Dikenal Tapi Tak Dipahami: Citra Kepemimpinan Farhan-Erwin di Mata Warga Bandung

- Penulis

Rabu, 6 Agustus 2025 - 11:52 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

djourno.id—Di tengah gemerlap Jalan Braga, ikon “Parijs van Java” yang menyimpan nostalgia era art deco, Kota Bandung berdenyut sebagai jantung Jawa Barat.

Namun, di balik pesona budaya dan sejarahnya, survei Litbang Kompas pada 1-5 Juli 2025 mengungkap dinamika kepemimpinan Wali Kota Muhammad Farhan dan Wakil Wali Kota Erwin yang penuh tantangan.

Dengan tingkat kepuasan publik masing-masing 68,7 persen dan 60,8 persen, pasangan ini menghadapi tugas berat: menjembatani ketimpangan pengenalan, apresiasi, dan ekspektasi warga.

Bagaimana mereka menavigasi lanskap politik lokal yang dinamis namun rapuh ini?

 

Citra yang Disukai, Tapi Tak Dipahami

Hasil survei Litbang Kompas yang dilakukan pada 1–5 Juli 2025 terhadap warga Kota Bandung menunjukkan angka kepuasan publik yang cukup tinggi terhadap Wali Kota Farhan: 68,7 persen responden menyatakan puas.

Namun, angka tersebut tidak serta merta mencerminkan keberhasilan komunikasi kebijakan.

Hanya 5,5 persen responden yang mengasosiasikan nama Farhan dengan kinerja yang baik. Yang lebih banyak muncul adalah asosiasi terhadap profesinya di masa lalu—28,6 persen masih menyebutnya sebagai artis atau public figure.

Fakta ini memperkuat analisis bahwa popularitas Farhan belum bertransformasi menjadi narasi substantif tentang kepemimpinan kota.

Mayoritas publik menilai dirinya “ramah” dan “merakyat”—dua karakter personal—namun hanya 6,4 persen yang menyebut program kerja sebagai keunggulannya.

Citra kuat yang dibangun bukan dari rekam jejak kebijakan, melainkan dari persona media yang sebelumnya ia miliki sebagai presenter dan publik figur nasional.

 

Invisibilitas Wakil Pemimpin Kota

Sementara itu, Wakil Wali Kota Erwin menghadapi tantangan yang lebih pelik.

Tingkat kepuasan terhadap dirinya berada di angka 60,8 persen, tetapi dengan angka ketidaktahuan publik yang jauh lebih tinggi: 20,6 persen responden menyatakan tidak tahu soal kinerjanya.

Bahkan, dalam indikator citra, hanya 24,2 persen yang menilai gaya komunikasinya di media sosial menarik atau menunjukkan kepedulian terhadap warga.

Dalam dunia politik lokal, posisi wakil kepala daerah sering kali bergantung pada dua hal: peran nyata di pemerintahan dan komunikasi yang memperlihatkan peran itu.

Erwin—dalam kacamata publik—tidak menonjol dalam keduanya. Sebanyak 35,8 persen responden menyebut gaya komunikasinya “biasa saja”, dan 29,9 persen lainnya mengaku tidak tahu.

Angka ini mengonfirmasi bahwa wakil wali kota nyaris tak punya “panggung” publik. Figur yang samar di tengah sistem yang menuntut kehadiran aktif di ruang sosial dan digital.

 

Tembok Segmentasi: Ketimpangan Persepsi Antargenerasi dan Kelas

Survei Litbang Kompas juga mengungkap ketimpangan persepsi yang sangat tajam di antara generasi.

Generasi Z (17–27 tahun) dan Y-muda (28–35 tahun) merupakan kelompok dengan tingkat kepuasan tertinggi terhadap Farhan.

Namun, generasi produktif madya (36–43 tahun) justru paling kritis: 30 persen dari mereka menyatakan tidak puas.

Generasi ini adalah tulang punggung keluarga, berada di puncak tekanan finansial dan sosial dalam kehidupan urban Bandung yang kompleks.

Bagi mereka, slogan dan gestur simpatik bukan jawaban. Mereka menuntut kebijakan konkret untuk mengurai masalah laten kota: kemacetan, banjir, akses air bersih, pengelolaan sampah, dan harga rumah yang makin tak terjangkau.

Faktor pendidikan juga jadi pembeda. Responden dengan pendidikan tinggi menunjukkan tingkat ketidaktahuan terhadap kinerja Farhan yang cukup signifikan, mencapai 25 persen.

Ini menjadi ironi: kelompok yang secara kapasitas lebih kritis dan terlibat dalam diskursus publik justru merasa kurang mendapatkan informasi atau narasi substansial dari pemimpinnya.

Baca Juga:  Gelombang Kenaikan Pajak Daerah dan Riak Perlawanan Rakyat

 

Kesenjangan Komunikasi Lintas Kelas

Data survei juga memperlihatkan pola menarik dalam stratifikasi ekonomi. Responden dari kelas bawah paling banyak menyatakan puas terhadap Farhan.

Ini bisa ditafsirkan sebagai dampak dari kebijakan bantuan sosial atau pendekatan populis yang terasa langsung.

Namun, ada kemungkinan bahwa rendahnya literasi kebijakan dan akses informasi membuat warga di kelas ini cenderung menilai berdasarkan impresi personal.

Di sisi lain, kelas atas justru menunjukkan angka “tidak tahu” yang sangat tinggi: 28,6 persen. Fakta ini menimbulkan dua kesimpulan penting.

Pertama, elite lokal merasa tak dilibatkan dalam narasi pembangunan kota. Kedua, komunikasi vertikal antara pemimpin dan kelompok atas belum berjalan.

