djourno.id—Di tengah hamparan sawah Desa Banyu Urip, Lombok Barat, Senin (27/09), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, memaparkan visi untuk mewujudkan swasembada pangan, salah satu pilar utama Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.
Dengan pendekatan yang mengedepankan dialog langsung dengan masyarakat, kebijakan berbasis data, dan keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan, AHY menunjukkan langkah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui infrastruktur yang inklusif dan berkelanjutan.
Optimalisasi Infrastruktur untuk Swasembada Pangan
AHY menegaskan bahwa infrastruktur adalah tulang punggung swasembada pangan. “Kita harus pastikan setiap bendungan benar-benar terhubung ke saluran irigasi primer, sekunder, hingga tersier sampai ke sawah petani,” katanya.
Di Desa Banyu Urip, misalnya, perbaikan 7 kilometer saluran irigasi dari pasangan batu ke precast beton telah mengurangi kebocoran air dari 30-35% menjadi hanya 10%.
“Ini memungkinkan petani menanam dua hingga tiga kali setahun, bukan hanya sekali,” tambahnya, menyoroti peningkatan indeks pertanaman sebagai kunci produktivitas.
Data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mencatat Indonesia memiliki lebih dari 300 bendungan, namun banyak yang belum optimal karena kurangnya konektivitas dengan saluran irigasi.
Untuk itu, pemerintah pusat mengalokasikan Rp1,63 triliun dan daerah Rp1,61 triliun guna memperbaiki dan membangun infrastruktur irigasi.
AHY menekankan pendekatan partisipatif: “Melihat langsung bisa memberikan bayangan utuh. Seeing is believing.”
Dialog dengan petani memungkinkan kebijakan yang tepat sasaran, mengingat setiap daerah memiliki tantangan dan karakteristik unik. “Tidak ada satu formula untuk semua,” ujarnya.
Infrastruktur Multifungsi: Dari Pangan hingga Pariwisata
Lebih dari sekadar mendukung pertanian, AHY melihat infrastruktur seperti bendungan sebagai aset multifungsi.
“Bendungan bisa untuk penyedia air baku, pengendalian banjir, pembangkit listrik terbarukan, bahkan wisata,” katanya.
Ia menyebut Bendungan Cirata dan Jatiluhur sebagai contoh lokasi dengan pemandangan indah yang dapat dikembangkan untuk olahraga air, rekreasi, atau camping.
“Jika wisata berkembang, lapangan kerja terbuka dan ekonomi lokal, terutama UMKM, akan tergerak,” tambahnya.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), sektor pariwisata menyumbang 4,5% terhadap PDB nasional pada 2024, dengan potensi pertumbuhan lebih besar melalui pemanfaatan infrastruktur secara kreatif.
AHY menegaskan bahwa infrastruktur bukan hanya soal fisik, tetapi tentang dampak nyata.
“Infrastruktur bukan sekadar beton dan besi, tetapi bagaimana ia meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” katanya, menekankan pentingnya proyek-proyek sederhana yang langsung dirasakan manfaatnya oleh petani dan komunitas lokal.
Sekolah Rakyat: Memutus Rantai Kemiskinan
Selain infrastruktur fisik, AHY mendorong investasi pada sumber daya manusia melalui program Sekolah Rakyat, yang menyasar anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem.
“Sekolah Rakyat adalah sekolah gratis untuk mereka yang sangat tidak mampu, dengan fasilitas asrama, laboratorium, dan komputer,” jelasnya.
Program ini, kolaborasi antara Kementerian Sosial dan PUPR, bertujuan memutus rantai kemiskinan melalui pendidikan berkualitas.
“Kita ingin mereka punya keterampilan, keluar dari jebakan kemiskinan,” ujar AHY.
Data Kementerian Sosial 2024 menunjukkan 10,1% penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan, terutama di desil 1 dan 2.
Sekolah Rakyat menjadi intervensi strategis, tidak hanya membangun kapasitas intelektual, tetapi juga karakter dan ketahanan fisik.
“Lulusannya bisa melanjutkan kuliah, diserap dunia kerja, atau direkrut pemerintah,” katanya, menegaskan bahwa pendidikan adalah investasi jangka panjang.
“Ini bukan proses setahun-dua tahun, tapi harus dilalui tanpa shortcut,” tambahnya.
Ekonomi, Kesejahteraan, dan Lingkungan
AHY menegaskan bahwa pembangunan harus menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan, dan pelestarian lingkungan.
“Krisis iklim bukan hoax. Kita tidak bisa mengorbankan lingkungan demi ekonomi,” katanya, merujuk laporan IPCC tentang ancaman pemanasan global terhadap ketahanan pangan.
Ia menekankan perlunya menjaga lahan sawah agar tidak sepenuhnya dikonversi menjadi kawasan industri atau perumahan. “Indonesia bisa jadi contoh dengan hutan sebagai paru-paru dunia,” ujarnya.
Untuk mengatasi keterbatasan fiskal, AHY mendorong pendanaan inovatif melalui investasi swasta yang kredibel.
“Kita berkomunikasi dengan investor dalam dan luar negeri, memastikan win-win solution,” katanya.
Prinsipnya adalah menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan, dan pelestarian alam, tanpa mengorbankan salah satunya.
Tantangan dan Harapan
AHY mengakui tantangan terbesar adalah menetapkan prioritas di tengah keterbatasan sumber daya.
“Kita ingin melakukan segalanya, tapi kebijakan publik harus praktis,” katanya.
Ia mengesampingkan perfeksionisme, memilih fokus pada progres kecil yang dapat disyukuri.
“Setiap langkah, sekecil apa pun, adalah penyemangat untuk melangkah lebih jauh,” ujarnya.
Menuju Indonesia Emas 2045, AHY membayangkan pembangunan yang terintegrasi, di mana infrastruktur dan SDM menjadi fondasi kemajuan.
Dengan pendekatan lapangan yang genuine, kebijakan yang inklusif, dan komitmen pada keseimbangan, ia menawarkan harapan bahwa swasembada pangan dan kesejahteraan rakyat adalah tujuan yang dapat dicapai.
“Pembangunan adalah untuk manusia, untuk kualitas hidup masyarakat,” tutupnya, menegaskan bahwa setiap kebijakan harus berdampak nyata bagi rakyat.