Puan Maharani: Kebijakanan Hari Ini Jangan Korbankan Masa Depan

- Penulis

Jumat, 25 Juli 2025 - 06:28 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Djourno.id–Di tengah gemuruh tepuk tangan yang menggema di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, pada Kamis sore, 24 Juli 2025, Puan Maharani berdiri tegak di podium Rapat Paripurna DPR RI. Dalam pidato penutupan masa persidangan IV tahun sidang 2024–2025, Ketua DPR RI itu bukan hanya menutup agenda parlemen, tetapi juga melemparkan sebuah peringatan yang menggema: kebijakan negara harus berpijak pada kepentingan rakyat, tanpa mengorbankan masa depan. “Jangan sampai pembangunan hari ini menjadi beban bagi anak cucu kita,” tegasnya, dengan nada yang penuh bobot namun tetap lembut, khas seorang politisi yang tahu bagaimana menjaga keseimbangan antara wibawa dan empati.

 

Pernyataan Puan ini bukan sekadar retorika penutup sidang. Ia mencerminkan kekhawatiran mendalam akan arah pembangunan Indonesia di tengah tantangan global dan domestik yang kian kompleks. Dari krisis iklim hingga disrupsi teknologi, dari ketimpangan ekonomi hingga ancaman keamanan data, Indonesia berada di persimpangan. Puan, yang dikenal sebagai figur sentral PDI Perjuangan, tampaknya ingin menegaskan bahwa kebijakan yang dibuat hari ini harus memiliki visi jangka panjang—tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan sesaat, tetapi juga untuk menjamin kesejahteraan generasi mendatang.

 

Kebijakan Berorientasi Rakyat: Lebih dari Sekadar Slogan

Dalam pidatonya, Puan menekankan bahwa setiap kebijakan—baik di bidang hukum, pertahanan, pembangunan, maupun anggaran—harus berorientasi pada kepentingan rakyat. “Kepentingan rakyat untuk mendapatkan perlindungan, kesejahteraan, kecerdasan, dan hak-hak lainnya demi Indonesia yang lebih baik,” ujarnya. Kalimat ini terdengar sederhana, namun di baliknya tersimpan tantangan besar: bagaimana memastikan kebijakan negara benar-benar mencerminkan aspirasi 270 juta jiwa di tengah tekanan politik dan ekonomi?

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada 2024, tingkat kemiskinan di Indonesia masih berkisar di angka 9,36%, atau sekitar 25,2 juta orang. Angka ini, meski menurun dari dekade sebelumnya, menunjukkan bahwa kesejahteraan masih menjadi isu krusial. Di sisi lain, laporan Bank Dunia (2025) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya akan mencapai 5,1% pada 2026, terhambat oleh ketidakpastian global dan tantangan domestik seperti rendahnya produktivitas sektor pertanian dan ketergantungan pada ekspor komoditas. Dalam konteks ini, seruan Puan untuk kebijakan yang “adaptif dan antisipatif” bukan sekadar idealisme, melainkan kebutuhan mendesak.

Namun, apa artinya kebijakan yang berorientasi pada rakyat di tengah realitas politik yang kerap dipenuhi kompromi? Seorang pengamat politik dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengamini bahwa pernyataan Puan mencerminkan kesadaran akan pentingnya legitimasi publik. “Puan menekankan partisipasi masyarakat dalam legislasi. Ini sinyal bahwa DPR ingin produk hukumnya tidak hanya sah secara formal, tetapi juga diterima secara sosial,” ujarnya dalam wawancara dengan Tempo. Namun, Titi juga menyoroti tantangan nyata: partisipasi publik sering kali hanya formalitas, terutama ketika kepentingan elit politik mendominasi.

