djourno.id—Enam bulan setelah dilantik pada 20 Februari 2025, Wali Kota Semarang Agustina Wilujeng dan Wakil Wali Kota Iswar Aminuddin telah membawa Kota Semarang menapaki babak baru kepemimpinan.
Awal yang tak sepenuhnya mudah, namun cukup menjanjikan. Di tengah bayang-bayang tantangan kota besar seperti banjir, lapangan kerja, dan tata kelola infrastruktur, mereka mengusung semangat percepatan layanan dasar yang menyentuh kebutuhan warga secara langsung.
Kini, waktu telah menjadi cermin awal. Survei Litbang Kompas yang dilakukan pada 1-5 Juli 2025 terhadap 100 warga Kota Semarang memperlihatkan hasil yang patut dicatat: 77,4 persen warga menilai kinerja Pemkot baik.
Dukungan ini datang dari seluruh golongan—usia muda hingga lanjut, pendidikan dasar hingga tinggi, dan dari berbagai latar belakang sosial ekonomi. Sebuah modal sosial yang tak ternilai harganya.
Namun, seperti halnya kota yang terus berkembang, kepuasan hanyalah satu sisi dari kisah panjang ini. Di balik pujian, ada harapan. Di balik harapan, ada tuntutan.
Kesehatan: Menyentuh yang Paling Hakiki
Dari sekian banyak program yang diluncurkan dalam waktu singkat itu, bidang kesehatan mencuri perhatian.
Survei mencatat bahwa 87,5 persen warga puas terhadap pemerataan layanan kesehatan di seluruh kelurahan, menjadikannya program dengan apresiasi tertinggi.
Tak hanya itu, perluasan kepesertaan BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan untuk tenaga kerja formal maupun nonformal pun mendapat tingkat kepuasan 85,3 persen.
Data ini selaras dengan langkah konkret Pemkot Semarang dalam memperluas cakupan layanan. Sejak Juni 2025, Pemkot memulai program perluasan Cakupan Kesehatan Semesta (Universal Health Coverage/UHC).
Setiap bulan, ditargetkan ada tambahan 10.800 peserta baru, dengan proyeksi total 230.000 jiwa pada akhir 2025, naik drastis dari 28.562 orang pada Mei. Itu berarti peningkatan delapan kali lipat hanya dalam waktu tujuh bulan.
Di balik angka-angka itu, ada cerita seperti milik Ibu Rani, seorang pedagang sayur di Pasar Sampangan.
“Dulu saya harus menunda periksa kalau sakit karena takut biayanya. Sekarang saya bisa ke puskesmas dengan BPJS. Cuma tunjukkan kartu, langsung ditangani,” katanya sambil mengatur dagangan.
Program ini bukan hanya menyentuh kesehatan fisik, tapi juga menciptakan rasa aman sosial. Rasa bahwa negara hadir, bahkan di tengah lorong-lorong kampung.
Transportasi Gratis: Sekolah Tanpa Beban Ongkos
Kebijakan lain yang mendapat tepuk tangan adalah bus gratis Trans Semarang untuk pelajar dan mahasiswa.
Diluncurkan sejak Mei 2025, program ini sudah dirasakan dampaknya oleh banyak warga. Sebanyak 84,3 persen responden menyatakan puas.
Selain membantu ekonomi keluarga, kebijakan ini mendorong perubahan perilaku: dari penggunaan kendaraan pribadi ke transportasi massal.
Ardi, mahasiswa Universitas Diponegoro, mengaku tak lagi harus merogoh kocek hingga Rp400.000 sebulan untuk transportasi.
“Sekarang bisa hemat dan ikut bantu kurangi polusi juga,” ujarnya.
Tak hanya murid dan mahasiswa, para orangtua pun merasa terbantu. “Anak saya dua orang sekolah, biasanya harus antar jemput. Sekarang naik bus Trans, saya bisa fokus jualan gorengan di rumah,” kata Bu Surti, warga Genuk.
Program Bagus Tapi Tak Dikenal
Namun, sejumlah program lain meski sudah dijalankan, belum mendapat perhatian publik yang setara.
Survei menunjukkan, 26,3 persen warga belum pernah mendengar adanya program umrah gratis untuk masyarakat, 19,8 persen belum tahu program bimbingan belajar dan pembelajaran Al-Qur’an gratis di kelurahan, dan 20,5 persen tidak tahu tentang bantuan dana operasional marbot dan pendidik nonformal.
