Jakarta, Djourno.id — Indonesia punya segalanya: sinar matahari sepanjang tahun, angin di pesisir, air di pegunungan, dan panas bumi yang melimpah. Namun selama puluhan tahun, potensi itu lebih banyak tercantum di dokumen kebijakan daripada benar-benar menjadi kekuatan energi nasional. Kini, situasinya mulai berubah.
Melalui serangkaian regulasi strategis dan komitmen jangka panjang, pemerintah Indonesia perlahan tapi pasti menyusun fondasi transisi energi menuju masa depan yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Dari Target ke Aksi
Pada 2022, bauran energi terbarukan Indonesia baru sekitar 12,3%, masih jauh dari target 23% pada 2025. Namun langkah akseleratif mulai tampak. Salah satunya adalah penerbitan Perpres Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan, yang mendorong harga pembelian listrik berbasis EBT (Energi Baru Terbarukan) lebih kompetitif.
Hasilnya? Sejumlah proyek tenaga surya dan bayu mulai tumbuh, terutama di wilayah timur Indonesia. Di Kupang, misalnya, PLTS berkapasitas 5 MW berhasil mengaliri ribuan rumah dengan listrik bersih. Di Sidrap, Sulawesi Selatan, kincir angin raksasa tak hanya menghasilkan listrik, tapi juga jadi simbol perubahan arah energi Indonesia.
“Dulu kami hanya tahu listrik dari diesel. Sekarang, matahari jadi sumber terang yang stabil,” kata Nani, warga Desa Oesao, NTT.
Transisi Energi = Transisi Sosial
Yang menarik dari kebijakan energi baru ini bukan hanya teknologi, tetapi juga pendekatannya. Pemerintah kini tak hanya berbicara pada investor dan teknokrat, tapi juga pada komunitas lokal, koperasi energi, bahkan generasi muda yang ingin terlibat dalam gerakan hijau.
Kementerian ESDM juga meluncurkan program Energy Transition Youth Camp, mengajak ratusan mahasiswa dari berbagai daerah untuk memahami langsung tantangan dan peluang dalam kebijakan energi. Para pemuda tak hanya diajak jadi saksi, tetapi juga aktor perubahan.
“Kami ingin transisi energi ini bukan elitis, tapi jadi gerakan sosial. Semua orang punya peran,” ujar Arifin Tasrif, Menteri ESDM.
Peluang Ekonomi di Balik Panel Surya
Bicara energi tak bisa lepas dari ekonomi. Menurut laporan IESR (Institute for Essential Services Reform), sektor energi terbarukan berpotensi menciptakan lebih dari 1,2 juta lapangan kerja baru jika didorong serius hingga 2030. Ini mencakup perakitan panel surya, instalasi PLTS atap, hingga riset penyimpanan energi.
Startup seperti Xurya dan SUN Energy kini juga mulai menjangkau UMKM dan pesantren untuk memasang PLTS atap, membuktikan bahwa transisi energi bisa menjadi inklusif dan berorientasi pada rakyat kecil.
Catatan Djourno:
Transisi energi bukan sekadar urusan menara listrik dan angka statistik. Ini adalah upaya bersama untuk mengubah cara kita melihat masa depan—lebih bersih, adil, dan berkelanjutan. Dengan kebijakan yang tepat dan partisipasi luas, angin dan matahari bukan lagi impian, tapi aset strategis bangsa.