djourno.id—Di tengah dinamika politik Indonesia yang kian riuh, generasi muda menjadi penentu arah masa depan. Mereka adalah kelompok yang kritis, menuntut kebijakan yang tak hanya berjanji, tetapi benar-benar mengakomodasi kebutuhan nyata: lapangan kerja, pendidikan terjangkau, hingga ruang kreatif yang inklusif.
Survei terbaru Muda Bicara ID, dirilis pada awal Agustus 2025, menangkap denyut nadi generasi ini melalui penilaian mereka terhadap kinerja gubernur di Indonesia.
Hasilnya bukan sekadar angka, melainkan cerita tentang harapan tinggi, kekecewaan mendalam, dan polarisasi tajam yang mencerminkan kompleksitas kepemimpinan daerah.
Survei ini, yang dilakukan pada kuartal kedua 2025, melibatkan 400 responden muda dari berbagai penjuru negeri.
Temuan utamanya? Sebanyak 51% responden tidak puas atau sangat tidak puas dengan kinerja gubernur mereka, sementara 49% merasa puas atau sangat puas.
Angka ini menggambarkan jurang antara ekspektasi anak muda dan realitas di lapangan. Dari Jakarta hingga Sumatera Utara, nama-nama seperti Pramono Anung, Bobby Nasution, dan Dedi Mulyadi muncul sebagai sorotan—masing-masing dengan cerita unik tentang bagaimana mereka dilihat oleh generasi Z dan milenial.
Siapa Respondennya?
Responden survei ini mencerminkan keragaman Indonesia, meski dengan dominasi dari Pulau Jawa (51,75%). Sisanya berasal dari Sumatera (17,75%), Kalimantan (7,75%), Bali-Nusa Tenggara (7,5%), dan Indonesia Timur seperti Sulawesi, Maluku, dan Papua (5,75%).
Mayoritas adalah mahasiswa dan pelajar (37,87%), diikuti pekerja informal seperti freelancer (21,64%), karyawan swasta (7,27%), dan pencari kerja (7,56%).
Kelompok ini, sebagian besar berusia di bawah 30 tahun, aktif di media sosial dan peduli pada isu-isu seperti pengangguran, pendidikan, dan keadilan sosial. Mereka adalah generasi yang tak ragu menyuarakan pendapat, baik melalui unggahan di platform X maupun diskusi di kampus.
Bintang Lapangan: Gubernur yang Menginspirasi
Di puncak daftar gubernur berkinerja terbaik berdiri Pramono Anung dari DKI Jakarta, yang meraih 30,67% suara. Keberhasilannya bukan kejutan. Program-programnya, seperti revitalisasi 35 Gelanggang Remaja dan Balai Rakyat sebagai ruang kreatif bebas narkoba, telah menjadi magnet bagi anak muda Jakarta.
Tambahan lagi, perluasan Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU) hingga jenjang S3 memastikan pendidikan gratis selama 12 tahun.
“Jakarta harus jadi kota yang ramah untuk anak muda berkembang,” ujar Pramono dalam salah satu pernyataannya, sebuah visi yang tampaknya selaras dengan aspirasi responden.
Job fair rutin di setiap kecamatan dan pelatihan bersertifikat melalui aplikasi JAKI juga memperkuat citranya sebagai pemimpin yang “dekat” dengan generasi muda.
Berikutnya, Sri Sultan Hamengku Buwono X dari DI Yogyakarta menempati posisi kedua dengan 24,44% suara, dipuji atas pendekatan kepemimpinannya yang menjaga warisan budaya sekaligus mendorong pendidikan inklusif.
Dedi Mulyadi dari Jawa Barat (18,67%) berada di urutan ketiga, didukung oleh kebijakan progresif di sektor pertanian dan keuangan daerah yang menarik simpati sebagian anak muda.
Muzakir Manaf (Mualem) dari Aceh (17,78%) dan Sherly Tjoanda dari Maluku Utara (8,44%) melengkapi lima besar, dengan Mualem khususnya mendapat apresiasi atas upaya mempermudah kehidupan rakyat Aceh, seperti yang disampaikan oleh pejabat setempat.
Bayang-Bayang Kritik
Namun, di sisi lain, survei ini juga mengungkap ketidakpuasan yang mencolok. Bobby Nasution dari Sumatera Utara menjadi gubernur dengan penilaian terburuk, dipilih oleh 35,09% responden.
Isu sengketa wilayah antara Sumatera Utara dan Aceh, yang sempat memanas di media sosial, kemungkinan besar menjadi pemicu utama.
Dinamika ini menciptakan persepsi bahwa Bobby kurang mampu menangani konflik sensitif yang berdampak luas.
Khofifah Indar Parawansa dari Jawa Timur (22,81%), Ahmad Luthfi dari Jawa Tengah (21,05%), Dedi Mulyadi dari Jawa Barat (11,30%), dan Rudy Masud dari Kalimantan Timur (9,65%) juga masuk daftar gubernur dengan penilaian rendah.
Fenomena Dedi Mulyadi: Dicintai Sekaligus Dikritik
Yang membuat survei ini menarik adalah kehadiran Dedi Mulyadi di dua kutub: sebagai gubernur berkinerja terbaik (18,67%) sekaligus terburuk (11,30%).
Ini menjadikannya sosok paling polarizing di mata generasi muda. Di satu sisi, pendukungnya memuji kebijakan seperti pengembangan sektor pertanian dan kerja sama keuangan daerah yang dianggap inovatif.
Namun, di sisi lain, kebijakan kontroversial seperti penataan jam masuk sekolah memicu kritik tajam, terutama dari kalangan muda urban yang merasa kebijakan ini kurang relevan.
“Dedi Mulyadi adalah cerminan kepemimpinan yang membelah opini: dia punya visi, tapi eksekusinya sering memicu debat,” kata seorang analis dari Muda Bicara ID.
Fenomena ini menyoroti tantangan besar memimpin provinsi sekompleks Jawa Barat, di mana kepentingan masyarakat begitu beragam.
Apa Artinya bagi Masa Depan?
Survei Muda Bicara ID adalah lebih dari sekadar daftar peringkat; ini adalah alarm bagi para pemimpin daerah.
Dengan separuh responden menyatakan ketidakpuasan, generasi muda mengirim pesan jelas: mereka menginginkan pemimpin yang tak hanya berjanji, tetapi bertindak nyata.
Pramono Anung menunjukkan bagaimana program yang terfokus pada kebutuhan muda—seperti pendidikan dan ruang kreatif—bisa menciptakan dampak positif.
Sebaliknya, kasus Bobby Nasution menjadi pengingat bahwa isu sensitif seperti sengketa wilayah dapat merusak citra, terutama di era media sosial yang mempercepat penyebaran opini.
Bagi Dedi Mulyadi, polarisasi ini adalah pisau bermata dua. Basis pendukungnya yang kuat menunjukkan potensi, tetapi kritik yang sama tajamnya menuntut introspeksi.
Di tengah persaingan politik yang semakin ketat menjelang pemilu mendatang, suara generasi muda akan menjadi penentu.
Seperti yang diungkapkan seorang responden, “Kami ingin pemimpin yang benar-benar paham apa yang kami butuh, bukan cuma yang pandai bicara.”