Ketika Celengan Digital Dibekukan: Rakyat Kecil Jadi Tumbal Perang Melawan Judi Online

- Penulis

Sabtu, 2 Agustus 2025 - 15:00 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

djourno.id—Di sebuah desa di Jawa Tengah, seorang ibu rumah tangga bernama Sumiatun menyimpan Rp1,2 juta di rekening tabungan bank miliknya.

Uang itu adalah hasil menabung bertahun-tahun untuk biaya haji suaminya. Rekening itu jarang disentuh—hanya diisi, tak pernah ditarik.

Tapi bulan lalu, saat ia mencoba mengecek saldo untuk menyetor tambahan, layar ATM menampilkan pesan yang tak dikenalnya: “Rekening diblokir.”

Sumiatun bukan satu-satunya. Ribuan, bahkan jutaan nasabah dengan profil serupa mendadak panik. Mereka tidak mengerti mengapa rekening yang sudah mereka rawat justru dianggap mencurigakan oleh negara.

Pemicunya adalah sebuah kebijakan baru yang diluncurkan secara diam-diam oleh negara.

 

Kebijakan yang Menggegerkan: Rekening Pasif Dibekukan

Pada pertengahan 2025, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) merilis kebijakan pemblokiran terhadap rekening yang tidak aktif selama tiga bulan berturut-turut.

Tujuannya jelas: untuk memutus rantai pendanaan judi online dan pencucian uang yang menggunakan rekening ‘tidur’ sebagai kedok transaksi.

Menurut Koordinator Substansi PPATK, Natsir Pongah, rekening dormant sangat rentan disalahgunakan:

“Dana pada rekening dormant diambil secara melawan hukum baik oleh internal bank maupun pihak lain. Rekening yang tidak diketahui pemiliknya sangat rentan menjadi target kejahatan,” ujarnya.

Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, bahkan menyebut kebijakan ini sebagai bagian dari sistem pemantauan integratif:

“Ada crawling kontennya, dan ada juga crawling rekeningnya.”

Namun, apa yang dalam logika keamanan tampak seperti inovasi, dalam pengalaman warga justru menjelma menjadi mimpi buruk administratif.

 

Data Tak Pernah Bohong: Publik Menolak, Media Mendukung

 

Drone Emprit, lembaga analisis data digital, mencatat dinamika mengejutkan:

81% percakapan di media sosial terkait kebijakan ini bersentimen negatif.

Hanya 4% yang positif, sisanya netral.

Di sisi lain, media online arus utama justru 69% positif, karena menyoroti keberhasilan menekan judi online hingga 70%.

Artinya, meskipun media menganggap kebijakan ini sebagai langkah maju, rakyat justru merasa tercederai.

Terutama mereka yang hidup di pinggiran sistem—bukan pelaku kriminal, melainkan penyimpan harapan.

Sentimen dominan di media sosial adalah keterkejutan dan kekhawatiran.

Banyak netizen menyebut pengalaman ini sebagai “frustrasi administratif”—terblokir tanpa notifikasi, harus mengurus reaktivasi yang rumit, dan sering kali saldo mereka terlalu kecil untuk memperjuangkan kembali.

 

Narasi di Balik Angka: Siapa yang Benar-Benar Terdampak?

Laporan Drone Emprit menyoroti satu hal penting: nasabah yang paling terpukul bukanlah korporasi besar, melainkan rakyat kecil.

Rekening pasif kerap dianggap “tidak aktif” secara sistem, padahal bagi banyak warga, itu adalah brankas digital untuk:

  • Dana pendidikan anak
  • Tabungan ibadah haji/umrah
  • Biaya pengobatan tak terduga
  • Cadangan hidup saat paceklik

 

Seorang netizen menulis:

“Saya bukan kriminal. Saya hanya ingin menyimpan uang saya dengan aman. Kenapa rekening saya diblokir tanpa sebab?”

Rio Priambodo dari YLKI menegaskan bahwa:

“Menyoal keuangan sangat sensitif, apalagi jika rekening yang diblokir merupakan tabungan jangka panjang.”

Kebijakan ini telah membuat banyak warga merasa dicurigai hanya karena mereka memilih untuk tidak aktif bertransaksi.

 

Risiko Jangka Panjang: Financial Exclusion

Di dunia ekonomi digital, kepercayaan terhadap sistem keuangan formal adalah fondasi. Ketika masyarakat kehilangan kepercayaan, mereka akan keluar dari sistem.

Baca Juga:  Capaian Gubernur Jawa: Layanan Dasar Oke, Ekonomi Rakyat Masih Tercecer

World Bank (2021) menyebut fenomena ini sebagai financial exclusion, yaitu:

“Ketika akses dan kepercayaan hilang, orang keluar dari sistem, dan membangun kembali kepercayaan itu butuh waktu bertahun-tahun.”