Ini menjadi alarm: bahwa tidak cukup membuat program, program itu juga harus diketahui dan dirasakan.
Banjir: Luka Lama yang Tak Kunjung Sembuh
Sayangnya, tidak semua program mendapat angka memuaskan. Salah satu titik rawan berada pada program pengembangan infrastruktur kota, termasuk penanganan banjir, rob, dan pengelolaan sampah. Hanya 49,5 persen warga yang puas. Sementara 6,4 persen secara tegas menyatakan sangat tidak puas.
Problem banjir memang bukan hal baru. Namun faktanya, ia tetap menghantui. Menurut data Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Semarang, 10 kejadian banjir terjadi hanya dalam Januari 2025. Salah satunya pada 20 Januari, ketika tujuh titik termasuk Perumahan Dinar Indah di Tembalang terendam.
Pada Mei 2025, banjir kembali datang. Kali ini dipicu jebolnya tanggul di Kelurahan Tanjungmas dan rob dari laut. 35 keluarga terdampak langsung, kehilangan barang, keamanan, dan kepastian.
Menurut Rukuh Setiadi, Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro, Pemkot Semarang sebenarnya sudah membangun tanggul laut, rumah pompa, dan sistem drainase.
“Tetapi tekanan terhadap sistem itu juga meningkat. Penduduk padat, hujan ekstrem, dan tata ruang yang tak lagi memadai menjadikan sistem kita kedodoran,” katanya.
Data BPS Kota Semarang 2024 mencatat 50 kelurahan terdampak banjir, dua kali lipat dari tiga tahun sebelumnya. Angka ini tertinggi sejak 2011.
Lapangan Kerja: Problem yang Tak Boleh Diabaikan
Banjir bukan satu-satunya kekhawatiran publik. Survei juga menunjukkan bahwa isu lapangan kerja menjadi hal yang mendesak menurut 20 persen responden. Bahkan 46,5 persen menganggap kondisi ketersediaan lapangan kerja buruk.
52 kasus PHK telah tercatat oleh Dinas Ketenagakerjaan Semarang hingga Juli 2025. Meski tak sedrastis kota-kota industri besar, angka ini cukup menggambarkan tekanan yang dihadapi sektor ekonomi lokal.
“Sudah lima bulan saya nganggur. Dulu kerja di percetakan yang tutup karena sepi order. Sekarang nyambi jadi tukang ojek,” ungkap Heru, warga Kalipancur.
Pemimpin Baru, Harapan Baru?
Di balik semua ini, satu hal yang menarik adalah tingginya kepercayaan publik pada sosok Wali Kota Agustina Wilujeng. Sebanyak 78,9 persen warga menyatakan puas terhadap kinerjanya, dan 83,6 persen menilai citranya baik.
Karakter kepemimpinan Agustina yang dinilai “turun langsung ke masyarakat”, serta komitmennya menepati janji kampanye, menjadi modal yang tak ternilai. Sementara Wakil Wali Kota Iswar Aminuddin juga mendapat tingkat kepuasan 68 persen, dengan 69 persen menilai citranya baik.
Namun, seperti kata pepatah Jawa, “Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti”—kekuatan bukan hanya soal pujian, tetapi tentang keberanian mengakui kekurangan dan memperbaikinya.
Menuju Semarang Hebat: Antara Janji dan Bukti
Saat ini, Pemkot Semarang di bawah Agustina-Iswar memiliki pijakan yang kuat: kepercayaan rakyat. Tapi kepercayaan tidak datang dua kali jika tak dikelola.
Perluasan jaminan sosial dan transportasi gratis adalah capaian awal yang menjanjikan. Namun tantangan seperti banjir, ketimpangan informasi program, dan lapangan kerja akan menjadi ujian sesungguhnya.
“Semarang Hebat” bukan sekadar slogan. Ia adalah janji yang diminta dibuktikan. Dan waktu enam bulan hanyalah permulaan dari perjalanan yang jauh lebih panjang.
Kini, mata publik menanti, apakah duet Agustina-Iswar akan menjadikan kota ini bukan hanya hebat dalam angka, tetapi juga hebat dalam rasa: rasa aman, rasa adil, dan rasa memiliki kota yang benar-benar berpihak pada warganya.