Jakarta, Djourno.id – Pada awal 2009, PT Kereta Api Indonesia (KAI) adalah perusahaan negara yang lebih akrab dengan sindiran ketimbang pujian. Di mata publik, KAI ibarat kereta tua yang mogok di tengah rel panjang: penuh asap, suara bising, dan jauh dari efisiensi. Pelayanan buruk, tiket bocor, stasiun kumuh, dan jadwal yang lebih sering meleset dari janji. Kepercayaan publik hampir habis.
Lalu datanglah seorang laki-laki bersuara datar, berkemeja putih, dan berbicara lugas seperti korporat di bursa saham. Ignasius Jonan, mantan bankir yang tidak punya latar belakang teknis perkeretaapian, dilantik menjadi Direktur Utama KAI oleh Menteri BUMN saat itu. Banyak yang mencibir: apa yang bisa dilakukan bankir terhadap kereta api?
Namun sejarah justru membalikkan persepsi itu.
Menyetel Ulang ‘Rel’ Perusahaan
Jonan tidak datang dengan banyak pidato. Ia datang dengan pengukuran, pembongkaran, dan ketegasan. “Kalau masih ada yang jual tiket kereta api di bawah tangan, laporkan ke saya langsung,” ucapnya suatu kali di stasiun yang penuh sesak. Ia bukan direktur yang duduk di balik meja. Hampir setiap minggu, Jonan turun ke lapangan, naik kereta ekonomi, menyapa penumpang, dan marah-marah kepada kepala stasiun yang tidak disiplin.
Jonan tahu masalahnya bukan pada rel atau gerbong semata. Masalah utama KAI ada di manusia dan mentalitas kerjanya.
Ia memulai dengan membongkar sistem distribusi tiket yang korup, lalu memaksa digitalisasi. Ia melarang calo dan menjadikan pemesanan tiket bisa diakses lewat internet dan minimarket. Dalam waktu singkat, kebocoran pendapatan ditekan secara drastis. Pendapatan KAI naik 3 kali lipat hanya dalam empat tahun.
Reformasi juga menyentuh para pegawai. Jonan memperketat disiplin kerja, tapi juga memperbaiki kesejahteraan. Ia memberlakukan sistem bonus berbasis kinerja dan menanamkan kebanggaan pada identitas pegawai KAI. Di bawah kepemimpinannya, KAI bukan lagi tempat ‘buangan’ bagi profesional negara, tetapi perusahaan yang banyak diburu fresh graduate terbaik.
Dari Kereta Ekonomi ke Transportasi Bermartabat
Namun perubahan paling terasa adalah pada penumpang. Di bawah Jonan, kereta api ekonomi yang sebelumnya sarat sesak, panas, dan rawan kejahatan, berubah menjadi moda transportasi yang aman, bersih, dan tepat waktu.
Gerbong ekonomi dimodifikasi: jendela bisa dibuka, kursi diperbaiki, AC dipasang, dan toilet yang dulu mengerikan kini bisa difoto dan dibanggakan. Polisi khusus ditugaskan di setiap rangkaian, dan CCTV mulai dipasang di stasiun besar.
“Saya tidak bisa membuat kereta menjadi mewah, tapi saya bisa membuatnya layak dan manusiawi,” kata Jonan dalam satu wawancara.
Dengan keputusannya yang tak selalu populer, seperti menghapus tiket gratis untuk pegawai sendiri, Jonan membangun kultur baru: pelayanan publik adalah kehormatan, bukan beban.
Meninggalkan Jejak, Mewariskan Etos
Jonan akhirnya meninggalkan KAI ketika dipanggil Presiden Jokowi menjadi Menteri Perhubungan, lalu Menteri ESDM. Namun banyak yang percaya, jejak terbaiknya tetap di rel-rel panjang KAI, yang kini menjadi contoh keberhasilan BUMN yang direformasi dengan kepemimpinan berintegritas.
Yang ditinggalkan Jonan bukan sekadar laporan keuangan yang positif atau grafik pendapatan yang naik. Ia meninggalkan legacy—warisan etos kerja, sistem yang bersih, dan mindset bahwa perusahaan publik bisa melayani dengan profesional.
Tokoh Seperti Ini yang Ingin Kita Lihat Lebih Banyak
Kisah Ignasius Jonan adalah kisah tentang apa yang mungkin jika seseorang membawa integritas dan visi ke jantung sistem yang dianggap tidak bisa diubah. Ia menunjukkan bahwa perubahan tidak membutuhkan keajaiban, cukup kemauan, keberanian, dan kerja keras.
Dan di tengah derasnya kritik terhadap BUMN, publik pantas untuk tidak kehilangan harapan. Karena ketika satu kereta berhasil kembali ke jalurnya, yang lain bisa menyusul. Jika kita punya cukup banyak Jonan di institusi-institusi kita, maka negara ini bisa bergerak lebih cepat dan lebih pasti.