 

Efek domino yang muncul:

  • Warga memilih menyimpan uang di rumah
  • Transaksi kembali dilakukan secara tunai
  • Sistem keuangan nasional kehilangan basis loyalitasnya

Hal ini berbahaya bukan hanya dari sisi keamanan, tapi juga dari sisi pembangunan ekonomi nasional.

 

Kritik dari Parlemen hingga Publik: Negara Tak Boleh Gegabah

Anggota DPR RI Hinca Pandjaitan menyatakan dengan keras:

“Negara, dalam bentuk apa pun, tak boleh gegabah menaruh curiga ke rakyatnya sendiri, apalagi yang hanya sedang diam, bukan menghilang.”

Hotman Paris bahkan menyebut kebijakan ini melanggar hak konstitusional:

“Negara tidak berhak menyentuh hak milik pribadi rakyat tanpa dasar hukum yang jelas. Ini pelanggaran HAM.”

Pengamat kebijakan publik Sugiyanto menyebutnya sebagai “ngawur”, dan Trioksa Siahaan dari LPPI menambahkan:

“Blokirlah yang memang terindikasi, bukan semua yang pasif.”

 

Solusi Cerdas: Bukan Massal, Tapi Presisi

Jika masalahnya adalah potensi penyalahgunaan rekening, maka solusinya tidak boleh massal. Negara perlu menerapkan risk-based profiling, sebagaimana dilakukan oleh:

Bank Negara Malaysia melalui risk-based supervision

FIU-IND India melalui sistem targeted freeze

 

Apa bedanya?

Rekening hanya diblokir jika:

  • Memiliki frekuensi transfer mencurigakan
  • Terlibat dalam transaksi structuring
  • Terhubung dengan akun berisiko tinggi

 

Teknologi yang digunakan:

  • Artificial Intelligence (AI)
  • Machine Learning (ML)
  • Sistem deteksi anomali real-time

 

“AI bukan menggantikan manusia, tapi membuka mata terhadap yang tak terlihat.” — FATF, 2023

 

Langkah Konkret yang Disarankan Drone Emprit

  1. Sosialisasi Proaktif:

Kirim notifikasi minimal 30 hari sebelum pemblokiran.

  1. Verifikasi Berbasis Data dan AI:

Deteksi yang diam-diam aktif, bukan yang pasif tapi aman.

  1. Pemisahan Kewenangan:

Blokir hanya boleh dilakukan oleh OJK, bukan PPATK.

 

  1. Pengecualian Sosial:

Lindungi warga di daerah 3T, lansia, dan nasabah saldo kecil.

  1. Reaktivasi Cepat dan Ramah Pengguna:

Jalur daring yang simpel, gratis, dan tidak menyiksa birokrasi.

 

Rakyat Butuh Perlindungan, Bukan Kecurigaan

Di tengah semangat memberantas kejahatan finansial, negara harus ingat satu hal: rakyat adalah sekutu, bukan musuh.

Martin Kenney dari Transparency International berkata:

“Kepercayaan dalam tata kelola keuangan dibangun bukan hanya dengan menangkap penjahat, tapi dengan memperlakukan warga biasa dengan bermartabat.”

Dan Helen Clark menutupnya dengan elegan:

“Good governance is not just about making the right decision, but about making it in the right way.”

Rakyat seperti Sumiatun, yang menyimpan uang untuk ibadah, bukanlah ancaman.

Mereka adalah tulang punggung keuangan nasional. Jika mereka tak lagi percaya, maka bukan hanya sistem yang hancur—tapi legitimasi negara sebagai pelindung warganya.

 

Sumber utama:

Laporan “Membasmi Judi Online, Tanpa Membasmi Kepercayaan Publik” oleh Ismail Fahmi, Founder Drone Emprit, 2025.

Data dikumpulkan dari analisis media daring dan media sosial nasional periode Juli–Agustus 2025.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Follow WhatsApp Channel djourno.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Capaian Gubernur Jawa: Layanan Dasar Oke, Ekonomi Rakyat Masih Tercecer
Seberapa Efektif Bansos Selama Pandemi?
Bansos Digital: Meningkat, Tapi Masih Belum Tepat?

Berita Terkait

Sabtu, 2 Agustus 2025 - 15:00 WIB

Ketika Celengan Digital Dibekukan: Rakyat Kecil Jadi Tumbal Perang Melawan Judi Online

Minggu, 27 Juli 2025 - 15:22 WIB

Capaian Gubernur Jawa: Layanan Dasar Oke, Ekonomi Rakyat Masih Tercecer

Sabtu, 19 Juli 2025 - 10:03 WIB

Seberapa Efektif Bansos Selama Pandemi?

Sabtu, 19 Juli 2025 - 09:40 WIB

Bansos Digital: Meningkat, Tapi Masih Belum Tepat?

Berita Terbaru