djourno.id — Di tengah bayang-bayang ketidakpastian global, Indonesia mencatatkan pertumbuhan ekonomi 5,12 persen pada triwulan II-2025, melampaui prediksi konsensus ekonom yang mentok di bawah 5 persen.
Angka ini bukan hanya kejutan statistik, tetapi juga kado indah jelang Hari Kemerdekaan ke-80 pada 17 Agustus mendatang.
Lebih dari itu, capaian ini memberi napas lega bagi pemerintah untuk merancang kebijakan ekonomi yang lebih tajam, mengatasi tantangan struktural, dan memperkuat fondasi pertumbuhan jangka panjang.
Konsumsi Domestik: Tulang Punggung di Tengah Badai
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga berlaku pada triwulan II-2025 mencapai Rp 5.665,9 triliun, sementara PDB atas dasar harga konstan menyentuh Rp 3.264,5 triliun.
“Pertumbuhan tahunan 5,12 persen ini ditopang konsumsi rumah tangga sebesar 2,64 persen dan pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi sebesar 2,06 persen,” ujar Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS, Edy Mahmud, dalam konferensi pers hibrida di Jakarta, Selasa (5/8/2025).
Konsumsi rumah tangga, yang menyumbang 54,25 persen PDB, tumbuh kuat sebesar 4,97 persen.
Industri pengolahan menjadi motor utama dengan kontribusi 1,13 persen, diikuti sektor perdagangan (0,70 persen), informasi dan komunikasi (0,53 persen), serta konstruksi (0,47 persen).
Secara triwulanan, ekonomi melonjak 4,04 persen, bangkit dari kontraksi 0,98 persen pada triwulan I-2025.
“Pola musiman menunjukkan triwulan II selalu lebih kuat, tapi kali ini benar-benar di luar perkiraan,” tambah Edy.
Capaian ini mengejutkan karena melawan arus pesimisme. Survei Bloomberg terhadap 30 ekonom memproyeksikan pertumbuhan hanya 4,8 persen, dengan estimasi tertinggi 5 persen dari Gareth Leather (Capital Economics) dan Enrico Tanuwidjaja (UOB Indonesia).
LPEM FEB UI bahkan lebih konservatif, mematok 4,78–4,82 persen, dipengaruhi kekhawatiran atas penurunan daya beli, transisi pemerintahan, dan ancaman perang dagang global.
Daya Tahan di Tengah Gejolak Global
Di panggung global, Indonesia tampil menonjol. Pertumbuhan 5,12 persen mengungguli Malaysia (4,5 persen), Singapura (4,3 persen), Korea Selatan (0,5 persen), dan Amerika Serikat (2 persen).
Meski kalah dari Vietnam (8 persen) dan China (5,2 persen), angka ini mencerminkan ketangguhan ekonomi domestik di tengah tekanan eksternal, seperti ancaman tarif dagang dari kebijakan Presiden AS Donald Trump dan ketergantungan pada komoditas alam.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perindustrian, Saleh Husin, menyebut capaian ini “mengejutkan” mengingat konsumsi masyarakat belum pulih sepenuhnya dan investasi masih menanti kepastian kebijakan.
“Ekspor juga tertekan oleh dinamika global, tapi stabilitas domestik menyelamatkan kita,” ujarnya.
Ia optimistis, percepatan belanja pemerintah dan kolaborasi dengan dunia usaha dapat mendorong pertumbuhan lebih tinggi di paruh kedua 2025.
Tantangan Struktural dan Kebijakan Publik
Namun, di balik euforia, tantangan struktural masih menghantui. Laporan LPEM FEB UI menyoroti penurunan daya beli, rendahnya produktivitas, dan iklim usaha yang belum kondusif.
Konsumsi pemerintah, misalnya, justru menyumbang kontribusi negatif sebesar -0,22 persen, sebagian akibat lambatnya realisasi belanja APBD di daerah.
Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah pada 7 Juli 2025 mengungkapkan, banyak pemerintah daerah gagal mengoptimalkan anggaran untuk program strategis seperti Tiga Juta Rumah, yang seharusnya mendongkrak sektor konstruksi.
Stimulus ekonomi senilai Rp 24,4 triliun yang digulirkan pemerintah pada akhir triwulan II-2025 belum mampu mengatasi masalah struktural, seperti minimnya lapangan kerja formal.
“Stabilitas ekonomi bergantung pada pekerjaan formal yang memberikan penghasilan stabil dan akses ke jaminan sosial,” kata Edy.
Data BPS menunjukkan, tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Februari 2025 masih di angka 4,82 persen, dengan sektor informal masih mendominasi 58,6 persen tenaga kerja.
Jalan ke Depan: Kebijakan yang Lebih Tajam
Pertumbuhan 5,12 persen ini bukan hanya angka, tetapi juga sinyal bahwa Indonesia punya modal kuat untuk melangkah lebih jauh—jika kebijakan publik tepat sasaran.
Ekonom menyarankan pemerintah fokus pada tiga hal: mempercepat belanja produktif, memperbaiki iklim investasi, dan mendorong produktivitas melalui pelatihan tenaga kerja.
Selain itu, sektor ekspor nonmigas, yang tumbuh berkat kunjungan wisatawan mancanegara, menunjukkan potensi pariwisata sebagai penggerak ekonomi.
Data Kementerian Pariwisata mencatat, kunjungan wisman pada triwulan II-2025 naik 12,3 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya, menyumbang devisa US$4,2 miliar. Kebijakan promosi destinasi dan kemudahan visa bisa memperkuat tren ini.
Kado dan Tantangan Kemerdekaan
Pertumbuhan 5,12 persen ini adalah kado manis menjelang Hari Kemerdekaan, tetapi juga pengingat bahwa perjalanan masih panjang.
Dengan konsumsi domestik yang kokoh dan investasi yang mulai menggeliat, Indonesia punya fondasi kuat.
Namun, tanpa kebijakan yang menjawab tantangan struktural—dari daya beli yang lemah hingga lambatnya belanja daerah—capaian ini bisa jadi sekadar kilatan sementara.
Pemerintah kini punya ruang untuk berinovasi. Percepatan belanja APBD, reformasi iklim investasi, dan dorongan pada sektor produktif seperti industri pengolahan dan pariwisata bisa menjadi formula untuk menjaga momentum.
Seperti kata Saleh Husin, “Ini bukan akhir, tapi awal untuk membuktikan bahwa Indonesia bisa lebih tangguh.”
Dengan kebijakan yang tepat, kado kemerdekaan ini bisa jadi fondasi untuk lompatan ekonomi yang lebih besar.