan

Kamis, 28 Agustus 2025 - 15:12 WIB

Malu Noel Ditangkap KPK: Komitmen Prabowo Berantas Korupsi Diapresiasi Publik

Kamis, 28 Agustus 2025 - 09:27 WIB

Mengurai Kegaduhan DPR: Antara Kekecewaan Publik dan Miskomunikasi

Rabu, 27 Agustus 2025 - 12:25 WIB

Pembentukan Kementerian Haji dan Umrah: Langkah Berani Atasi Sengkarut Tata Kelola

Berita Terbaru

Kolom

Warisan Pemikiran Ekonomi Syafruddin Prawiranegara

Jumat, 29 Agu 2025 - 13:28 WIB