 

Masa Depan yang Terancam: Beban Pembangunan dan Data Pribadi

Puan tidak hanya berbicara soal kebijakan anggaran atau pembangunan fisik. Di hari yang sama, ia juga menyuarakan kekhawatiran soal kebijakan transfer data pribadi warga negara Indonesia (WNI) ke Amerika Serikat, sebuah isu yang mencuat di tengah implementasi Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). “Pemerintah tidak boleh main-main dengan data pribadi rakyat,” tegasnya, meminta penjelasan resmi dari pemerintah. Isu ini menjadi sorotan karena data pribadi, dalam era digital, bukan sekadar angka atau informasi—ia adalah aset strategis yang dapat menentukan kedaulatan sebuah bangsa.

Menurut laporan Cybersecurity Indonesia (2024), kebocoran data pribadi di Indonesia telah mencapai lebih dari 1,2 miliar catatan sejak 2020, menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara paling rentan di Asia Tenggara. Kesepakatan transfer data ke AS, yang diduga terkait dengan kerja sama teknologi dan keamanan, memicu kecemasan bahwa informasi sensitif warga Indonesia bisa disalahgunakan. Puan, dengan pengalamannya sebagai mantan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, tampaknya memahami bahwa kebocoran data bukan hanya soal privasi, tetapi juga soal kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Baca Juga:  Mampukah Indonesia Menang di Agenda Pembangunan Berkelanjutan?

 

Adaptif dan Antisipatif: Sebuah Panggilan di Tengah Badai

Puan juga menyinggung tantangan global yang mengintai pembangunan Indonesia, dari ketegangan geopolitik hingga perubahan iklim. Laporan IPCC (2025) menyebutkan bahwa Indonesia, sebagai negara kepulauan, menghadapi risiko kenaikan permukaan laut yang dapat menenggelamkan 2.000 pulau kecil pada 2050 jika emisi karbon tidak dikendalikan. Di sisi domestik, ketimpangan antarwilayah masih menjadi pekerjaan rumah. Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa pada 2024, alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) untuk daerah tertinggal masih belum mampu menutup kesenjangan infrastruktur dan pelayanan publik.

Di tengah tantangan ini, seruan Puan untuk kebijakan yang “adaptif dan antisipatif” terasa seperti panggilan untuk merangkul inovasi tanpa melupakan akar. Misalnya, dalam konteks RAPBN 2026 yang dibahas dalam rapat paripurna, fokus pada kedaulatan pangan dan energi menjadi sorotan. Indonesia masih mengimpor 2,5 juta ton beras per tahun (data Kementerian Pertanian, 2024), meskipun memiliki lahan pertanian yang luas. Di sektor energi, transisi menuju energi terbarukan baru mencapai 13% dari total kebutuhan nasional, jauh tertinggal dari target 23% pada 2025. Puan tampaknya ingin mengingatkan bahwa kebijakan jangka pendek, seperti subsidi bahan bakar atau impor pangan, tidak boleh mengorbankan sustainability jangka panjang.

 

Puan di Persimpangan: Antara Idealisme dan Realitas Politik

Sebagai politisi senior PDI Perjuangan, Puan Maharani bukanlah figur baru di panggung politik Indonesia. Namun, pidatonya kali ini menunjukkan upaya untuk memposisikan dirinya sebagai pemimpin yang tidak hanya berpikir tentang kemenangan elektoral, tetapi juga warisan jangka panjang. “Puan sedang bermain di dua level: menjaga basis konstituennya sambil membangun narasi sebagai negarawan,” kata Aditya Perdana, pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada.

Namun, tantangan bagi Puan tidak kecil. Sebagai Ketua DPR, ia harus menavigasi kepentingan berbagai fraksi yang sering kali bertolak belakang. Misalnya, dalam pembahasan RAPBN 2026, fraksi-fraksi di DPR memiliki prioritas yang berbeda: ada yang mendorong anggaran infrastruktur besar-besaran, sementara yang lain menekankan perlindungan sosial. Di luar parlemen, tekanan dari publik juga kian kuat, terutama dari generasi muda yang kini lebih vokal melalui media sosial. Unggahan di platform X menunjukkan bahwa netizen sering kali skeptis terhadap janji-janji politisi, termasuk soal “kebijakan berorientasi rakyat.” Salah satu pengguna X menulis, “Bicara soal masa depan itu gampang, tapi lihat anggaran bansos yang masih dipolitisasi—mana orientasi rakyatnya?”

