djourno.id—Di tengah kemeriahan peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia pada 17 Agustus 2025, sebuah pernyataan dari Yenny Wahid, putri Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid, mencuri perhatian.
Melalui akun Instagram pribadinya (@yennywahid), ia menyampaikan pandangan tajam: kemakmuran sebuah negara tidak ditentukan oleh pajak tinggi atau rendah, tetapi oleh bagaimana uang rakyat dikelola untuk kepentingan rakyat.
Pesan ini, yang kemudian viral dan dikutip luas oleh media merupakan cerminan kegelisahan publik terhadap kebijakan pajak yang kian memberatkan di tengah ekonomi yang lesu.
Pajak Naik, Rakyat Tercekik
Indonesia sedang berada di persimpangan. Penerimaan pajak hingga pertengahan Agustus 2025 hanya mencapai 45,51% dari target tahunan, tertekan oleh perlambatan ekonomi global dan menurunnya daya beli masyarakat.
Sementara itu, kebijakan seperti rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% sejak Januari 2025 memicu protes dan dibatalkan.
Yenny Wahid, dalam pernyataannya, menyinggung hal ini dengan tegas: “Pajak naik, tapi pengangguran dan kemiskinan juga naik. Apa gunanya?” Ini menggambarkan Indonesia yang terjebak dalam lingkaran setan: pajak dinaikkan, tetapi kesejahteraan rakyat tak kunjung terwujud.
Ia membandingkan dua model dunia. Negara seperti Denmark dan Swedia memungut pajak tinggi, tetapi rakyatnya hidup sejahtera karena dana pajak dialokasikan untuk pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial yang transparan.
Sebaliknya, Singapura, Swiss, dan Uni Emirat Arab memilih pajak rendah, namun tetap makmur berkat tata kelola yang bersih dari korupsi. Intinya, kata Yenny, “Bukan soal besar kecilnya pajak, tetapi bagaimana uang itu digunakan untuk rakyat.”
Perdebatan Pajak yang Memanas
Pernyataan Yenny Wahid datang di tengah gelombang protes terhadap kebijakan pajak, baik di tingkat daerah maupun pusat.
Di daerah, kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) memicu kemarahan warga.
Di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Bupati Sudewo menetapkan kenaikan PBB-P2 hingga 250%, yang memicu demonstrasi besar-besaran pada Agustus 2025. Warga, yang tergabung dalam Masyarakat Pati Bersatu, menolak kebijakan ini karena dianggap tidak masuk akal dan tidak disertai sosialisasi yang memadai.
Pati bukanlah kasus tunggal. Di Ambarawa, Semarang, warga seperti Siti (54) mengeluhkan lonjakan PBB dari Rp450 ribu menjadi Rp1,8 juta, bahkan hingga 400% di beberapa kasus, tanpa perubahan signifikan pada properti mereka.
Di Banyuwangi dan Jombang, Jawa Timur, kenaikan pajak masing-masing sebesar 200% dan 300% juga memicu protes. Warga di kota-kota besar seperti Surabaya, Bandung, dan Medan turut menggelar aksi, menuntut transparansi dan penurunan tarif.
Di tingkat pusat, pemerintah tampak agresif menarik pajak di tengah penerimaan yang lesu. Penerimaan pajak 2025 yang hanya mencapai 45,51% dari target tahunan mencerminkan tantangan ekonomi, seperti penurunan daya beli dan pertumbuhan PDB yang melambat.
Namun, rencana kebijakan seperti kenaikan PPN 12% dan upaya memperluas basis pajak melalui pengawasan transaksi digital, termasuk Payment ID yang diluncurkan Bank Indonesia pada 17 Agustus 2025, memicu kekhawatiran publik.
Banyak yang melihat Payment ID sebagai alat untuk memantau transaksi demi pajak, sehingga menimbulkan isu privasi.
