Hadapi Gelombang Kemiskinan Baru, Bagaimana Formula Kebijakan Jakarta?

- Penulis

Selasa, 29 Juli 2025 - 15:49 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

djourno.id—Di bawah gemerlap lampu ibu kota, sebuah kenyataan pahit muncul: kemiskinan di Jakarta meningkat untuk pertama kalinya sejak pandemi COVID-19.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta mencatat bahwa pada Maret 2025, tingkat kemiskinan mencapai 4,28%, naik dari 4,14% pada September 2024, dengan jumlah penduduk miskin bertambah 15.800 jiwa menjadi 464.870 orang.

Kenaikan ini, meski terlihat kecil, menjadi alarm bagi Jakarta, kota dengan perekonomian terbesar di Indonesia, yang menyumbang Rp3.679 triliun pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 2024.

“Beban ekonomi makin berat dirasakan oleh masyarakat berpenghasilan rendah,” ujar Asisten Perekonomian dan Keuangan Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta, Suharini Eliawati, dalam keterangannya di Jakarta, Senin, 28 Juli 2025.

Dengan penuh tekad, ia mengumumkan tujuh kebijakan strategis yang disusun Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk menekan angka kemiskinan dan mempersempit ketimpangan sosial, yang kini menjadi yang tertinggi di Indonesia dengan rasio Gini 0,441 pada Maret 2025, naik dari 0,431 pada September 2024.

 

Kemiskinan Baru di Tengah Pemulihan Ekonomi

Kenaikan angka kemiskinan ini mencerminkan pemulihan ekonomi yang belum inklusif.

Data BPS menunjukkan bahwa proporsi pengeluaran 40% masyarakat terbawah hanya mencapai 16,12%, mengindikasikan ketimpangan tinggi sesuai klasifikasi Bank Dunia.

Faktor utama pemicu adalah meningkatnya jumlah pekerja informal, yang mencapai 36,31% dari total 5,11 juta pekerja di Jakarta pada Agustus 2024, serta tekanan inflasi, terutama pada pangan dan energi.

Kepala BPS DKI Jakarta, Nurul Hasanudin, menambahkan bahwa ketidakstabilan harga kebutuhan pokok juga memperparah situasi.

Garis kemiskinan per rumah tangga di Jakarta pada Maret 2025 tercatat Rp4,178 juta per bulan, turun 1,42% dari Rp4,238 juta pada September 2024, namun tetap jauh di atas rata-rata nasional.

Komoditas seperti beras, emas perhiasan, dan minyak goreng menjadi penyumbang utama inflasi, yang meski terkendali pada 1,48% secara tahunan pada Desember 2024, tetap memberi tekanan pada daya beli masyarakat miskin.

 

Tujuh Langkah Menuju Jakarta yang Lebih Adil

Menghadapi tantangan ini, Pemprov DKI merancang tujuh kebijakan strategis sebagai jaring pengaman sekaligus pendorong ekonomi inklusif.

Pertama, pengendalian inflasi pangan dan energi dilakukan melalui intervensi harga pasar, subsidi ongkos distribusi, dan penguatan cadangan pangan strategis.

Program pasar sembako murah, seperti yang digelar di RPTRA Pulo Gundul, Jakarta Pusat, menjadi contoh nyata, di mana warga bisa mendapatkan paket sembako senilai Rp100.000 berisi beras, tepung, minyak goreng, dan gula.

Kedua, perluasan dan penguatan bantuan sosial menargetkan kelompok hampir miskin dan mereka yang baru jatuh miskin akibat tekanan ekonomi.

Program seperti Kartu Jakarta Pintar Plus (KJP Plus), Kartu Lansia Jakarta (KLJ), dan Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) telah menjangkau warga yang terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), dengan total bansos Rp17,5 triliun telah disalurkan hingga 2024.

Namun, Yanu Endar Prasetyo dari BRIN menekankan perlunya bansos yang tidak hanya mengurangi beban pengeluaran, tetapi juga berfungsi sebagai investasi sosial untuk mendorong kemandirian ekonomi.

