Pagi Terlalu Dini, Malam Terlalu Ketat: Mengapa Kebijakan Dedi Mulyadi Memicu Badai Protes?

- Penulis

Minggu, 27 Juli 2025 - 07:27 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

djourno.id—Bayangkan seorang ibu di Bekasi yang harus bangun jam 4 pagi untuk menyiapkan anaknya ke sekolah pukul 06.30, hanya untuk terjebak macet di jalanan kota. Atau seorang sopir bus wisata di Bandung yang kehilangan separuh pendapatannya karena larangan study tour.

Inilah gambaran nyata di Jawa Barat sejak Gubernur Dedi Mulyadi meluncurkan serangkaian kebijakan pendidikan yang kontroversial: jam masuk sekolah dimajukan, study tour dilarang, dan jam malam pelajar diberlakukan.

Meski dimaksudkan untuk disiplin dan perlindungan, kebijakan ini justru memicu gelombang penolakan, bahkan dari pejabat di bawahnya seperti Wali Kota Bandung dan Wali Kota Bekasi.

Apa yang membuat kebijakan Dedi begitu kontroversial? Mengapa pemerintahan daerah di bawahnya menentangnya? Dan bagaimana seharusnya kebijakan publik dirumuskan agar tidak memicu konflik?

 

Kebijakan Kontroversial Dedi: Tiga Poin yang Mengguncang

Sejak dilantik pada Februari 2025, Dedi Mulyadi, mantan Bupati Purwakarta yang dikenal dengan gaya populis, telah mengeluarkan aturan yang mengubah lanskap pendidikan di Jawa Barat. Tiga kebijakan utama menjadi sorotan:

  1. Jam Masuk Sekolah Pukul 06.30 WIB

Melalui Surat Edaran (SE) Nomor 58/PK.03/DISDIK tertanggal 28 Mei 2025, Dedi menetapkan jam masuk sekolah pukul 06.30 untuk semua jenjang, dari PAUD hingga SMA, mulai Juli 2025.

Aturan ini menggantikan hari belajar Sabtu dengan penambahan jam di hari Senin-Jumat, dengan alasan meningkatkan kedisiplinan dan efisiensi waktu. Namun, kebijakan ini memicu keluhan karena dianggap mengabaikan realitas sosial masyarakat, seperti kemacetan dan kesiapan anak belajar di pagi buta.

  1. Larangan Study Tour

SE Nomor 64 Tahun 2024 melarang sekolah mengadakan study tour, dengan dalih meringankan beban finansial orang tua dan mencegah risiko kecelakaan, seperti kasus bus di Ciater. Dedi bahkan mencopot kepala sekolah SMK di Depok yang melanggar aturan ini.

Namun, larangan ini memicu protes keras dari pelaku pariwisata, yang melaporkan penurunan pendapatan hingga 60%, serta dari pemerintah kota seperti Bandung yang melihat nilai edukasi dari study tour.

  1. Jam Malam Pelajar

SE Nomor 51/PA.03/Disdik, diterbitkan 23 Mei 2025, melarang pelajar beraktivitas di luar rumah dari pukul 21.00 hingga 04.00, kecuali dalam kondisi darurat atau dengan pengawasan orang tua.

Tujuannya adalah melindungi pelajar dari tawuran dan perilaku berisiko. Namun, Forum Orang Tua Siswa (Fortusis) Jabar menilai aturan ini membatasi kreativitas anak dan mengabaikan peran keluarga dalam pengasuhan.

 

Mengapa Penolakan Muncul, Bahkan dari Pemerintahan Daerah?

Penolakan terhadap kebijakan Dedi tidak hanya datang dari masyarakat, tetapi juga dari pejabat daerah seperti Wali Kota Bandung Muhammad Farhan dan Wali Kota Bekasi Tri Adhianto. Berikut alasan utama di balik resistensi ini:

  1. Kurangnya Konsultasi dan Kajian Mendalam

Wali Kota Bandung Muhammad Farhan mengizinkan study tour dengan alasan bahwa kegiatan ini merupakan pembelajaran nonformal yang bermanfaat, selama direncanakan dengan matang.

