djourno.id—Pagi di Jakarta, 18 Agustus 2025, terasa berbeda. Di tengah riuh rendah sisa perayaan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) ke-80 sehari sebelumnya, hari ini bangsa Indonesia memperingati Hari Konstitusi—momen sakral yang menyatukan sejarah, perjuangan, dan harapan.
Tema HUT RI tahun ini, “Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju,” seolah menjadi nyanyian yang menggema, mengingatkan kita pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, jiwa bangsa yang lahir dari rahim perjuangan pada 18 Agustus 1945.
Konstitusi ini bukan sekadar dokumen hukum; ia adalah kontrak suci yang mengikat rakyat dan negaranya, fondasi kedaulatan yang harus dirawat bersama.
Di tengah dunia yang kian terbelah oleh polarisasi dan ancaman global, Hari Konstitusi 2025 adalah panggilan untuk bersatu, merefleksikan sejarah, dan menatap masa depan dengan tekad baja.
Konstitusi: Denyut Nadi sebuah Bangsa
Bayangkan sebuah negara tanpa konstitusi—seperti kapal tanpa kompas di tengah badai. Konstitusi adalah peta yang menuntun, hukum tertinggi yang mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat, menjamin hak asasi, dan mencegah tirani.
Sejarah dunia mencatat betapa konstitusi membentuk peradaban. Magna Carta 1215 di Inggris, misalnya, menjadi tonggak awal pembatasan kekuasaan raja, membuka jalan bagi konstitusi modern seperti Konstitusi Amerika Serikat 1787, yang memperkenalkan pemisahan kekuasaan untuk menjaga keseimbangan.
Di era pasca-Perang Dunia II, Konstitusi Jerman Barat 1949 lahir dari puing-puing fasisme, menegaskan demokrasi dan hak asasi sebagai benteng melawan kekejaman masa lalu.
Bagi negara-negara yang baru merdeka, seperti Indonesia, konstitusi bukan hanya aturan, tetapi juga simbol identitas dan perjuangan. Ia adalah cerminan nilai-nilai budaya, cita-cita bersama, dan janji kemerdekaan.
Tanpa konstitusi yang kokoh, sebuah bangsa rentan tercerai-berai, seperti yang terlihat di berbagai belahan dunia, di mana absennya konsensus dasar memicu konflik etnis dan politik. Konstitusi, dengan demikian, adalah kontrak sosial yang hidup—ia harus dijaga, diperbarui, dan dihidupkan oleh setiap generasi agar tetap relevan di tengah arus zaman.
Lahirnya UUD 1945: Karya Monumental di Tengah Gejolak
Kembali ke tahun 1945, di sebuah ruangan sederhana di Jakarta, para pendiri bangsa Indonesia menciptakan keajaiban.
Hanya sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, pada 18 Agustus 1945, UUD 1945 disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Prosesnya jauh dari mudah. Di bawah bayang-bayang pendudukan Jepang yang mulai runtuh akibat kekalahan di Perang Pasifik, Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dibentuk pada 29 April 1945.
Sidang pertamanya, 29 Mei hingga 1 Juni 1945, menjadi panggung bersejarah ketika Soekarno memaparkan Pancasila sebagai dasar negara—sebuah visi yang menyatukan keragaman Nusantara.
Sidang kedua BPUPKI, 10–17 Juli 1945, melahirkan rancangan UUD melalui Panitia Perancang yang diketuai Soekarno. Beranggotakan 38 tokoh, panitia ini meramu Piagam Jakarta, dokumen awal yang memuat prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial.
Namun, demi menjaga persatuan, frasa sensitif tentang syariat Islam dihapus, menunjukkan kearifan para pendiri bangsa dalam merangkul pluralisme. Ketika PPKI mengesahkan UUD 1945 pada 18 Agustus, dokumen itu bukan sekadar kertas hukum—ia adalah manifesto kemerdekaan, karya asli bangsa Indonesia yang dirumuskan tanpa campur tangan asing, di tengah tekanan waktu dan ancaman perang.
