djourno.id – Di sebuah warung kopi sederhana di pinggir jalan Subang, Budi, seorang sopir angkutan berusia 42 tahun, menyeruput kopi hitam sambil mengeluhkan sulitnya mencari pekerjaan tambahan untuk menghidupi keluarganya.
“Gaji dari angkot cuma cukup buat makan sehari-hari. Anak mau kuliah, tapi kerjaan susah. Katanya gubernur baru bikin banyak program, tapi kok belum terasa?” keluhnya.
Cerita Budi bukanlah satu-satunya. Ribuan warga Jawa Barat berbagi keresahan yang sama: ekonomi yang terasa semakin berat dan lapangan kerja yang kian sempit.
Survei terbaru Litbang Kompas, yang digelar pada 1–5 Juli 2025, menggambarkan dengan jelas kegelisahan ini.
Sebanyak 44,8% responden menempatkan lapangan kerja sebagai isu paling mendesak di Jawa Barat, jauh di atas perbaikan jalan (30,8%), harga bahan pokok (27,9%), dan pendidikan (21,2%).
Namun, di balik sorotan terhadap isu-isu ini, kepemimpinan Gubernur Dedi Mulyadi dan Wakil Gubernur Erwan Setiawan justru menuai paradoks: program populer yang digaungkan ternyata tak selalu menjawab kebutuhan mendesak warga.
Program Populer, Tapi Bukan Solusi
Enam bulan menjabat, Dedi Mulyadi dikenal sebagai pemimpin yang gemar meluncurkan kebijakan berbau sensasi. Larangan wisuda TK hingga SMA, pelarangan study tour untuk siswa SMA/SMK, perubahan jam masuk sekolah menjadi pukul 06.30, dan program pembinaan anak bermasalah di institusi militer menjadi sorotan publik.
Survei Litbang Kompas mencatat, keempat kebijakan ini dikenal oleh lebih dari 75% warga Jawa Barat, menjadikannya program paling populer di bawah kepemimpinan Dedi-Erwan.
Namun, popularitas tak selalu sejalan dengan kepentingan. Dari 17 program yang dievaluasi, hanya program pembinaan anak di institusi militer yang masuk dalam daftar kebijakan yang dianggap penting oleh masyarakat.
Sebaliknya, kebijakan seperti larangan study tour dan perubahan jam masuk sekolah justru berada di urutan terbawah dalam hal kepentingan, bersama dengan pemangkasan anggaran hibah pesantren dan pengaktifan kembali jalur kereta api era kolonial.
Sementara itu, warga lebih memprioritaskan isu-isu yang berkaitan langsung dengan kesejahteraan. Perbaikan rumah tidak layak huni, penyediaan listrik bagi masyarakat miskin, dan pembangunan infrastruktur jalan menjadi program yang dianggap paling penting.
Namun, hanya 50% atau kurang dari responden yang puas dengan penanganan isu-isu krusial seperti pengentasan kemiskinan, bantuan kesejahteraan, dan—yang paling mencolok—penyediaan lapangan kerja.
Kesenjangan Ekonomi yang Mengemuka
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat memperkuat gambaran ini. Tingkat pengangguran terbuka di provinsi ini mencapai 5,82% pada Februari 2025, lebih tinggi dari rata-rata nasional sebesar 5,32%.
Pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pada triwulan I-2025 hanya mencapai 4,93%, tertinggal dari angka nasional 5,11%. Sektor industri dan jasa, yang menjadi andalan provinsi ini, belum mampu menyerap tenaga kerja secara signifikan, meninggalkan banyak warga seperti Budi dalam ketidakpastian.
Di tengah situasi ini, Dedi Mulyadi tampak menyadari urgensi masalah ekonomi. Dalam wawancara di Subang pada 18 Agustus 2025, ia mengumumkan rencana investasi dari dua raksasa otomotif, BYD asal Tiongkok dan VinFast dari Vietnam, untuk membangun pabrik di Kabupaten Subang.
“Kalau semua berjalan lancar, tahun depan bisa menyerap 200.000 tenaga kerja,” klaim Dedi dengan optimisme.
Namun, rencana ini masih dalam tahap awal, dan warga seperti Budi belum merasakan dampak nyata. “Kata gubernur sih bagus, tapi kapan? Kami butuh kerja sekarang,” ungkap Budi, mencerminkan skeptisisme yang meluas di kalangan masyarakat.
Paradoks Kebijakan dan Harapan Sistemik
Meski kepuasan publik terhadap kinerja Dedi-Erwan secara umum cukup tinggi—77,9% responden menyatakan puas—survei Litbang Kompas mengungkap adanya jurang antara kebijakan populer dan solusi yang benar-benar dibutuhkan.
Program seperti pengembangan monorel di Bandung atau evaluasi izin tambang memiliki tingkat pengetahuan publik di bawah 50%, menunjukkan kurangnya sosialisasi dan relevansi dengan kebutuhan warga.
Survei ini, yang melibatkan 400 responden melalui wawancara tatap muka dengan margin of error ±4,9% pada tingkat kepercayaan 95%, juga menyoroti urgensi pendekatan yang lebih sistemik.
Masalah ekonomi, pengangguran, dan kemiskinan tidak dapat diselesaikan dengan kebijakan sporadis yang hanya menarik perhatian media.
Sebaliknya, diperlukan perencanaan berbasis data yang mengintegrasikan investasi, pelatihan tenaga kerja, dan pemberdayaan UMKM untuk menciptakan lapangan kerja berkelanjutan.
Di Subang, Budi menutup obrolannya dengan nada penuh harap, namun realistis. “Saya cuma ingin anak-anak bisa sekolah tanpa saya pusing cari uang. Kalau gubernur bisa bikin kerjaan lebih banyak, saya dukung. Tapi jangan cuma janji.”
Cerita Budi adalah cerminan dari jutaan warga Jawa Barat yang menanti kebijakan yang tidak hanya populer di berita, tetapi juga mengubah hidup mereka.
Bagi Dedi Mulyadi, tantangan terbesar bukan lagi menciptakan headline, melainkan menjembatani jarak antara janji dan realitas.