Sikap ini menunjukkan perbedaan visi dengan Dedi, yang dianggap mengeluarkan larangan tanpa konsultasi dengan pemerintah kota. Farhan menyatakan, “Kota ini terbuka, masuk boleh, keluar pun boleh,” menegaskan otonomi Bandung dalam mengatur pendidikan.

Sementara itu, Wali Kota Bekasi Tri Adhianto menolak jam masuk sekolah 06.30 karena memicu kemacetan dan membuat anak-anak tidak siap belajar. Ia menekankan perlunya kesiapan fisik dan mental siswa, yang diabaikan dalam kebijakan Dedi.

  1. Dampak Ekonomi yang Signifikan

Larangan study tour memukul sektor pariwisata, khususnya di Jawa Barat dan Yogyakarta. Solidaritas Pekerja Pariwisata Jawa Barat (P3JB) melaporkan penurunan pendapatan hingga 60%, dari Rp80 juta menjadi Rp30 juta per bulan, menyebabkan beberapa perusahaan merumahkan pekerja.

  1. Ketidaksesuaian dengan Realitas Sosial
Baca Juga:  Meretas Kebijakan Publik: Ulasan Buku Governance in the Digital Age oleh Mark Bovens dan Willem Tromp

Kebijakan jam masuk sekolah dan jam malam pelajar dianggap tidak mempertimbangkan realitas sosial.

Psikolog anak Dr. Fitriani Yustikasari Lubis dari Universitas Padjadjaran menjelaskan bahwa remaja memiliki pola tidur unik akibat perubahan hormon, sehingga bangun terlalu pagi dapat mengganggu fokus belajar.

Forum Orang Tua Siswa Jabar juga memprotes jam malam, menyebutnya membatasi kreativitas anak yang sering mendapat inspirasi dari diskusi malam hari. Ketua Fortusis Dwi Subianto menegaskan bahwa pemerintah seharusnya menyediakan sarana olahraga dan budaya sebelum membatasi aktivitas pelajar.

  1. Pendekatan Top-Down yang Memancing Konflik

Kebijakan Dedi dianggap bersifat top-down, tanpa melibatkan stakeholder seperti pemerintah daerah, orang tua, atau pelaku usaha.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai kebijakan ini lebih bertujuan mendulang popularitas daripada menyelesaikan masalah secara holistik.

Ketidaklibatan ini memicu resistensi dari bupati dan wali kota, yang memiliki kewenangan atas sekolah dasar dan menengah, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

 

Perspektif Ilmu Kebijakan Publik: Apa yang Salah?

Dari lensa ilmu kebijakan publik, kebijakan Dedi gagal memenuhi beberapa prinsip dasar pembuatan kebijakan yang efektif:

  1. Ketiadaan Analisis Berbasis Bukti

Menurut model analisis kebijakan publik oleh William Dunn, kebijakan harus didasarkan pada data dan kajian mendalam untuk memetakan masalah, dampak, dan solusi.

Namun, kebijakan Dedi, seperti jam masuk sekolah dan larangan study tour, kurang didukung riset. Misalnya, tidak ada bukti bahwa jam masuk 06.30 meningkatkan prestasi siswa, sementara penelitian global menunjukkan jam masuk sekolah yang ideal adalah pukul 07.30-08.30 untuk mendukung kesehatan dan konsentrasi remaja.

Tanpa kajian, kebijakan ini terkesan reaktif dan berorientasi pada citra, bukan solusi.

  1. Minimnya Partisipasi Publik

Teori kebijakan publik menekankan pentingnya partisipasi stakeholder untuk memastikan legitimasi dan penerimaan kebijakan.

Pendekatan Dedi yang top-down, tanpa konsultasi dengan pemerintah daerah di bawahnya, orang tua, atau pelaku usaha, melanggar prinsip ini.