Bila dibiarkan, hal ini bisa melemahkan dukungan lintas kelas pada masa mendatang.

 

Narasi yang Belum Terstruktur

Meski 90,6 persen responden menilai citra Farhan sebagai baik, hanya 3,6 persen yang langsung menyebutnya sebagai “Wali Kota” ketika mendengar namanya.

Ini mencerminkan ketergantungan besar pada impresi masa lalu, bukan pencitraan berbasis jabatan publik.

Dengan kata lain, legitimasi Farhan sebagai pemimpin belum sepenuhnya terbangun di kesadaran kolektif warga.

Sebanyak 75,8 persen responden bahkan tidak bisa menyebut satu pun kelemahan Farhan.

Bukan karena tidak ada kelemahan, melainkan karena informasi tentang capaian dan kekurangan tidak terdistribusi secara seimbang di ruang publik.

Ini menjadi cerminan dari rendahnya partisipasi publik dalam proses evaluasi kepemimpinan daerah.

 

Distribusi Komunikasi yang Tidak Merata

Kondisi ini menjadi tantangan serius bagi pemerintahan Farhan-Erwin. Lima bulan masa jabatan adalah periode transisi yang menentukan arah. Keduanya harus segera menata ulang strategi komunikasi dan pembagian peran.

Bagi Farhan, modal popularitas harus dikonversi menjadi narasi programatik—dari citra ke substansi. Fokus harus bergeser dari persona ke kebijakan.

Jalan Braga yang ikonik dan penuh sejarah adalah simbol bahwa Bandung tidak bisa dibangun hanya dari kesan, tetapi dari kebijakan yang menjawab realitas kota.

Erwin, di sisi lain, perlu membangun diferensiasi peran. Ia tidak bisa hanya menjadi “bayangan” dari wali kota.

Komunikasi digital, visibilitas lapangan, serta perumusan agenda kebijakan personal menjadi kunci agar publik mengenal dan menghargai kontribusinya. Selama tidak ada narasi tentang siapa dia dan apa perannya, maka legitimasi wakil akan terus lemah.

 

Komunikasi Sebagai Kebijakan Publik

Di tengah lanskap politik lokal yang dinamis, citra dan kepuasan publik bukan hanya soal angka.

Ia adalah refleksi dari seberapa jauh pemerintah hadir dalam kehidupan warganya—baik dalam bentuk program konkret maupun komunikasi yang menyentuh.

Jika komunikasi politik gagal menjangkau semua lapisan, maka keberhasilan kebijakan pun akan kehilangan maknanya.

Farhan dan Erwin punya peluang besar. Tapi peluang itu hanya akan nyata jika mereka mampu menembus batas persepsi, menurunkan ego politik, dan menyapa warga dengan cara yang tepat: melalui data, dialog, dan aksi nyata.

Bandung bukan sekadar kota kreatif. Ia adalah ruang hidup nyata bagi jutaan orang yang menanti lebih dari sekadar senyum kamera.

 

Data Kunci: Survei Litbang Kompas Juli 2025

Indikator Farhan (Wali Kota) Erwin (Wakil Wali Kota)
Kepuasan Publik 68,7% 60,8%
Tidak Puas 21,9% 18,6%
Tidak Tahu 9,5% 20,6%
Citra Positif 90,6% 76,6%
Mengaitkan Nama dengan Jabatan 3,6% < 1%
Menyebut Keunggulan Program 6,4% < 5%
Tidak Tahu Kelemahan 75,8% 69,9%

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Follow WhatsApp Channel djourno.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Kemacetan TB Simatupang: Noda di Tengah Upaya Pramono Anung Atasi Macet Jakarta
Pramono Pangkas Trotoar TB Simatupang: Solusi Kemacetan atau Pengorbanan Pejalan Kaki?
Pajak Daerah dan Stabilitas Sosial: Antara Ambisi Fiskal dan Gelombang Protes
Warga Jateng Puas Kinerja Ahmad Luthfi di Kesehatan, Tersandung di Lapangan Kerja
Tertekan Dampak Transfer Pusat Dipangkas: Pemerintah Daerah Naikkan Pajak, Picu Protes Besar
Survei Litbang Kompas: Warga Jawa Barat Menanti Solusi Ekonomi dari Dedi Mulyadi
Survei Litbang Kompas: Warga Jawa Barat Kecewa Kinerja Dedi Mulyadi Atasi Lapangan Kerja   
Gelombang Kenaikan Pajak Daerah dan Riak Perlawanan Rakyat

Berita Terkait

Rabu, 27 Agustus 2025 - 12:14 WIB

Kemacetan TB Simatupang: Noda di Tengah Upaya Pramono Anung Atasi Macet Jakarta

Minggu, 24 Agustus 2025 - 12:45 WIB

Pramono Pangkas Trotoar TB Simatupang: Solusi Kemacetan atau Pengorbanan Pejalan Kaki?

Jumat, 22 Agustus 2025 - 18:25 WIB

Pajak Daerah dan Stabilitas Sosial: Antara Ambisi Fiskal dan Gelombang Protes

Rabu, 20 Agustus 2025 - 10:10 WIB

Warga Jateng Puas Kinerja Ahmad Luthfi di Kesehatan, Tersandung di Lapangan Kerja

Selasa, 19 Agustus 2025 - 15:22 WIB

Tertekan Dampak Transfer Pusat Dipangkas: Pemerintah Daerah Naikkan Pajak, Picu Protes Besar

Berita Terbaru

Kolom

Warisan Pemikiran Ekonomi Syafruddin Prawiranegara

Jumat, 29 Agu 2025 - 13:28 WIB