Ketiga, penciptaan kerja formal menjadi prioritas melalui program padat karya, pelatihan keterampilan digital, penguatan UMKM, dan kemitraan dengan sektor swasta.

Data BPS menunjukkan jumlah pekerja tidak penuh meningkat 14,23% pada Agustus 2024, menandakan urgensi transisi menuju pekerjaan formal. Inisiatif seperti pelatihan digital di Jakarta Smart City berpotensi menjembatani kesenjangan keterampilan, terutama bagi 1,85 juta pekerja informal.

Keempat, peningkatan akses hunian dan layanan dasar mencakup penyediaan hunian terjangkau dan subsidi untuk listrik, transportasi publik, serta pendidikan.

Program rumah DP 0% yang sempat populer di era sebelumnya kini diperluas untuk menjangkau kelompok rentan di wilayah padat penduduk seperti Tanjung Priok dan Cengkareng.

Baca Juga:  Pagi Terlalu Dini, Malam Terlalu Ketat: Mengapa Kebijakan Dedi Mulyadi Memicu Badai Protes?

 

Kelima, insentif bagi pelaku usaha yang mempekerjakan kelompok rentan, seperti penyandang disabilitas atau warga lanjut usia, diharapkan mendorong inklusivitas di sektor swasta.

Keenam, pembangunan fondasi dan indikator kebutuhan warga berfokus pada infrastruktur dasar, pengembangan ekonomi hijau, serta akses pendidikan dan kesehatan.

Jakarta, yang menghadapi tantangan perubahan iklim, tengah mengembangkan inisiatif ekonomi hijau, seperti transportasi rendah karbon dan pengelolaan sampah berbasis teknologi.

Terakhir, Jakarta Fund menjadi terobosan untuk mendanai program-program tanpa bergantung pada pajak atau retribusi. Dana ini diharapkan memperkuat investasi di sektor-sektor strategis, seperti teknologi dan UMKM, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

 

Tantangan di Balik Gemerlap Kota

Jakarta, dengan pertumbuhan ekonomi 4,93% pada triwulan III-2024, menunjukkan fondasi makro yang kuat.

Namun, ketimpangan tetap menjadi duri dalam daging. Rasio Gini 0,441 pada Maret 2025 menempatkan Jakarta sebagai provinsi dengan ketimpangan tertinggi di Indonesia, jauh di atas rata-rata nasional 0,379.

Proporsi pengeluaran 40% masyarakat terbawah yang hanya 16,12% menggambarkan jurang lebar antara kelompok kaya dan miskin.

Peningkatan pekerja informal, yang mencapai 36,31% dari total tenaga kerja, menjadi salah satu pemicu.

Banyak warga Jakarta, terutama di wilayah padat seperti Jakarta Utara, terjebak dalam pekerjaan dengan pendapatan tidak menentu.

Meski tingkat pengangguran terbuka (TPT) turun menjadi 6,03% pada Februari 2024, kenaikan pekerja tidak penuh menunjukkan bahwa lapangan kerja yang tersedia belum sepenuhnya stabil.

Inflasi juga memperumit situasi. Meski inflasi tahunan turun menjadi 1,48% pada Desember 2024, kenaikan harga komoditas seperti beras dan minyak goreng terus membebani masyarakat berpenghasilan rendah.

“Kenaikan garis kemiskinan dan ketidakstabilan harga kebutuhan pokok adalah pemicu utama,” ungkap Nurul Hasanudin dari BPS DKI Jakarta.

 

Membangun Jakarta yang Inklusif

Suharini menegaskan bahwa fokus Pemprov DKI bukan hanya menurunkan angka kemiskinan, tetapi juga mempersempit kesenjangan.

“Kami ingin pertumbuhan ekonomi Jakarta lebih merata dan adil,” katanya. Untuk itu, sinergi lintas sektor menjadi kunci. Kolaborasi dengan pemerintah pusat, lembaga filantropi, dan dunia usaha diharapkan menciptakan perlindungan sosial yang adaptif dan lapangan kerja yang berkelanjutan.

