Gelombang Kenaikan Pajak Daerah dan Riak Perlawanan Rakyat

- Penulis

Kamis, 14 Agustus 2025 - 11:21 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

djourno.id—Udara di Alun-Alun Pati terasa tebal, pagi itu, 13 Agustus 2025. Bukan karena kabut, melainkan campuran suara toa, dentuman drum, dan teriakan ribuan warga yang menuntut pembatalan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250%.

Mereka datang dari berbagai penjuru kabupaten—dengan motor bebek berderit, truk bak terbuka, bahkan berjalan kaki berkelompok. Jalanan kota yang biasanya riuh oleh pedagang dan lalu lintas kini penuh oleh lautan manusia.

Di barisan depan, seorang petani bernama Mardiyanto (53) berdiri memegang karton bekas yang sudah pudar warnanya. “Kalau pajak naik segini, kami mau makan apa?” ujarnya lirih, nyaris tenggelam oleh riuh massa.

Ia memperkirakan pajak tanahnya akan melonjak hampir tiga kali lipat. “Padahal hasil panen belum tentu menutup biaya pupuk, apalagi tambahan pajak.”

Tidak jauh darinya, Sri Rahayu (41), pedagang sayur di pasar tradisional, mengaku tidak pernah diajak bicara oleh pemerintah daerah soal kebijakan ini.

“Tahu-tahu dapat kabar pajak naik. Sosialisasi itu penting, Mas. Biar kami ngerti alasannya,” katanya, sambil mengipas wajahnya dengan koran bekas.

 

Kebijakan yang Berhenti di Tengah Jalan

Kenaikan PBB-P2 ini awalnya diusulkan sebagai langkah strategis meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Pemerintah Kabupaten Pati menyebut dana tambahan ini akan digunakan membiayai infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Namun, angka kenaikan—hingga 250%—terasa terlalu besar bagi masyarakat yang masih berjuang memulihkan ekonomi pasca-pandemi.

Bupati Pati memutuskan membatalkan rencana tersebut. Kebijakan yang semula dimaksudkan sebagai jalan menuju kemajuan, justru berbalik arah karena kehilangan dukungan publik.

 

Bukan Hanya Pati

Cerita ini hanyalah satu potongan dari peta nasional kenaikan pajak daerah pada 2025.

Di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, PBB-P2 naik lebih tinggi lagi—bahkan 400%. Pemda berdalih, ini adalah akibat penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang sudah bertahun-tahun tak diperbarui.

Ribuan warga turun ke jalan, sekitar 5.000 orang, menilai kebijakan ini mendadak dan minim sosialisasi. Namun berbeda dengan Pati, Jombang tetap melanjutkan kebijakan tersebut demi target PAD.

Sementara itu, DKI Jakarta memilih jalur lain: memberi pembebasan atau pengurangan PBB hingga 100% untuk properti dengan NJOP rendah. Langkah ini dianggap sebagai bentuk “rem” yang meringankan beban warga di tengah tekanan harga.

Baca Juga:  Kebijakan Kontroversial Dedi Mulyadi: Ketika Konten Mengalahkan Kajian

Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), kebijakan lebih halus: tidak menaikkan tarif dasar Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), tetapi menambahkan opsen 0,9%—kenaikan kecil yang hampir tak terasa, namun efektif menambah pendapatan daerah.

 

Tekanan Fiskal

Kenaikan pajak bukan hanya soal keputusan lokal. Di baliknya ada tekanan besar dari regulasi pusat.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (UU HKPD) memberi kewenangan lebih besar bagi pemda untuk mengatur tarif PBB-P2 hingga 0,5%.

Reformasi ini bertujuan mengurangi ketergantungan daerah pada Dana Alokasi Umum (DAU) dari pusat.

Namun, di lapangan, kebijakan ini sering diartikan sebagai “lampu hijau” untuk menaikkan pajak, kadang tanpa perhitungan matang tentang daya tahan masyarakat.