Pembukaan UUD 1945, dengan kalimat-kalimatnya yang puitis, mencerminkan semangat gotong royong dan keadilan sosial. Meski hanya terdiri dari 37 pasal, konstitusi ini mampu menampung cita-cita besar: kemerdekaan, kedaulatan rakyat, dan kesejahteraan.
Amandemen pasca-Reformasi 1999–2002 memperkuat demokrasi dan hak asasi, namun inti Pancasila tetap tak tergoyahkan, menjadi bukti ketangguhan UUD 1945 selama 80 tahun.
Refleksi 80 Tahun: Konstitusi di Tengah Tantangan Modern
Delapan dekade sejak kemerdekaan, UUD 1945 telah menjadi saksi bisu perjalanan bangsa. Ia menavigasi Indonesia melalui agresi militer Belanda, krisis ekonomi 1998, hingga pandemi COVID-19.
Konstitusi ini memastikan transisi kekuasaan yang damai, memperkuat demokrasi, dan menjaga keberagaman melalui Bhinneka Tunggal Ika. Namun, di Hari Konstitusi 2025, kita dihadapkan pada pertanyaan besar: apakah kita masih setia pada jiwa konstitusi ini?
Di tengah arus globalisasi dan digitalisasi, Indonesia menghadapi tantangan baru. Polarisasi sosial dan politik, yang diperparah oleh banjir informasi di media sosial, mengancam persatuan.
Propaganda trans-nasional dan hoaks kian meresahkan, menggerus kebangsaan yang telah dibangun dengan susah payah. Tantangan ekonomi global, ketimpangan sosial, dan isu kedaulatan sumber daya alam menuntut kita kembali ke Pancasila sebagai panduan.
Tema HUT RI ke-80, “Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju,” bukan sekadar slogan, tetapi seruan untuk menegakkan kedaulatan sejati—merdeka dari kemiskinan, ketidakadilan, dan perpecahan.
Refleksi ini mengajak kita melihat kedaulatan bukan hanya dari sisi militer, tetapi juga ekonomi, budaya, dan intelektual.
Apakah kita telah mencapai kesejahteraan yang diimpikan para pendiri bangsa? Ketimpangan ekonomi masih nyata, konflik sosial masih mengintai, dan pengaruh asing dalam diplomasi menuntut keteguhan.
UUD 1945, dengan nilai-nilai Pancasilanya, adalah kompas untuk menjawab tantangan ini. Ia mengingatkan kita bahwa persatuan adalah kunci—tanpa itu, kedaulatan hanyalah ilusi.
Merawat Konstitusi: Panggilan Kolektif untuk Indonesia Maju
Hari Konstitusi 2025 adalah lebih dari peringatan sejarah—ia adalah panggilan untuk bertindak. UUD 1945, yang lahir dari darah dan air mata perjuangan, bukan milik segelintir elite, tetapi warisan seluruh rakyat Indonesia.
Merawatnya berarti memperkuat pendidikan konstitusional, menegakkan supremasi hukum, dan membuka dialog lintas generasi.
Di tengah ancaman polarisasi dan propaganda, generasi muda harus menjadi garda terdepan dalam menghidupkan nilai-nilai Pancasila, dari gotong royong hingga keadilan sosial.
Pada akhirnya, konstitusi adalah cerminan jiwa bangsa. Ia hidup dalam setiap tindakan kita untuk menjaga persatuan, menegakkan keadilan, dan memperjuangkan kesejahteraan.
Di usia 80 tahun kemerdekaan, mari kita jadikan Hari Konstitusi sebagai titik tolak untuk bersatu, berdaulat, dan melangkah menuju Indonesia Maju.
Seperti kata Soekarno, “Kemerdekaan hanyalah pintu gerbang—kita harus melangkah lebih jauh.” Dan UUD 1945 adalah kunci untuk membuka pintu itu, menuju masa depan yang lebih adil, makmur, dan berwibawa.









