Kebijakan Kontroversial Dedi Mulyadi: Ketika Konten Mengalahkan Kajian

- Penulis

Kamis, 24 Juli 2025 - 14:41 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Djourno.id – Pada Februari 2025, Dedi Mulyadi, yang akrab disapa Kang Dedi, resmi dilantik sebagai Gubernur Jawa Barat. Dalam waktu singkat, ia mencuri perhatian publik dengan sederet kebijakan yang dianggap berani, namun juga memicu gelombang protes.

Dari larangan study tour, pengiriman siswa bermasalah ke barak militer, hingga wacana vasektomi sebagai syarat penerima bantuan sosial, kebijakan-kebijakan Dedi kerap menjadi sorotan. Di balik popularitasnya sebagai “Gubernur Konten,” muncul pertanyaan mendasar: apakah kebijakan-kebijakan ini lahir dari visi yang terukur atau sekadar strategi untuk mendulang perhatian publik? Artikel ini mengupas kontroversi kebijakan Dedi Mulyadi dan pentingnya merumuskan kebijakan dengan tujuan serta parameter yang jelas.

 

 Deretan Kebijakan Kontroversial

  1. Larangan Study Tour dan Penghapusan Wisuda

Salah satu kebijakan awal Dedi adalah larangan study tour bagi pelajar SMA/SMK, yang tertuang dalam Surat Edaran Penjabat Gubernur Jabar Nomor 64 Tahun 2024. Alasannya, untuk menghindari kecelakaan dan mengurangi beban biaya orang tua. Namun, kebijakan ini memicu protes dari pelaku industri pariwisata, seperti yang tergabung dalam Solidaritas Pekerja Pariwisata Jawa Barat. Mereka menggelar aksi di depan Gedung Sate, Bandung, pada Juli 2025, karena pendapatan sektor wisata edukasi anjlok hingga 60 persen.

Selain itu, Dedi juga menghapus acara wisuda untuk TK hingga SMA, dengan alasan biaya yang memberatkan keluarga miskin. Meski sebagian orang tua mendukung, kebijakan ini dinilai mengabaikan nilai simbolis kelulusan bagi siswa dan keluarga. Cusdiawan, Direktur Eksekutif Center for Indonesian Governance and Development Policy (CIGDEP), menilai kebijakan ini kurang didasari kajian mendalam, sehingga solusinya terkesan reaktif.

 

  1. Pengiriman Siswa Bermasalah ke Barak Militer

Program pengiriman siswa “nakal” ke barak militer untuk pembinaan disiplin menjadi salah satu kebijakan paling kontroversial. Dedi menargetkan pelajar yang terlibat tawuran, kecanduan game, atau balap liar untuk menjalani pelatihan militer selama enam bulan. Ia beralasan, banyak orang tua dan guru kewalahan menangani anak-anak bermasalah. Namun, kebijakan ini menuai kritik keras dari berbagai pihak, termasuk Komnas HAM dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Adhel Setiawan, seorang wali murid dari Bekasi, bahkan melaporkan Dedi ke Komnas HAM pada Mei 2025, menyebut kebijakan ini melanggar hak anak dan bertentangan dengan falsafah pendidikan yang memanusiakan manusia. “Anak-anak bukan tanah liat yang bisa dibentuk sesuka hati. Mereka butuh didengar, bukan didisiplinkan ala militer,” ujar Adhel. Prof. Bagong Suyanto dari Universitas Airlangga juga menegaskan bahwa pendekatan militeristik tidak sesuai untuk resosialisasi anak, yang seharusnya dilakukan secara humanis.

  1. Wacana Vasektomi sebagai Syarat Bansos

Pada April 2025, Dedi mengusulkan agar pria penerima bantuan sosial (bansos) wajib mengikuti program Keluarga Berencana (KB), termasuk vasektomi, untuk mengendalikan angka kelahiran dan kemiskinan. Wacana ini langsung memicu polemik. Lembaga Kesehatan Majelis Ulama Indonesia (LK-MUI) menolak keras, menyebutnya bertentangan dengan nilai agama dan HAM. Menteri Sosial Saifullah Yusuf juga meminta kajian lebih dalam, menegaskan bahwa bansos adalah jaminan sosial, bukan alat pemaksaan kebijakan kependudukan.

Kritik lain muncul dari kekhawatiran akan diskriminasi terhadap warga miskin dan potensi ketidakseimbangan demografi. Meski Dedi mengklarifikasi bahwa vasektomi bukanlah syarat mutlak, wacana ini tetap dianggap gegabah dan kurang sensitif terhadap nilai budaya masyarakat.

