Korupsi di Balik Izin: Drama Tumpang Tindih Kebijakan Pertambangan

- Penulis

Jumat, 25 Juli 2025 - 11:38 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Djourno.id – Di ruang rapat Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, pada Kamis, 24 Juli 2025, suasana tegang namun penuh harap menyelimuti pertemuan lintas kementerian. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Setyo Budiyanto, dengan nada tegas memaparkan hasil kajian yang telah digali sejak 2009: sektor pertambangan Indonesia masih terbelit masalah kronis, dengan perizinan sebagai biang keladi utama. “Tentu banyak hal yang sudah dikaji, di antaranya masalah perizinan, kemudian pengelolaan, seperti informasi dan basis data,” ujar Setyo, suaranya bergema di ruangan.

Kajian KPK ini bukan sekadar laporan biasa. Ia adalah cermin dari kekacauan birokrasi yang telah berlangsung selama lebih dari satu dekade. Tumpang tindih kebijakan, penambangan ilegal, hingga ketidaksinkronan antara pemerintah pusat dan daerah menjadi sorotan tajam. Mengapa masalah ini terus berulang? Apa yang membuat benang kusut ini tak kunjung terurai? Dan, yang lebih penting, bagaimana cara menyelesaikannya agar sektor pertambangan—yang menyumbang 10,1% PDB nasional pada 2023—bisa berjalan bersih dan efisien?

 

 Akar Masalah: Ketidaksinkronan yang Berulang

Sektor pertambangan Indonesia, dengan kekayaan nikel, tembaga, dan batubara yang melimpah, seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi. Namun, di balik potensi itu, KPK mengungkap realitas pahit: tumpang tindih perizinan telah menjadi pintu masuk korupsi dan inefisiensi. Sejak 2009, KPK mencatat adanya izin usaha pertambangan (IUP) yang diterbitkan tanpa Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH), khususnya di kawasan hutan. Hal ini memungkinkan perusahaan beroperasi di lahan terlarang, merusak lingkungan, dan menghilangkan potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Ketidaksinkronan antara pemerintah pusat dan daerah memperparah situasi. Pemerintah daerah sering kali menerbitkan izin tanpa koordinasi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) atau Kementerian Kehutanan, menciptakan konflik hukum yang membingungkan pelaku usaha. “Kemudian juga masalah ketidaksinkronan dan disparitas antara pemerintah pusat dan daerah,” kata Setyo, menegaskan bahwa masalah ini bukan sekadar soal teknis, tetapi juga politik dan birokrasi.

Penambangan ilegal tanpa IUP juga menjadi momok. KPK mencatat banyak perusahaan yang beroperasi tanpa izin resmi, menyebabkan kerugian negara hingga triliunan rupiah. Pada 2013, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan 26 perusahaan pertambangan yang memanfaatkan hutan secara ilegal, merugikan negara Rp90,6 miliar. Praktik ini sering kali dilindungi oleh oknum pejabat, menciptakan pola “state capture” di mana kepentingan pribadi menguasai kebijakan publik.

Rendahnya pemenuhan kewajiban pelaku usaha, baik dalam hal pembayaran royalti maupun pelaporan administrasi, semakin memperburuk situasi. KPK mencatat bahwa banyak perusahaan yang lalai melaporkan hasil produksi atau melakukan reklamasi pasca-tambang, meninggalkan kerusakan lingkungan yang masif.

 

Mengapa Masalah Ini Berlarut?

Tumpang tindih kebijakan di sektor pertambangan bukanlah fenomena baru. Sejak era otonomi daerah diberlakukan melalui UU No. 22/1999, pemerintah daerah memiliki wewenang besar dalam pengelolaan sumber daya alam. Namun, tanpa koordinasi yang memadai, wewenang ini sering disalahgunakan. Kajian KPK pada 2014 memetakan 10 masalah utama di sektor pertambangan, termasuk tumpang tindih perizinan dan lemahnya pengawasan. Namun, hingga 2025, banyak dari masalah ini masih belum terselesaikan.

