djourno.id—Di atas meja-meja direksi dan komisaris BUMN, surat edaran bernomor S-063/DI-BP/VII/2025 dari Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) mendarat dengan sunyi tapi menghentak.
Tertanggal 30 Juli 2025, surat itu menyatakan satu keputusan tegas: tidak ada lagi tantiem dan insentif berbasis kinerja. Di mata sebagian kalangan, ini langkah reformasi berani.
Tapi di balik gema moralitas, surat itu kini berdiri di persimpangan antara niat baik dan batas kewenangan. Di balik keberaniannya, kebijakan ini terancam menjadi sekadar seruan simbolis yang mudah diabaikan.
Tantiem, imbalan finansial yang diberikan kepada direksi dan komisaris berdasarkan laba perusahaan, telah lama menjadi bagian dari budaya BUMN.
Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-12/MBU/11/2020, yang memperbolehkan pemberian tantiem selama perusahaan tidak mencatatkan kerugian yang memburuk dibandingkan tahun sebelumnya.
Aturan ini, misalnya, memungkinkan PT Waskita Karya Tbk membagikan tantiem kepada direksi dan komisarisnya pada 2021, meski perusahaan mencatat rugi bersih Rp1,7 triliun—dengan alasan kerugian tersebut lebih kecil dari tahun sebelumnya.
Namun, surat edaran Rosan menantang status quo. Dengan tegas, dokumen itu menyatakan bahwa komisaris BUMN tidak lagi berhak atas tantiem, insentif kinerja, atau penghasilan lain yang terkait dengan performa perusahaan.
Untuk direksi, pemberian tantiem masih diizinkan, tetapi dengan syarat ketat: laba yang menjadi dasar insentif harus bersih dari manipulasi laporan keuangan.
Langkah ini, kata Rosan, bertujuan menegakkan integritas dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan BUMN, sejalan dengan semangat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, yang terakhir diubah pada 2025.
Resistensi dari Regulasi yang Lebih Kuat
Meski niatnya mulia, kebijakan ini langsung menuai skeptisisme. Analis kebijakan publik dari NEXT Indonesia, Herry Gunawan, menyoroti kelemahan mendasar dari surat edaran tersebut: ia tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
“BPI Danantara bukan regulator. Yang berlaku tetap Peraturan Menteri BUMN. Jika ingin menghapus tantiem, Rosan harus mendorong revisi atau pencabutan peraturan menteri,” ujar Herry dengan nada tegas namun penuh perhitungan, dalam keterangan tertulisnya, Senin (4/8).
Menurut Herry, surat edaran hanyalah imbauan yang tidak bisa menggugurkan aturan yang sudah ada.
Peraturan Menteri BUMN yang masih berlaku memberikan celah bagi BUMN untuk tetap membagikan tantiem, bahkan kepada perusahaan yang merugi, selama kerugiannya menurun.
“Ini sudah terbukti. Waskita Karya rugi, tapi tantiem tetap dibagikan karena sesuai klausul ‘tidak semakin rugi’,” tambahnya, mengacu pada kasus yang menjadi sorotan publik beberapa tahun lalu.
Herry juga mempertanyakan komitmen BPI Danantara terhadap prinsip tata kelola yang baik. Ia menyinggung praktik pengangkatan pejabat publik aktif, seperti wakil menteri atau pejabat eselon I, sebagai komisaris BUMN.
Praktik ini, menurutnya, melanggar sejumlah regulasi, termasuk Undang-Undang Kementerian Negara dan putusan Mahkamah Konstitusi yang melarang wakil menteri merangkap jabatan sebagai komisaris.
“Kalau serius memperbaiki tata kelola, mulailah dari rekrutmen komisaris. Jangan biarkan konflik kepentingan dibiarkan begitu saja,” tegasnya.
Dampak Finansial dan Simbolisme Kebijakan
Meski dianggap lemah secara hukum, kebijakan Rosan tidak sepenuhnya tanpa dampak.
Herry mengakui bahwa semangat di balik larangan tantiem adalah langkah positif untuk menghapus budaya “bancakan” di BUMN.
Ia memperkirakan, penghapusan tantiem dapat menghemat dana yang cukup signifikan, meski porsinya kecil dibandingkan laba perusahaan.
Sebagai contoh, Bank Mandiri pada 2024 membagikan tantiem sebesar Rp1,1 triliun untuk kinerja 2023, yang hanya sekitar 1 persen dari laba bersih Rp55,1 triliun. Sementara itu, Telkom mengalokasikan Rp242,7 miliar untuk tantiem, juga sekitar 1 persen dari laba Rp23,6 triliun.
“Secara nominal, angkanya memang besar. Dana ini bisa dialihkan untuk investasi di sumber daya manusia atau teknologi informasi,” kata Herry.
Ia membayangkan BUMN yang lebih efisien, dengan keuangan yang dialokasikan untuk kepentingan jangka panjang, bukan untuk imbalan jangka pendek bagi komisaris.
Namun, di sisi lain, pengamat BUMN Toto Pranoto dari Universitas Indonesia memperingatkan potensi efek samping.
Menghapus tantiem, katanya, bisa mengurangi minat talenta terbaik untuk menjadi komisaris. “Solusinya, gaji tetap komisaris bisa dinaikkan, tapi dengan syarat: beban kerja dan akuntabilitas mereka juga harus ditingkatkan,” ujar Toto.
Ia menyarankan pengawasan yang lebih substantif, seperti fokus pada pengendalian aksi korporasi, bukan sekadar tugas normatif.
Politik di Balik Kursi Komisaris
Di balik perdebatan soal tantiem, ada isu yang lebih pelik: praktik pengangkatan komisaris yang sarat muatan politik.
Herry menyinggung fenomena “political appointee”, di mana kursi komisaris sering menjadi jatah bagi tokoh partai koalisi, tim sukses, atau pihak-pihak yang dianggap berjasa secara politik.
Nama-nama seperti Fahri Hamzah (komisaris BTN) dan Giring Ganesha menjadi sorotan sebagai contoh pengangkatan yang memicu tanda tanya.
“Kalau motifnya memang memperbaiki BUMN, hapus dulu praktik penunjukan komisaris berdasarkan politik balas budi. Baru bicara soal tantiem,” kata Herry.
Ia menilai, tanpa perubahan mendasar pada sistem rekrutmen, kebijakan Rosan hanya akan menjadi simbolisme yang mudah dilupakan.
Langkah yang Terancam Tenggelam
Di tengah sorotan ini, Rosan Roeslani tampak berjalan di atas tali tipis. Di satu sisi, ia berupaya menunjukkan komitmen terhadap tata kelola yang lebih bersih.
Di sisi lain, kebijakannya terhambat oleh keterbatasan wewenang dan resistensi dari regulasi yang lebih kuat.
Tanpa dukungan nyata dari Kementerian BUMN untuk merevisi Peraturan Menteri, surat edaran Danantara berisiko menjadi sekadar seruan moral yang tidak mengikat.
Bagi publik, kebijakan ini mungkin terdengar seperti janji perubahan. Namun, di koridor-koridor kekuasaan BUMN, suara Rosan bisa jadi hanya bergema sebentar sebelum tenggelam dalam realitas regulasi dan kepentingan yang lebih besar.
Akankah langkah ini mendorong reformasi sejati, atau hanya menjadi catatan kecil dalam sejarah panjang BUMN? Waktu yang akan menjawab.