djourno.id—Di pagi yang cerah di Gedung MPR, Jakarta, pada 15 Agustus 2025, Presiden Prabowo Subianto berdiri di hadapan para wakil rakyat. Dalam pidato kenegaraannya menyambut Hari Kemerdekaan ke-80, ia memperkenalkan istilah yang kini menggema di seluruh penjuru negeri: serakahnomics.
Kata ini, perpaduan tajam antara “serakah” dan “ekonomi,” bukan sekadar jargon politik. Ia adalah seruan perang melawan musuh tak kasat mata yang, menurut Prabowo, telah lama menggerogoti kesejahteraan rakyat Indonesia.
Awal Mula Kata yang Mengguncang
Istilah serakahnomics lahir dari keresahan. Di tengah sorak-sorai perayaan kemerdekaan, Prabowo menyoroti kontradiksi pahit: Indonesia, negara penghasil sawit terbesar dunia, pernah dilanda kelangkaan minyak goreng.
Tambang-tambang ilegal menjarah kekayaan alam senilai ratusan triliun rupiah, sementara kartel pangan dan penimbunan barang mencekik harga kebutuhan pokok.
“Ini bukan ekonomi rakyat, ini serakahnomics,” tegasnya, mengacu pada Pasal 33 UUD 1945 yang menuntut kekayaan negara dikelola untuk kemakmuran bersama, bukan untuk segelintir elite.
Neologisme ini bukanlah sekadar permainan kata. Ia mencerminkan visi Prabowo untuk menggugat sistem ekonomi yang didominasi keserakahan, di mana keuntungan pribadi dikejar tanpa mempedulikan dampak sosial, lingkungan, atau moral.
Dalam pidatonya, ia menyinggung penghematan anggaran hingga USD 18,5 miliar—dari biaya perjalanan dinas hingga alat tulis kantor—sebagai langkah awal menuju ekonomi yang berpihak pada rakyat.
Resonansi di Tengah Publik
Tak butuh waktu lama bagi serakahnomics untuk menjadi perbincangan nasional. Di media sosial, warganet langsung merespons.
Sebagian memuji keberanian Prabowo menyinggung praktik korupsi dan manipulasi harga, bahkan menghubungkannya dengan kritik terhadap rezim sebelumnya.
“Akhirnya ada pemimpin yang berani sebut musuhnya: keserakahan!” tulis seorang pengguna X. Lainnya menyoroti keputusan Prabowo menghapus tantiem komisaris BUMN, menyebutnya sebagai pukulan telak bagi praktik serakahnomics.
Namun, tak semua respons berupa pujian. Beberapa warganet mempertanyakan konsistensi pemerintah, menyinggung rangkap jabatan di BUMN yang masih dipertahankan.
“Kalau serius lawan serakahnomics, kenapa masih ada pejabat rangkap jabatan?” tanya sebuah unggahan. Pertanyaan ini mencerminkan tantangan besar: visi besar memerlukan eksekusi yang tak kalah besar.
Suara Para Ahli
Di kalangan pengamat, serakahnomics dipandang sebagai sinyal reformasi. Al Muzzammil Yusuf, Presiden PKS, menyebutnya sebagai diagnosis tepat atas ancaman ekonomi curang yang bisa menyeret Indonesia menjadi negara gagal.
“Kita harus dukung penuh Presiden untuk selamatkan kekayaan negara,” katanya, menyoroti kerugian akibat kartel dan tambang ilegal.
Namun, ada juga yang menilai serakahnomics sebagai perpaduan unik antara pendekatan Keynesian—dengan belanja pemerintah besar untuk mendorong pertumbuhan—dan sentuhan sosialis yang menolak kapitalisme predator.
“Prabowo ingin ekonomi yang inklusif, tapi tantangannya adalah menyeimbangkan hilirisasi untuk bisnis dengan keadilan untuk rakyat,” ujar seorang ekonom senior.
Kekuatan di Balik Kata
Apa yang membuat serakahnomics begitu kuat? Pertama, ia berakar pada nilai konstitusional Pasal 33 UUD 1945, yang memberi legitimasi moral dan hukum.
Kedua, istilah ini sederhana namun mengena, menyatukan rakyat dalam perasaan muak terhadap ketidakadilan ekonomi. Ketiga, visi ini didukung langkah konkret: penghematan anggaran, perang melawan korupsi, dan dorongan hilirisasi untuk memperkuat ekonomi nasional.
Namun, kekuatan sejati serakahnomics bergantung pada eksekusi. Publik menanti apakah janji melawan keserakahan akan terwujud dalam kebijakan nyata, seperti pemberantasan kartel pangan atau penegakan hukum terhadap tambang ilegal. Kontradiksi, seperti isu rangkap jabatan, bisa menjadi batu sandungan jika tidak ditangani.
Di balik gemerlap pidato dan sorotan media, serakahnomics lebih dari sekadar istilah. Ia adalah cerminan harapan rakyat untuk ekonomi yang tidak lagi dikuasai segelintir orang, melainkan melayani 270 juta jiwa.
Pertanyaannya, mampukah Prabowo mengubah kata menjadi kenyataan? Di tengah sorak dukungan dan nada skeptis, satu hal jelas: serakahnomics telah menyalakan percikan diskusi tentang masa depan ekonomi Indonesia.
Dan percikan itu, kini, tengah membesar.