 

Menatap Masa Depan dengan Hati-hati

Di akhir pidatonya, Puan menegaskan bahwa pembangunan nasional harus memiliki arah yang jelas, namun tetap fleksibel menghadapi dinamika global. “Kita tidak boleh hanya berpikir untuk hari ini, tetapi juga untuk anak cucu kita,” katanya, seolah mengingatkan bahwa setiap kebijakan adalah warisan. Dalam konteks ini, visi Puan tampaknya ingin menjembatani masa kini dan masa depan, antara kebutuhan mendesak dan keberlanjutan.

Namun, visi ini tidak akan mudah terwujud tanpa langkah konkret. DPR di bawah Puan perlu membuktikan bahwa “ruang partisipasi publik” bukan sekadar jargon. Misalnya, dengan memperkuat mekanisme konsultasi publik dalam pembentukan undang-undang atau memastikan transparansi dalam alokasi anggaran. Di sisi lain, pemerintah juga harus menjawab kekhawatiran Puan soal data pribadi dengan langkah nyata, seperti mempercepat implementasi UU PDP dan membangun infrastruktur keamanan siber yang lebih tangguh.

Di tengah senja yang merona di langit Jakarta, pidato Puan Maharani sore itu mungkin akan dikenang sebagai salah satu momen di mana seorang pemimpin parlemen mencoba mengingatkan bangsanya: pembangunan bukan sekadar soal megahnya gedung atau besarnya anggaran, tetapi tentang bagaimana kita memastikan masa depan tetap menjadi milik rakyat, bukan beban yang mereka pikul. Di persimpangan ini, Puan seolah berkata: kita punya pilihan—membangun dengan bijak, atau mewariskan utang sejarah.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Follow WhatsApp Channel djourno.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Antara Infrastruktur dan Kesejahteraan: Strategi Kebijakan AHY Wujudkan Asta Cita
Hapus Tantiem: Langkah Berani Rosan Roeslani Perbaiki Tata Kelola BUMN  
Megawati: PDIP Dukung Kebijakan Prabowo yang Pro Rakyat, Kritisi Penyimpangan
God Works in Mysterious Ways: Debat Pakar atas Kebijakan Abolisi dan Amnesti Prabowo
Di Balik Kebijakan Prabowo Berikan Abolisi dan Amnesti untuk Tom Lembong dan Hasto
Di Balik Kebijakan PPATK Blokir Rekening Nganggur: Perlindungan atau Penyiksaan Rakyat?
Mengapa Hilirisasi Nikel Tidak Akan Berhasil Tanpa Sinkronisasi Kebijakan?
Kebijakan AI Nasional: Peta Strategis Indonesia Menuju Masa Depan Digital

Berita Terkait

Senin, 4 Agustus 2025 - 15:15 WIB

Antara Infrastruktur dan Kesejahteraan: Strategi Kebijakan AHY Wujudkan Asta Cita

Senin, 4 Agustus 2025 - 10:59 WIB

Hapus Tantiem: Langkah Berani Rosan Roeslani Perbaiki Tata Kelola BUMN  

Jumat, 1 Agustus 2025 - 14:25 WIB

God Works in Mysterious Ways: Debat Pakar atas Kebijakan Abolisi dan Amnesti Prabowo

Jumat, 1 Agustus 2025 - 08:37 WIB

Di Balik Kebijakan Prabowo Berikan Abolisi dan Amnesti untuk Tom Lembong dan Hasto

Kamis, 31 Juli 2025 - 09:06 WIB

Di Balik Kebijakan PPATK Blokir Rekening Nganggur: Perlindungan atau Penyiksaan Rakyat?

Berita Terbaru