djourno.id—Bayangkan seorang petani di desa terpencil yang kini bisa menyekolahkan anaknya tanpa biaya berkat program Sekolah Rakyat, atau seorang ibu yang anaknya mendapatkan makan bergizi gratis setiap hari di sekolah.
Inilah wujud kebijakan yang disebut Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai “kemaslahatan umat,” yang layak didukung penuh oleh masyarakat dan ulama.
Namun, ketika sebuah kebijakan—meski bertujuan baik—ternyata melenceng dari nilai agama atau menimbulkan kerugian, MUI menegaskan bahwa tugas ulama adalah mengingatkan dan memperbaiki dengan penuh hikmah.
Dalam Annual Conference on Fatwa MUI Studies (ACFS) ke-9 di Jakarta pada Sabtu (26/7/2025), Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Ni’am Sholeh menyerukan sinergi antara ulama dan umaro (pemerintah) untuk memastikan kebijakan publik benar-benar membawa kebaikan.
Mengapa kebijakan yang baik perlu didukung, dan bagaimana kritik konstruktif dapat memperbaiki yang salah?
Dukungan untuk Kebaikan
Menurut Ni’am, kebijakan yang mendatangkan kemaslahatan—seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG), Sekolah Rakyat, Sekolah Garuda, dan pemeriksaan kesehatan—patut mendapat dukungan penuh karena selaras dengan nilai agama dan kepentingan rakyat.
Program MBG, misalnya, menargetkan 15 juta anak sekolah pada 2025, dengan anggaran Rp71 triliun, untuk mengatasi stunting yang masih mengintai 21,6% anak Indonesia (Survei Status Gizi Indonesia 2024).
Sekolah Rakyat, yang menawarkan pendidikan gratis bagi keluarga miskin, telah menjangkau 1,2 juta siswa di 34 provinsi hingga Juli 2025, menurut Kementerian Pendidikan. “Kabinet Merah Putih punya konsen tentang perwujudan kemaslahatan,” ujar Ni’am.
Dalam perspektif ilmu kebijakan publik, dukungan ulama terhadap kebijakan ini memperkuat legitimasi sosial, sebagaimana teori John Bryson tentang keterlibatan stakeholder. Ketika ulama mendukung, kebijakan mendapat kepercayaan masyarakat, memudahkan implementasi dan dampak positifnya.
Ketika Kebijakan Melenceng
Namun, tidak semua kebijakan otomatis mendapat lampu hijau. Ni’am menegaskan bahwa jika sebuah kebijakan menimbulkan “mafsadah” (kerugian) atau bertentangan dengan syariah, ulama wajib memberikan kritik konstruktif untuk memperbaiki, bukan sekadar menolak.
Misalnya, jika sebuah undang-undang atau regulasi—meski bertujuan baik—mengabaikan prinsip keadilan sosial dalam Islam, seperti distribusi manfaat yang tidak merata, MUI akan mengeluarkan fatwa untuk mengingatkan pemerintah.
Sebagai contoh, kebijakan subsidi energi yang tidak tepat sasaran pada 2023 menyebabkan 30% anggaran subsidi BBM mengalir ke kelompok kaya, menurut laporan Kementerian Keuangan.
Dalam kasus seperti ini, fatwa MUI dapat mendorong revisi kebijakan agar lebih adil, seperti menyalurkan subsidi langsung ke kelompok miskin melalui kartu bantuan.
Jalan Menuju Kemaslahatan
Ni’am menyoroti pentingnya relasi simbiotik antara ulama dan umaro, di mana keduanya saling menguatkan untuk mewujudkan kebijakan yang maslahat.
Forum ACFS MUI menjadi wadah untuk membangun dialog ini, memastikan bahwa “agama sebagai pelita” dapat menyinari pengambilan kebijakan.
Contohnya, program pemeriksaan kesehatan gratis yang menjangkau 10 juta warga pada 2025 telah mendapat dukungan MUI karena selaras dengan prinsip Islam tentang menjaga kehidupan (hifz al-nafs).
Namun, Ni’am juga mengingatkan bahwa ulama harus proaktif memberikan masukan jika kebijakan bermasalah, seperti potensi korupsi dalam distribusi anggaran program sosial.
Sinergi ini memastikan kebijakan tidak hanya populis, tetapi juga berkelanjutan dan sesuai nilai agama.
Menuju Kebijakan yang Lebih Baik
MUI menegaskan bahwa mendukung kebijakan yang maslahat dan mengkritik yang bermasalah adalah bagian dari kemitraan ulama-umaro.
Untuk kebijakan seperti MBG atau Sekolah Rakyat, masyarakat dan ulama perlu memberikan dukungan aktif, misalnya melalui kampanye edukasi di masjid-masjid untuk meningkatkan partisipasi.
Namun, jika kebijakan menabrak syariah atau merugikan, seperti distribusi yang tidak adil, kritik konstruktif harus disampaikan dengan hikmah, misalnya melalui dialog publik atau fatwa yang menawarkan solusi.
Pemerintah juga perlu membuka ruang konsultasi dengan ulama dan masyarakat, seperti melalui forum lintas sektoral, untuk memastikan kebijakan berbasis data dan kebutuhan rakyat.
Dengan sinergi ini, Indonesia dapat mewujudkan kebijakan publik yang tidak hanya membawa kemaslahatan, tetapi juga memperkuat harmoni antara agama dan negara.