Program seperti Jakarta Collaborative Fund menawarkan harapan baru. Dengan pendekatan non-konvensional, dana ini bisa menjadi katalis bagi inovasi sosial dan ekonomi, seperti pengembangan startup teknologi atau UMKM berbasis digital.

Sementara itu, inisiatif ekonomi hijau, seperti pengelolaan limbah dan transportasi berkelanjutan, tidak hanya menjawab tantangan kemiskinan, tetapi juga mendukung visi Jakarta sebagai kota global yang ramah lingkungan.

Namun, tantangan terbesar adalah memastikan kebijakan ini menjangkau kelompok paling rentan.

Data DTKS menunjukkan bahwa separuh warga Jakarta masuk kategori penerima bansos, namun banyak yang masih terlewat, terutama pekerja informal dan migran perkotaan.

“Bansos harus menjadi pengungkit, bukan sekadar bantuan sementara,” kata Yanu Endar Prasetyo, menekankan pentingnya pemberdayaan ekonomi.

 

Cahaya di Ujung Jalan

Jakarta, dengan segala dinamikanya, berada di persimpangan. Di satu sisi, kota ini adalah mesin ekonomi Indonesia, dengan pertumbuhan yang konsisten dan potensi investasi yang besar.

Di sisi lain, kenaikan kemiskinan dan ketimpangan menjadi pengingat bahwa kemajuan ekonomi tidak otomatis merata.

Tujuh kebijakan strategis Pemprov DKI adalah langkah berani untuk menjawab tantangan ini, namun keberhasilannya akan bergantung pada eksekusi yang tepat sasaran dan kolaborasi yang kuat.

Di tengah hiruk-pikuk ibu kota, kisah warga seperti mereka yang mengantre di pasar sembako murah menjadi pengingat bahwa di balik angka-angka, ada kehidupan yang berjuang untuk bertahan.

Dengan kebijakan yang inklusif dan visi yang jelas, Jakarta memiliki peluang untuk tidak hanya menjadi kota yang makmur, tetapi juga kota yang adil bagi semua warganya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Follow WhatsApp Channel djourno.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Dari Pendidikan hingga Pangan: Langkah ‘Aisyiyah Jakarta Barat Semai Keluarga Tangguh
Polemik Kebijakan Rombel 50 Siswa: Dikritik Atalia, Dedi Mulyadi Sindir Ridwan Kamil
Mengapa Kepala Daerah Jawa Barat Ramai-ramai Tolak Kebijakan Dedi Mulyadi?
Kebijakan Sekolah Swasta Gratis Jakarta: Pemerataan atau Sekadar Pencitraan?
Ketika Istri Ridwan Kamil Kritik Kebijakan Dedi Mulyadi
Kebijakan Berbasis Desa: Lampung Wujudkan Penurunan Kemiskinan
Pagi Terlalu Dini, Malam Terlalu Ketat: Mengapa Kebijakan Dedi Mulyadi Memicu Badai Protes?
Bus Biru, Harapan Baru: Kebijakan Pramono Anung dan Revolusi Transportasi Jakarta

Berita Terkait

Senin, 4 Agustus 2025 - 18:38 WIB

Dari Pendidikan hingga Pangan: Langkah ‘Aisyiyah Jakarta Barat Semai Keluarga Tangguh

Senin, 4 Agustus 2025 - 16:13 WIB

Polemik Kebijakan Rombel 50 Siswa: Dikritik Atalia, Dedi Mulyadi Sindir Ridwan Kamil

Minggu, 3 Agustus 2025 - 14:54 WIB

Mengapa Kepala Daerah Jawa Barat Ramai-ramai Tolak Kebijakan Dedi Mulyadi?

Sabtu, 2 Agustus 2025 - 09:52 WIB

Kebijakan Sekolah Swasta Gratis Jakarta: Pemerataan atau Sekadar Pencitraan?

Jumat, 1 Agustus 2025 - 15:54 WIB

Ketika Istri Ridwan Kamil Kritik Kebijakan Dedi Mulyadi

Berita Terbaru