Korupsi menjadi salah satu penyebab utama. Pemberian izin sering kali disertai suap atau gratifikasi. Kasus Nur Alam, Gubernur Sulawesi Tenggara, yang menerima suap Rp60 miliar terkait izin tambang pada 2009-2014, adalah contoh nyata. Begitu pula dengan Bupati Tanah Bumbu, MM, yang ditetapkan sebagai tersangka KPK pada 2022 karena menerima suap terkait IUP. Praktik ini kerap meningkat menjelang pilkada, ketika kepala daerah membutuhkan dana politik.

Selain korupsi, lemahnya sistem data dan informasi juga menjadi hambatan. KPK mencatat bahwa basis data perizinan sering kali tidak terintegrasi antar-kementerian. Misalnya, Kementerian ESDM mungkin memiliki data IUP, tetapi tidak mengetahui status PPKH dari Kementerian Kehutanan. Akibatnya, izin yang diterbitkan sering kali bertentangan dengan regulasi lain.

Baca Juga:  Energi Terbarukan: Ketika Angin dan Matahari Jadi Aset Masa Depan Indonesia

Faktor lain adalah kompleksitas regulasi. UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara belum didukung aturan pelaksana yang jelas, menyebabkan interpretasi yang berbeda-beda.⁋ Hal ini diperparah oleh sikap sektoral kementerian, di mana setiap instansi cenderung bekerja sendiri tanpa sinergi.

 

 Dampak: Kerugian Negara dan Krisis Lingkungan

Dampak tumpang tindih kebijakan ini sangatlah besar. Secara ekonomi, negara kehilangan potensi pendapatan dari PNBP dan royalti. Secara ekologis, penambangan ilegal dan lemahnya reklamasi telah menghancurkan hutan dan sungai, seperti yang terjadi di Raja Ampat, Papua, di mana KPK menemukan potensi korupsi di sektor perizinan pada 2023. Secara sosial, konflik antara perusahaan tambang dan masyarakat lokal sering kali muncul akibat ketidakjelasan status lahan.

Ketidakpastian hukum juga menghambat investasi. Investor asing kerap mengeluhkan birokrasi yang rumit dan risiko korupsi, membuat Indonesia kurang kompetitif dibandingkan negara seperti Australia atau Chili. Pada 2024, Fraser Institute menempatkan Indonesia di peringkat 57 dari 84 jurisdiksi pertambangan global karena masalah tata kelola.

 

 Jalan Keluar: Reformasi Sistemik dan Sinergi Lintas Sektor

Mengurai benang kusut tumpang tindih kebijakan membutuhkan langkah besar dan terkoordinasi. KPK, dalam pertemuan 24 Juli 2025, menekankan pentingnya sinergi lintas kementerian. “Tidak ada lagi yang bersifat sektoral, semuanya harus dilakukan secara sinergi,” ujar Setyo. Berikut beberapa langkah yang dapat diambil:

  1. Integrasi Data dan Digitalisasi Perizinan: Pemerintah perlu membangun sistem basis data terpusat yang mengintegrasikan informasi IUP, PPKH, dan izin lingkungan. KPK telah mencatat kemajuan dalam integrasi data pada 2025, tetapi implementasinya harus dipercepat. Sistem seperti Online Single Submission (OSS) dapat diperkuat untuk meminimalkan celah korupsi.
  1. Harmonisasi Regulasi: Revisi UU No. 4/2009 dan penerbitan aturan pelaksana yang jelas harus segera dilakukan. Pemerintah juga perlu menyelaraskan kewenangan pusat dan daerah untuk menghindari disparitas kebijakan. Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) 2025-2026, yang diluncurkan pada Februari 2025, menekankan perbaikan sistem perizinan sebagai prioritas.
  1. Penguatan Pengawasan: KPK, bersama Kemendagri, Kejagung, dan Polri, telah menandatangani MoU pada Februari 2025 untuk memperkuat pengawasan perizinan daerah. Pengawasan ini harus diperluas ke sektor pertambangan, dengan melibatkan masyarakat sipil dan teknologi seperti satelit untuk mendeteksi penambangan ilegal.
  1. Penegakan Hukum Tegas: KPK harus terus menindak pelaku korupsi di sektor pertambangan, baik individu maupun korporasi. Hukuman yang berat akan memberikan efek jera. Selain itu, pemerintah perlu mendorong transparansi dalam proses perizinan untuk mengurangi praktik suap.
  1. Edukasi dan Kampanye Antikorupsi: KPK, melalui program seperti Anti-Corruption Film Festival (ACFFest) 2025, dapat memperluas kampanye antikorupsi ke daerah-daerah kaya sumber daya alam. Edukasi ini penting untuk membangun kesadaran masyarakat dan pelaku usaha.