Upaya pemerintah memperluas basis pajak, seperti pada aset kripto dan emas melalui PMK Nomor 50/2025 hingga 53/2025, dianggap sebagai respons terhadap penerimaan yang lesu, tetapi tidak cukup menjawab keresahan masyarakat atas beban pajak yang kian berat.
Mengapa Pajak Gagal Memakmurkan?
Masalahnya bukan hanya soal angka, tetapi kepercayaan. Yenny Wahid menyinggung isu krusial: korupsi.
Dana pajak yang seharusnya kembali ke rakyat sering kali lenyap dalam praktik korupsi atau pengelolaan yang buruk. Data Transparency International menunjukkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi Indonesia masih jauh dari memuaskan, dengan skor 34 dari 100 pada 2024. Ini berarti kebocoran anggaran, termasuk dari pajak, masih menjadi ancaman serius.
Selain itu, kebijakan pajak sering kali tidak diimbangi dengan komunikasi yang baik kepada masyarakat. Yenny Wahid, yang pernah menentang kenaikan PPN pada Desember 2024, bahkan menyatakan bahwa Gus Dur pasti akan berada di pihak rakyat untuk menolak kebijakan ini.
Solusi: Transparansi dan Kebijakan Berpihak pada Rakyat
Lalu, apa yang bisa dilakukan? Mengambil inspirasi dari Yenny Wahid, berikut adalah beberapa solusi untuk mengatasi krisis kepercayaan dan ketimpangan dalam kebijakan pajak:
- Tata Kelola Transparan: Pemerintah, baik pusat maupun daerah, perlu membangun sistem pelaporan yang terbuka soal penggunaan dana pajak. Platform digital bisa dimanfaatkan untuk memungkinkan rakyat memantau alokasi dana secara real-time, seperti yang dilakukan di negara-negara Nordik. Ini akan meningkatkan kepercayaan publik dan mengurangi ruang untuk korupsi.
- Kenaikan Pajak Bertahap dan Terukur: Pemerintah daerah harus menghindari kenaikan pajak drastis seperti di Pati atau Ambarawa. Kenaikan bertahap, disertai sosialisasi intensif, akan membantu masyarakat memahami dan menerima kebijakan tersebut.
- Edukasi dan Komunikasi Publik: Pemerintah perlu menjelaskan manfaat pajak secara konkret, misalnya dengan menunjukkan bahwa pajak digunakan untuk membangun sekolah, rumah sakit, atau lapangan kerja. Kampanye publik yang efektif bisa mengurangi resistensi terhadap pajak.
- Perlindungan Privasi dalam Inovasi Pajak: Meskipun Payment ID menawarkan efisiensi, pemerintah harus memastikan perlindungan data pribadi melalui regulasi yang jelas dan audit independen untuk meredam kekhawatiran publik.
- Fokus pada Kesejahteraan Ekonomi: Untuk mengatasi penerimaan pajak yang lesu, pemerintah perlu mendorong diversifikasi ekonomi, seperti mendukung sektor digital dan hijau. Insentif pajak untuk startup atau investasi ramah lingkungan dapat meningkatkan penerimaan tanpa membebani masyarakat.
Menatap Masa Depan
Pernyataan Yenny Wahid bukan sekadar kritik, tetapi panggilan untuk refleksi. Pajak bukanlah musuh, tetapi alat untuk membangun kemakmuran—jika dikelola dengan benar.
Di tengah protes di daerah seperti Pati, Ambarawa, dan Banyuwangi, serta penerimaan pajak nasional yang lesu, Indonesia membutuhkan keberanian untuk mereformasi sistem perpajakan agar lebih transparan, adil, dan berpihak pada rakyat.
Seperti yang dikatakan Yenny, “Bukan pajak tinggi yang bikin makmur, tetapi bagaimana uang rakyat dikelola sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.”
Di momen kemerdekaan ini, saatnya kita mengambil pelajaran dari Denmark, Singapura, dan—yang terpenting—dari nilai keadilan yang pernah diperjuangkan Gus Dur.