djourno.id—Bayangkan kamu duduk di sebuah warteg Jakarta, menyantap nasi telur dan segelas teh manis. Harga seporsinya naik seribu rupiah dari minggu lalu.
Sederhana, tapi tahukah kamu bahwa perubahan harga itu bisa jadi akibat dari kebijakan fiskal pemerintah yang kamu sendiri belum pernah dengar namanya?
Begitulah kebijakan publik bekerja. Ia tidak mengetuk pintu sebelum masuk ke kehidupan kita. Ia mengatur dari harga LPG di dapur, sinyal internet di gawai, hingga kualitas guru yang mengajar keponakanmu. Diam-diam, ia mempengaruhi segalanya — dari lahir sampai wafat.
Apa Itu Kebijakan Publik dan Mengapa Kita Harus Peduli?
Kebijakan publik bukan cuma urusan menteri atau anggota DPR yang debat di TV. Menurut Roy V. Salomo, dosen FIA UI, “Kebijakan publik itu mengikat seluruh aspek kehidupan masyarakat. Nasib kita ada di sana,” dalam sebuah acara Instagram Live Hukumonline.
Artinya, dari kapan sekolah mulai masuk pagi, sampai besaran pajak yang kamu bayar saat beli kopi, semua ditentukan lewat kebijakan publik.
Sayangnya, banyak dari kita — terutama generasi milenial dan gen Z — belum merasa punya hubungan personal dengan yang namanya kebijakan. Akhirnya kita cuek.
Padahal, seperti kata Bivitri Susanti dalam artikelnya di Kompas (04/10/2022), ada begitu banyak “kebijakan tanpa kebajikan” yang lahir karena masyarakat diam, pasrah, atau tak diberi ruang bersuara.
Ketika ‘Kebijakan’ Tak Lagi Bijak
Lihat saja kebijakan harga minyak goreng yang sempat bikin dapur rumah tangga jungkir balik. Bukannya menyentuh akar persoalan, pemerintah menekan harga secara instan — hasilnya? Minyak langka.
Atau ketika ada rencana menindak gelandangan dengan denda Rp 1 juta, seolah kemiskinan bisa diberantas dengan hukuman, bukan solusi.
Itulah yang disebut ke(tidak)bijakan — ketika aturan dibuat bukan untuk menyelesaikan masalah, tapi menutupi gejala. Kata ‘kebijakan’ dalam bahasa Indonesia bahkan terkesan seolah-olah semua keputusan negara itu pasti bijak. Padahal? Nggak selalu.
Publik Bukan Penonton, Tapi Pemilik Panggung
Kebijakan publik bukan milik elite semata. Dalam setiap tahapannya — dari agenda, formulasi, implementasi, hingga evaluasi — kita sebagai warga negara berhak ikut terlibat. Bukan sekadar dipakai sebagai objek, tapi hadir sebagai subjek yang menyuarakan kebutuhan dan nilai-nilai.
Roy menekankan: “Masyarakat harus tahu bahwa kebijakan yang diimplementasikan itu pakai uang rakyat. Maka rakyat juga punya hak untuk tahu, bertanya, dan mengawasi.” Ini bukan hanya tentang partisipasi politik lima tahunan. Ini tentang hak hidup sehari-hari.
Contoh paling sederhana? Ketika kurikulum sekolah berubah dan adikmu kebingungan belajar. Itu hasil kebijakan. Ketika pelayanan publik di rumah sakit mulai membaik atau malah makin rumit, itu juga buah kebijakan. Dan semua itu bisa kamu awasi — asal tahu caranya.
Literasi Kebijakan: Jalan Menuju Demokrasi Sehat
Kita tidak bisa mengandalkan gelar, jabatan, atau pidato panjang untuk menjamin suatu kebijakan itu adil. Kita butuh kebijakan yang deliberatif, yang melibatkan diskusi dengan publik, bukan hanya keputusan dalam ruang tertutup.
Dan itu hanya bisa terwujud jika kita semua — ya, termasuk kamu — mulai peduli, membaca, bertanya, dan mengkritisi.
Literasi kebijakan publik adalah kekuatan baru generasi kita. Ia membuat kita tidak sekadar jadi korban aturan, tapi pembentuk masa depan.
Karena demokrasi yang sehat tidak hanya ditandai oleh pemilu yang meriah, tapi oleh warga yang melek kebijakan dan tidak mudah dibodohi. Dan itu dimulai dari hal sederhana: memahami bagaimana warteg favoritmu bisa ikut terdampak oleh pasal yang disahkan di Senayan.
Jadi lain kali saat kamu scroll media sosial, coba baca juga draf kebijakan terbaru. Karena bisa jadi, thread viral hari ini adalah peraturan yang akan mengatur hidupmu besok.