 

 Harapan di Tengah Tantangan

Di penghujung konferensi pers, Setyo Budiyanto menutup dengan nada optimistis. “Dari kajian yang panjang, ini menjadi temuan, kemudian ditindaklanjuti, dan nantinya akan ada rencana aksi,” katanya. Rencana aksi ini, yang melibatkan tujuh kementerian, diharapkan menjadi titik balik bagi tata kelola pertambangan Indonesia.

Namun, tantangan tetap besar. Tanpa komitmen politik yang kuat, sinergi lintas sektor, dan partisipasi masyarakat, tumpang tindih kebijakan akan terus menghantui. Sektor pertambangan, yang seharusnya menjadi berkah bagi rakyat, bisa berubah menjadi kutukan jika dibiarkan terjerat birokrasi dan korupsi. Seperti kata Emerson Yuntho dari Indonesia Corruption Watch, kekayaan alam Indonesia harus digunakan untuk “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” bukan kemakmuran koruptor.

Langkah pertama telah diambil. Kini, saatnya pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan membuktikan bahwa Indonesia mampu mengurai benang kusut ini, demi masa depan yang lebih bersih dan adil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Follow WhatsApp Channel djourno.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Antara Infrastruktur dan Kesejahteraan: Strategi Kebijakan AHY Wujudkan Asta Cita
Hapus Tantiem: Langkah Berani Rosan Roeslani Perbaiki Tata Kelola BUMN  
Megawati: PDIP Dukung Kebijakan Prabowo yang Pro Rakyat, Kritisi Penyimpangan
God Works in Mysterious Ways: Debat Pakar atas Kebijakan Abolisi dan Amnesti Prabowo
Di Balik Kebijakan Prabowo Berikan Abolisi dan Amnesti untuk Tom Lembong dan Hasto
Di Balik Kebijakan PPATK Blokir Rekening Nganggur: Perlindungan atau Penyiksaan Rakyat?
Mengapa Hilirisasi Nikel Tidak Akan Berhasil Tanpa Sinkronisasi Kebijakan?
Kebijakan AI Nasional: Peta Strategis Indonesia Menuju Masa Depan Digital

Berita Terkait

Senin, 4 Agustus 2025 - 15:15 WIB

Antara Infrastruktur dan Kesejahteraan: Strategi Kebijakan AHY Wujudkan Asta Cita

Senin, 4 Agustus 2025 - 10:59 WIB

Hapus Tantiem: Langkah Berani Rosan Roeslani Perbaiki Tata Kelola BUMN  

Jumat, 1 Agustus 2025 - 14:25 WIB

God Works in Mysterious Ways: Debat Pakar atas Kebijakan Abolisi dan Amnesti Prabowo

Jumat, 1 Agustus 2025 - 08:37 WIB

Di Balik Kebijakan Prabowo Berikan Abolisi dan Amnesti untuk Tom Lembong dan Hasto

Kamis, 31 Juli 2025 - 09:06 WIB

Di Balik Kebijakan PPATK Blokir Rekening Nganggur: Perlindungan atau Penyiksaan Rakyat?

Berita Terbaru