Jakarta, Djourno.id — Dalam krisis kesehatan dan ekonomi akibat pandemi COVID-19 (2020–2022), pemerintah Indonesia menggelontorkan berbagai skema bantuan sosial (bansos) sebagai bentuk jaring pengaman. Setidaknya Rp186 triliun dianggarkan dalam Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk sektor perlindungan sosial, termasuk Bantuan Langsung Tunai (BLT), Kartu Sembako, Program Keluarga Harapan (PKH), hingga subsidi listrik.Namun, hampir lima tahun sejak gelombang pertama COVID-19 melanda, pertanyaan tetap mengemuka: seberapa efektif sebenarnya penyaluran bansos ini?Laporan dari BPS (2022) menyebutkan bahwa tingkat kemiskinan Indonesia sempat turun tipis dari 10,19% (2020) menjadi 9,71% (2022), sebagian karena dampak bansos.
Program bansos seperti BLT Dana Desa dan Bantuan Sembako membantu menjaga daya beli masyarakat, khususnya di desa dan wilayah rentan. “Saat ayah saya kehilangan pekerjaan karena pabrik tutup, kami sempat bertahan dari uang bansos itu,” ungkap Desti (34), warga Bekasi.Namun efektivitas bansos tak menyentuh semua kelompok secara merata. Banyak pekerja informal, pedagang kecil, hingga lansia tanpa NIK atau dokumen kependudukan valid yang tidak tercakup dalam skema bantuan.Salah satu persoalan utama adalah ketidakakuratan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Banyak kasus di mana warga yang mampu justru menerima bantuan, sementara yang benar-benar membutuhkan tidak terdata. Dalam audit BPK 2021, ditemukan bahwa setidaknya 10 juta penerima bansos tidak memiliki NIK atau terdaftar ganda.
Hal ini menimbulkan kebocoran dan inefisiensi anggaran. “Bansos cepat cair, tapi tidak tepat sasaran. Ini karena data kita belum rapi,” ujar Bhima Yudhistira, Direktur CELIOS.Penyaluran bansos selama pandemi dilakukan dalam berbagai bentuk: tunai lewat kantor pos dan bank Himbara, nontunai melalui kartu sembako elektronik, fisik seperti beras bantuan 10 kg dari Bulog, dan digital melalui aplikasi bansos Kemensos dan dashboard cekbansos.kemensos.go.id. Namun, distribusi fisik sering terhambat logistik, dan sistem digital sulit diakses oleh warga pedesaan atau lansia yang tidak paham teknologi.Bansos juga sempat menjadi polemik ketika mantan Menteri Sosial Juliari Batubara terlibat dalam skandal korupsi bantuan sosial COVID-19. Ia divonis 12 tahun penjara karena menerima suap dari rekanan pengadaan sembako.
Kasus ini mencoreng kredibilitas program bansos dan menjadi simbol lemahnya pengawasan pada saat krisis.Menurut World Bank (2021), efektivitas bansos diukur dari kecepatan penyaluran, cakupan kelompok rentan yang terlayani, nilai manfaat terhadap pengeluaran keluarga, dan dampak jangka panjang terhadap kemiskinan. Di Indonesia, meski bansos cukup cepat dan luas, dampaknya jangka panjang terhadap pengurangan ketimpangan masih terbatas.Penguatan bansos di masa depan butuh data real-time yang terintegrasi nasional, skema respons krisis yang lebih fleksibel dan transparan, literasi digital masyarakat agar bisa mengakses bansos secara mandiri, serta pengawasan publik lewat dashboard keterbukaan data.
Program bansos selama pandemi terbukti penting, menyelamatkan, dan masif dalam implementasi. Namun dari sisi efektivitas—khususnya ketepatan sasaran dan akuntabilitas—masih menyisakan pekerjaan rumah besar. Pandemi telah mengajarkan pentingnya bansos sebagai alat ketahanan sosial. Kini tantangannya adalah menjadikan bansos sebagai instrumen yang bukan hanya reaktif dalam krisis, tetapi juga adaptif dan adil dalam jangka