  1. Pembongkaran Hibisc Fantasy dan Satgas Anti-Premanisme

Dedi juga menginstruksikan pembongkaran Hibisc Fantasy, sebuah tempat wisata di Puncak, Bogor, yang dikelola BUMD Jawa Barat. Ia menilai proyek ini menyalahi izin penggunaan lahan dan menjadi penyebab banjir bandang di wilayah Bodebek. Keputusan ini menuai pro dan kontra: sebagian memuji langkah tegas Dedi untuk menjaga lingkungan, tetapi pihak lain mempertanyakan proses yuridisnya.

Pembentukan Satgas Anti-Premanisme juga memicu reaksi. Ormas Grib Jaya, yang diketuai Hercules Rosario de Marshall, mengultimatum Dedi agar tidak menyudutkan organisasi masyarakat, menilai satgas ini berpotensi memicu konflik.

 

Spontanitas vs. Kajian Matang

 

Dedi Mulyadi dikenal dengan gaya kepemimpinan yang spontan. Dalam rapat bersama bupati dan wali kota di Purwakarta pada Maret 2025, ia mengaku bahwa banyak kebijakannya lahir dari ide spontan yang langsung dieksekusi. “Ide yang muncul secara spontan jangan ditunda agar hambatan tidak semakin banyak,” katanya. Ia bahkan membandingkan pendekatan ini dengan pola pikir negara maju.

Baca Juga:  Ketika Istri Ridwan Kamil Kritik Kebijakan Dedi Mulyadi

Namun, spontanitas ini menjadi pedang bermata dua. Cusdiawan dari CIGDEP menilai bahwa kebijakan Dedi sering kali tidak didasarkan pada pendekatan berbasis sains (science-based policy). “Masalahnya dilihat kurang proporsional, sehingga wajar jika menuai kontroversi,” ujarnya. Ubaid Matraji dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) bahkan menyebut kebijakan Dedi, khususnya di sektor pendidikan, sebagai upaya mencari sensasi dan popularitas. “Ini hanya untuk konten viral,” katanya.

Pakar komunikasi politik dari Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, menyebut gaya Dedi sebagai “investasi politik” untuk membangun citra di media sosial. Dengan julukan “Gubernur Konten,” Dedi memanfaatkan platform seperti YouTube dan Instagram untuk menyebarkan kebijakannya, sering kali dengan narasi emosional yang menarik perhatian. Namun, pengamat kebijakan publik Diding Bajuri memperingatkan bahwa pendekatan ini menciptakan kesan “one-man show,” yang berisiko mengabaikan substansi kebijakan jangka panjang.

 

 Pentingnya Tujuan dan Parameter yang Jelas

Kontroversi kebijakan Dedi Mulyadi menggarisbawahi pentingnya merumuskan kebijakan dengan tujuan yang jelas dan parameter yang terukur. Kebijakan publik yang baik harus didasarkan pada kajian mendalam, melibatkan partisipasi pemangku kepentingan, dan mempertimbangkan dampak jangka panjang. Berikut beberapa alasan mengapa hal ini krusial:

  1. Meminimalisir Konflik Sosial

Kebijakan seperti larangan study tour atau pengiriman siswa ke barak militer memicu protes karena tidak melibatkan konsultasi publik yang memadai. Partisipasi masyarakat, seperti orang tua, pelaku usaha, atau organisasi pendidikan, dapat membantu mengidentifikasi potensi dampak negatif sebelum kebijakan diterapkan.

  1. Menjamin Keberlanjutan

Kebijakan spontan sering kali berfokus pada dampak jangka pendek, seperti popularitas di media sosial. Tanpa parameter yang jelas, seperti indikator keberhasilan atau evaluasi dampak, kebijakan berisiko gagal mencapai tujuan. Misalnya, wacana vasektomi untuk bansos tidak diiringi kajian demografis atau sosiologis yang memadai, sehingga memicu penolakan.

  1. Menjaga Kepercayaan Publik

Kebijakan yang tampak sensasional, seperti pembongkaran Hibisc Fantasy atau satgas anti-premanisme, mungkin menarik perhatian, tetapi tanpa landasan hukum yang kuat, dapat merusak kepercayaan publik. Transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengambilan kebijakan sangat penting untuk menjaga legitimasi pemimpin.

