Djourno.id – Selama pandemi COVID-19, kita menyaksikan bagaimana bantuan sosial (bansos) menjadi penyangga utama bagi jutaan rumah tangga rentan. Namun kita juga menyaksikan kelemahannya: data yang tumpang tindih, distribusi yang tidak tepat sasaran, hingga manipulasi politik yang menggerogoti kepercayaan publik.
Kini, ketika pandemi telah berlalu, Indonesia menghadapi momentum penting: mereformasi sistem bansos menuju sistem digital yang adil, akurat, dan adaptif.
Evaluasi: Masalah Bukan pada Niat, Tapi pada Sistem
Bansos di Indonesia selama ini dijalankan dengan pendekatan konvensional: berbasis data statis, distribusi manual, dan koordinasi antar-lembaga yang lambat. Basis utamanya, DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial), dinilai tak sepenuhnya mencerminkan kondisi riil masyarakat, karena pembaruannya bersifat periodik, bukan real-time.
“Banyak warga yang sebenarnya sudah tidak layak masih terus menerima bantuan, sementara yang benar-benar butuh tidak terdata,” ujar seorang kepala desa di Kabupaten Karawang.
Masalah ini diperparah oleh fragmentasi kebijakan: bansos dikucurkan oleh berbagai kementerian dengan format dan platform yang berbeda, tanpa interoperabilitas. Akibatnya, ada keluarga yang menerima bansos ganda, ada pula yang tidak terjangkau sama sekali.
Solusi: Membangun Sistem Bansos Digital Terintegrasi
Reformasi bansos digital bukan sekadar soal memindahkan proses ke aplikasi, tapi mendesain ulang sistem kesejahteraan agar responsif terhadap dinamika sosial dan ekonomi masyarakat. Berikut lima langkah strategis:
- Satu Data Kesejahteraan Nasional (SDKN)
Pemerintah perlu membangun sistem satu data terpadu, yang terhubung dengan Dukcapil, BPJS, sekolah, dan lembaga keuangan, dengan prinsip real-time update dan verifikasi silang. SDKN harus menjadi rujukan tunggal dalam semua kebijakan bantuan. - Bansos berbasis NIK dan dompet digital
Mengalihkan skema distribusi ke platform digital (e-wallet) berbasis NIK untuk mempercepat pencairan, meminimalisir kebocoran, dan memungkinkan pelacakan distribusi secara transparan. - Dashboard Keadilan Sosial
Membangun dashboard publik yang menampilkan data penerima, besaran bantuan, dan indikator kesejahteraan secara terbuka, agar masyarakat bisa ikut mengawasi dan mengevaluasi. - AI untuk deteksi dini kerentanan
Menggunakan kecerdasan buatan untuk memantau dinamika ekonomi warga (misalnya kehilangan pekerjaan, jatuh miskin tiba-tiba) agar bansos bisa bersifat prediktif, bukan reaktif. - Partisipasi publik berbasis komunitas
Mengintegrasikan peran RT/RW, komunitas lokal, dan relawan digital untuk memberikan input lapangan yang tidak bisa dibaca hanya dari data statistik.
“Reformasi bansos bukan hanya soal efisiensi anggaran, tapi juga pemulihan kepercayaan rakyat terhadap negara,” ujar Prof. Sri Adiningsih, ekonom kebijakan dan mantan Ketua Wantimpres.
Langkah Menuju Bansos yang Bermartabat
Negara-negara seperti Brasil dan India telah membuktikan bahwa bansos digital bisa menjangkau lebih banyak orang dengan kesalahan yang lebih sedikit. Program seperti Aadhaar-linked subsidies di India atau Cadastro Único di Brasil menjadi contoh bagaimana teknologi dipakai untuk keadilan sosial.
Indonesia punya modal: ekosistem fintech yang tumbuh, infrastruktur internet yang makin luas, dan SDM digital yang melimpah. Yang dibutuhkan tinggal satu: kemauan politik untuk membangun sistem yang berpihak dan tidak semata-mata reaktif.
Catatan Djourno:
Bansos yang baik bukan hanya soal siapa menerima, tapi bagaimana negara hadir dengan cara yang adil, efisien, dan bermartabat. Digitalisasi bansos adalah jalan menuju kebijakan sosial yang tidak lagi menunggu keluhan, tapi mendengar lebih awal dan bertindak lebih cepat.