djourno.id—Pengurangan alokasi Transfer Keuangan Daerah (TKD) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 telah menciptakan riak ketegangan di berbagai daerah di Indonesia.
Dengan penurunan sebesar Rp269,9 triliun dari Rp919,9 triliun pada APBN 2025 menjadi Rp650 triliun pada RAPBN 2026, pemerintah daerah menghadapi tekanan fiskal yang signifikan.
Kebijakan ini, yang dimaksudkan untuk mendukung prioritas nasional, memaksa daerah mencari sumber pendapatan alternatif, terutama melalui kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2).
Namun, langkah ini memicu protes masyarakat, menyoroti tantangan keseimbangan antara efisiensi anggaran pusat dan stabilitas ekonomi daerah.
Pukulan bagi Keuangan Daerah
Menurut data Kementerian Keuangan, alokasi TKD pada RAPBN 2026 turun 29,34% dibandingkan tahun sebelumnya.
Penurunan ini merupakan bagian dari strategi pemerintah pusat untuk mengalihkan anggaran ke program prioritas nasional, seperti infrastruktur dan ketahanan pangan, di tengah beban utang negara yang mencapai Rp14.000 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa efisiensi anggaran diperlukan untuk menjaga kesehatan fiskal nasional, dengan kompensasi bagi daerah dijanjikan melalui mekanisme lain seperti dana insentif.
Namun, bagi pemerintah daerah yang bergantung hingga 70-80% pada TKD, pengurangan ini menciptakan kekosongan anggaran yang sulit diatasi.
“Pemerintah daerah dipaksa cari duit sendiri karena dana transfer dipangkas,” tulis akun X @fiscalwatchdog, mencerminkan sentimen banyak pihak.
Penurunan ini mendorong pemerintah daerah untuk menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD), dengan PBB-P2 menjadi instrumen utama karena potensi pendapatannya yang besar.
Respons Daerah yang Kontroversial
Untuk mengatasi defisit anggaran, banyak daerah menaikkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), dasar perhitungan PBB-P2.
Di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, NJOP disesuaikan setelah 14 tahun tanpa perubahan, menyebabkan kenaikan PBB-P2 hingga 250%. Di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, tarif pajak melonjak hingga 300%. Kota Cirebon mencatat lonjakan hingga 1.000%, dan di Kabupaten Semarang, pajak di lokasi strategis naik hingga 400%.
Kenaikan ini memicu beban baru bagi masyarakat. Suriani, petani di Bone, mengeluh tagihan PBB-P2 untuk tanahnya naik dari Rp100.000 menjadi Rp300.000 tanpa sosialisasi memadai.
“Kami tidak tahu kenapa tiba-tiba naik begitu tinggi,” ujarnya. Di Jombang, Heri Dwi Cahyono (61) terkejut saat tagihan pajaknya melonjak 12 kali lipat, mendorongnya mengajukan keberatan ke Badan Pendapatan Daerah (Bapenda). “Ini memberatkan, apalagi ekonomi masih susah,” katanya.
Protes Masyarakat: Ketegangan di Lapangan
Kenaikan PBB-P2 memicu gelombang protes di berbagai daerah. Di Pati, Aliansi Masyarakat Pati Bersatu menggelar demonstrasi besar, melibatkan puluhan ribu warga, menuntut pembatalan kenaikan pajak dan pengunduran diri Bupati Sudewo.
Meski kenaikan akhirnya dibatalkan, kemarahan warga berlanjut akibat kebijakan lain, seperti pemutusan hubungan kerja tenaga honorer.
Di Bone, mahasiswa bentrok dengan Satpol PP saat mendesak bupati meninjau ulang kenaikan 300%. “Kami minta kebijakan yang adil,” tegas Zulkifli, Ketua Cabang PMII Bone.
Di Kota Cirebon, Paguyuban Pelangi Cirebon mengancam aksi besar setelah upaya judicial review gagal membatalkan kenaikan hingga 1.000%.
“Kami sudah lapor sampai ke presiden, tapi belum ada solusi,” kata Hetta Mahendrati, juru bicara paguyuban. Di Jombang, sekitar 5.000 warga mengajukan keberatan, dengan beberapa di antaranya, seperti Joko Fattah Rochim (63), membayar pajak dengan koin sebagai bentuk protes simbolis.
Kepala Bapenda Jombang, Hartono, menanggapi bahwa pihaknya telah membuka ruang untuk keberatan, dengan separuh dari 700.000 SPPT terdampak kenaikan. Namun, minimnya sosialisasi dan ketidakpekaan terhadap kondisi ekonomi pasca-pandemi menjadi keluhan utama warga.
Akar Masalah dan Jalan Keluar
Pengurangan TKD dianggap sebagai pemicu utama krisis fiskal daerah. Muhammad Said Didu, mantan Sekretaris Kementerian BUMN, menilai bahwa beban utang nasional memaksa pemerintah pusat memangkas dana transfer, mendorong daerah menaikkan pajak.
“Ini soal warisan utang yang harus ditutup,” ujarnya. Namun, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi membantah bahwa kenaikan PBB-P2 sepenuhnya akibat pengurangan TKD, menyebut penyesuaian NJOP sebagai langkah rutin yang tertunda bertahun-tahun.
Pakar keuangan daerah menyarankan beberapa solusi. Pertama, pemerintah pusat perlu menerapkan klasterisasi alokasi TKD berdasarkan tingkat PAD daerah, memberikan kompensasi lebih besar bagi daerah dengan ketergantungan tinggi.
Kedua, kenaikan pajak harus dilakukan bertahap dengan transparansi NJOP dan melibatkan partisipasi publik sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2017.
Ketiga, daerah didorong berinovasi melalui optimalisasi aset lokal dan perbaikan iklim investasi untuk meningkatkan PAD tanpa membebani warga. Terakhir, revisi Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat-Daerah (HKPD) dianggap krusial untuk menciptakan distribusi pendapatan yang lebih adil.
Pengurangan TKD dalam APBN 2026 telah menciptakan efek domino, dari tekanan fiskal daerah hingga protes masyarakat atas kenaikan PBB-P2.
Pemerintah pusat dihadapkan pada tantangan menjaga prioritas nasional tanpa mengorbankan stabilitas daerah, sementara pemerintah daerah berjuang menyeimbangkan anggaran di tengah keterbatasan.
Tanpa koordinasi yang lebih baik, sosialisasi yang memadai, dan kebijakan yang sensitif terhadap kondisi sosial-ekonomi, ketegangan ini berisiko meluas, mengancam harmoni fiskal dan stabilitas sosial di Indonesia.