  1. Menghindari Pelanggaran HAM dan Nilai Budaya

Program barak militer dan wacana vasektomi dikritik karena berpotensi melanggar HAM dan bertentangan dengan nilai budaya masyarakat. Kebijakan yang tidak mempertimbangkan aspek kemanusiaan atau sensitivitas budaya berisiko memicu resistensi, seperti yang diungkapkan oleh Komnas HAM dan LK-MUI.

 

 Refleksi: Antara Popularitas dan Substansi

Dedi Mulyadi telah membuktikan dirinya sebagai pemimpin yang mampu mencuri perhatian. Melalui media sosial, ia membangun citra sebagai gubernur yang dekat dengan rakyat, berani, dan responsif. Namun, seperti yang diungkapkan dalam analisis Kompas, “kontroversi yang diciptakan Dedi bukanlah ketidaktahuan, melainkan strategi sengaja untuk menjaga brand awareness.” Pendekatan ini, yang disebut sebagai shock advertising, memang efektif untuk menarik perhatian, tetapi berisiko mengorbankan substansi kebijakan.

Politik berbasis konten, sebagaimana dijalankan Dedi, mencerminkan tren baru dalam komunikasi politik di era digital. Namun, seperti yang diingatkan oleh STISNU Tangerang, ketika kebijakan lebih diukur dari jumlah likes di media sosial daripada dampak nyata, demokrasi berisiko menjadi sekadar tontonan. Untuk itu, Dedi perlu menyeimbangkan gaya kepemimpinannya yang populis dengan pendekatan yang lebih terukur dan inklusif.

 

 Penutup

Kebijakan-kebijakan Dedi Mulyadi, meski bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat, menunjukkan bahwa spontanitas tanpa kajian mendalam dapat memicu konflik dan ketidakpercayaan. Dalam merumuskan kebijakan, tujuan yang jelas—seperti pengentasan kemiskinan, peningkatan disiplin, atau pelestarian lingkungan—harus diimbangi dengan parameter yang terukur, seperti indikator keberhasilan, dampak ekonomi, dan kepatuhan pada nilai HAM. Hanya dengan pendekatan ini, seorang pemimpin dapat menciptakan kebijakan yang tidak hanya viral, tetapi juga berdampak nyata bagi rakyat.

Sebagai “Gubernur Konten,” Dedi Mulyadi memiliki panggung besar untuk memengaruhi publik. Namun, untuk menjadi pemimpin yang benar-benar meninggalkan warisan, ia harus memastikan bahwa setiap kebijakan tidak hanya mengguncang, tetapi juga membangun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Follow WhatsApp Channel djourno.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Dari Pendidikan hingga Pangan: Langkah ‘Aisyiyah Jakarta Barat Semai Keluarga Tangguh
Polemik Kebijakan Rombel 50 Siswa: Dikritik Atalia, Dedi Mulyadi Sindir Ridwan Kamil
Mengapa Kepala Daerah Jawa Barat Ramai-ramai Tolak Kebijakan Dedi Mulyadi?
Kebijakan Sekolah Swasta Gratis Jakarta: Pemerataan atau Sekadar Pencitraan?
Ketika Istri Ridwan Kamil Kritik Kebijakan Dedi Mulyadi
Hadapi Gelombang Kemiskinan Baru, Bagaimana Formula Kebijakan Jakarta?
Kebijakan Berbasis Desa: Lampung Wujudkan Penurunan Kemiskinan
Pagi Terlalu Dini, Malam Terlalu Ketat: Mengapa Kebijakan Dedi Mulyadi Memicu Badai Protes?

Berita Terkait

Senin, 4 Agustus 2025 - 18:38 WIB

Dari Pendidikan hingga Pangan: Langkah ‘Aisyiyah Jakarta Barat Semai Keluarga Tangguh

Senin, 4 Agustus 2025 - 16:13 WIB

Polemik Kebijakan Rombel 50 Siswa: Dikritik Atalia, Dedi Mulyadi Sindir Ridwan Kamil

Minggu, 3 Agustus 2025 - 14:54 WIB

Mengapa Kepala Daerah Jawa Barat Ramai-ramai Tolak Kebijakan Dedi Mulyadi?

Sabtu, 2 Agustus 2025 - 09:52 WIB

Kebijakan Sekolah Swasta Gratis Jakarta: Pemerataan atau Sekadar Pencitraan?

Jumat, 1 Agustus 2025 - 15:54 WIB

Ketika Istri Ridwan Kamil Kritik Kebijakan Dedi Mulyadi

Berita Terbaru