John Bryson, dalam model Strategic Planning for Public and Nonprofit Organizations, menegaskan bahwa keterlibatan stakeholder meningkatkan akseptabilitas kebijakan.

Penolakan dari Wali Kota Bandung dan Bekasi menunjukkan kurangnya koordinasi antar-level pemerintahan, yang seharusnya diatur melalui Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda).

  1. Dampak Tidak Terantisipasi

Model evaluasi kebijakan oleh Thomas Dye menyoroti perlunya mengantisipasi dampak sekunder. Larangan study tour, misalnya, tidak mempertimbangkan efek domino pada sektor pariwisata dan UMKM, yang menyumbang 4,1% PDB Jawa Barat pada 2024 (data BPS).

Kebijakan jam malam juga tidak mempertimbangkan kebutuhan anak untuk bersosialisasi atau beraktivitas kreatif, yang dapat meningkatkan risiko stres atau alienasi sosial, sebagaimana diingatkan oleh psikolog anak.

 

Kebijakan Publik yang Inklusif adalah Kunci

Kebijakan Dedi Mulyadi, meski bertujuan mulia—meningkatkan disiplin dan melindungi masyarakat—gagal meraih dukungan karena kurangnya kajian, partisipasi stakeholder, dan antisipasi dampak sekunder.

Penolakan dari pemerintah daerah di bawahnya seperti Bandung dan Bekasi mencerminkan ketegangan antara otonomi daerah dan kebijakan provinsi, yang diperparah oleh pendekatan top-down.

Dari perspektif ilmu kebijakan publik, keberhasilan sebuah kebijakan bergantung pada data, keterlibatan publik, dan komunikasi yang efektif.

Dengan melibatkan stakeholder, menggunakan kajian berbasis bukti, dan menawarkan solusi alternatif, Dedi dapat mengubah gelombang penolakan menjadi dukungan untuk masa depan pendidikan Jawa Barat yang lebih baik.

Akankah Dedi mendengar suara rakyat, atau tetap bergeming di tengah badai protes?

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Follow WhatsApp Channel djourno.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Dari Pendidikan hingga Pangan: Langkah ‘Aisyiyah Jakarta Barat Semai Keluarga Tangguh
Polemik Kebijakan Rombel 50 Siswa: Dikritik Atalia, Dedi Mulyadi Sindir Ridwan Kamil
Mengapa Kepala Daerah Jawa Barat Ramai-ramai Tolak Kebijakan Dedi Mulyadi?
Kebijakan Sekolah Swasta Gratis Jakarta: Pemerataan atau Sekadar Pencitraan?
Ketika Istri Ridwan Kamil Kritik Kebijakan Dedi Mulyadi
Hadapi Gelombang Kemiskinan Baru, Bagaimana Formula Kebijakan Jakarta?
Kebijakan Berbasis Desa: Lampung Wujudkan Penurunan Kemiskinan
Bus Biru, Harapan Baru: Kebijakan Pramono Anung dan Revolusi Transportasi Jakarta

Berita Terkait

Senin, 4 Agustus 2025 - 18:38 WIB

Dari Pendidikan hingga Pangan: Langkah ‘Aisyiyah Jakarta Barat Semai Keluarga Tangguh

Senin, 4 Agustus 2025 - 16:13 WIB

Polemik Kebijakan Rombel 50 Siswa: Dikritik Atalia, Dedi Mulyadi Sindir Ridwan Kamil

Minggu, 3 Agustus 2025 - 14:54 WIB

Mengapa Kepala Daerah Jawa Barat Ramai-ramai Tolak Kebijakan Dedi Mulyadi?

Sabtu, 2 Agustus 2025 - 09:52 WIB

Kebijakan Sekolah Swasta Gratis Jakarta: Pemerataan atau Sekadar Pencitraan?

Jumat, 1 Agustus 2025 - 15:54 WIB

Ketika Istri Ridwan Kamil Kritik Kebijakan Dedi Mulyadi

Berita Terbaru