djourno.id –Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto, pagi itu, duduk di depan layar Zoom, berbicara dengan nada tenang tapi serius. Tema diskusinya: Tindak Lanjut Putusan MK Terkait Penyelenggaraan Pemilu Anggota DPRD.
Tapi yang dipertaruhkan jauh lebih besar dari sekadar jadwal pencoblosan. Ini soal masa depan kebijakan publik yang bisa kembali “nge-lag” antara pusat dan daerah.
Ini karena, dalam bayangan Bima Arya, setelah Pemilu Serentak 2024, pemerintah seperti menemukan “golden moment” dalam sinkronisasi kebijakan.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, para pemimpin di pusat dan daerah memulai masa jabatan secara bersamaan.
Hasilnya? Proses penyusunan APBD terasa seperti main orkestra—semuanya seirama. “Kita bangga bareng-bareng mulai. Susun APBD lebih gampang, target bisa selaras,” ujar Bima.
Dan bukan cuma retorika. Data Kementerian Dalam Negeri menunjukkan efisiensi logistik pemilu serentak mencapai penghematan Rp 2,5 triliun.
Sementara itu, program prioritas nasional seperti transformasi digital bisa langsung di-match dengan kebijakan daerah. Menurut BPS, sinkronisasi ini menyumbang peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah sebesar 1,2% lebih tinggi dibanding yang tidak sinkron.
Bima menyebut momen ini sebagai “ikhtiar baru dengan dimensi keserentakan.” Bahkan ada retret kepala daerah lintas wilayah demi menyatukan langkah. Tapi, ikhtiar ini kini berada di ujung tanduk.
Saat Puzzle Kebijakan Terancam Retak
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahan pemilu nasional dan daerah, ibarat mencabut satu bagian vital dari mesin yang baru saja sinkron.
“Kalau dipisah, bisa terjadi inkompatibilitas. Ada yang nggak nyambung antara lokal dan nasional,” ujar Bima.
Seperti biasa, setiap keputusan politik pasti ada yang riang gembira dan yang berduka cita. Para anggota DPRD boleh bersorak: masa jabatan mereka berpotensi diperpanjang hingga 2,5 tahun pasca pelantikan nasional.
Tapi di sisi lain, kepala daerah dari kubu oposisi mulai khawatir: perpanjangan jabatan justru memperkuat petahana dan menyulitkan regenerasi kepemimpinan.
Namun Bima mengingatkan, jangan terjebak dalam euforia atau luka pribadi. “Kita tarik ke konteks yang lebih besar: integrasi nasional. Ini bukan soal siapa untung dan rugi, tapi bagaimana kebijakan tetap nyambung,” katanya.
Baginya, sistem pemilu boleh berubah, tapi jangan sampai kebijakan jadi korban ketidaksinkronan.
Menjembatani Ketidaksinkronan
Data Kemendagri 2024 mencatat, 42% daerah masih mengalami konflik kebijakan dengan pusat. Mayoritas konflik terjadi dalam program dana desa dan proyek strategis nasional. Potensi pemisahan pemilu bisa membuat angka ini naik.
Solusinya? Bima menyarankan penguatan forum komunikasi seperti APEKSI (Asosiasi Pemerintah Kota) dan APKASI (Asosiasi Pemerintah Kabupaten). Forum ini bisa jadi “jembatan” antara pusat dan daerah agar nggak saling lempar tanggung jawab.
Juga perlu pendekatan teknokratik: pedoman sinkronisasi dari Bappenas perlu diperkuat. Jadi, walau pemilu dipisah, arah pembangunan tetap bisa satu garis.
Sinkronisasi Bukan Sekadar Tanggal, Tapi Nilai
Putusan MK sudah di tangan, dan itu bagian dari dinamika demokrasi. Tapi ujian sebenarnya justru datang sekarang: mampukah Indonesia menjaga arah pembangunan tetap satu haluan meski pemilu beda siklus?
Dalam lanskap politik yang makin terfragmentasi, sinkronisasi pusat-daerah bukan sekadar koordinasi dokumen. Ia adalah ujian kebangsaan. Jika tak dikelola, kita bukan hanya kehilangan efisiensi, tapi juga kehilangan arah.
Seperti kata Bima Arya, “Mengelola perbedaan bukan perkara mudah. Tapi sistem politik harus memperkokoh integrasi bangsa.”
Dan dalam konteks itu, sinkronisasi bukan soal teknis, tapi komitmen untuk tetap ‘satu frekuensi’, demi Indonesia yang utuh dan terarah.