Apalagi, pengurangan DAU di APBN 2025 membuat daerah ber-PAD rendah seperti Pati merasa terdesak mencari sumber pendapatan baru.

Pemerintah pusat membantah bahwa kebijakan fiskal nasional memaksa daerah menaikkan pajak. Tapi data menunjukkan, setelah UU HKPD berlaku, tren kenaikan pajak daerah melonjak di berbagai wilayah.

 

Jurang Persepsi: Pemerintah dan Rakyat

Bagi pejabat daerah, kenaikan pajak adalah jalan memperluas pembangunan. Bagi warga seperti Sri Rahayu, pajak adalah pengeluaran tambahan yang bisa mengancam kebutuhan harian. Jurang persepsi ini yang kerap memicu konflik.

“Kalau memang perlu naik, ayo dibicarakan. Tapi jangan sampai kami hanya jadi penonton, tiba-tiba diputuskan,” kata Sri, sambil merapikan dagangan sayurnya.

Kasus Pati adalah “alarm” bagi pemerintah daerah. “Kebijakan fiskal yang baik harus dibangun dengan komunikasi publik yang kuat. Kalau tidak, resistensi sosial pasti muncul,” ujarnya.

Kasus ini menyisakan pelajaran penting: pajak adalah lebih dari sekadar angka di atas kertas. Ia adalah titik pertemuan—kadang pergesekan—antara pemerintah dan rakyat.

Pati memilih mundur setelah gelombang protes. Jombang bertahan di jalurnya meski ada penolakan. DKI Jakarta dan DIY mencoba pendekatan yang lebih ramah.

Semua ini menunjukkan bahwa menaikkan pajak tak bisa hanya dilihat dari target kas daerah, tapi juga dari psikologi sosial masyarakat.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Follow WhatsApp Channel djourno.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Kemacetan TB Simatupang: Noda di Tengah Upaya Pramono Anung Atasi Macet Jakarta
Pramono Pangkas Trotoar TB Simatupang: Solusi Kemacetan atau Pengorbanan Pejalan Kaki?
Pajak Daerah dan Stabilitas Sosial: Antara Ambisi Fiskal dan Gelombang Protes
Warga Jateng Puas Kinerja Ahmad Luthfi di Kesehatan, Tersandung di Lapangan Kerja
Tertekan Dampak Transfer Pusat Dipangkas: Pemerintah Daerah Naikkan Pajak, Picu Protes Besar
Survei Litbang Kompas: Warga Jawa Barat Menanti Solusi Ekonomi dari Dedi Mulyadi
Survei Litbang Kompas: Warga Jawa Barat Kecewa Kinerja Dedi Mulyadi Atasi Lapangan Kerja   
Gelombang Demonstrasi Pati: Ketika Kebijakan Mengabaikan Nasib Rakyat

Berita Terkait

Rabu, 27 Agustus 2025 - 12:14 WIB

Kemacetan TB Simatupang: Noda di Tengah Upaya Pramono Anung Atasi Macet Jakarta

Minggu, 24 Agustus 2025 - 12:45 WIB

Pramono Pangkas Trotoar TB Simatupang: Solusi Kemacetan atau Pengorbanan Pejalan Kaki?

Jumat, 22 Agustus 2025 - 18:25 WIB

Pajak Daerah dan Stabilitas Sosial: Antara Ambisi Fiskal dan Gelombang Protes

Rabu, 20 Agustus 2025 - 10:10 WIB

Warga Jateng Puas Kinerja Ahmad Luthfi di Kesehatan, Tersandung di Lapangan Kerja

Selasa, 19 Agustus 2025 - 15:22 WIB

Tertekan Dampak Transfer Pusat Dipangkas: Pemerintah Daerah Naikkan Pajak, Picu Protes Besar

Berita Terbaru

Kolom

Warisan Pemikiran Ekonomi Syafruddin Prawiranegara

Jumat, 29 Agu 2025 - 13:28 WIB