Warisan Pemikiran Ekonomi Syafruddin Prawiranegara

- Penulis

Jumat, 29 Agustus 2025 - 13:28 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh Kurniawan Zulkarnain

Konsultan Pemberdayaan Masyarakat dan Dewan Pembina Yayasan Pembangunan Mahasiswa Islam Insan Cita (YAPMIC) Ciputat

 

Syafruddin Prawiranegara merupakan salah satu tokoh fenomenal dalam sejarah Indonesia, terutama dalam bidang ekonomi dan pemerintahan. Ia dikenal sebagai ekonom, politisi, dan pejuang kemerdekaan yang memiliki kontribusi besar dalam pembangunan ekonomi nasional, khususnya pada masa-masa awal kemerdekaan. “Gunting Syafruddin” merupakan kebijakan yang pahit tapi manjur, menjadi salah satu tonggak penting stabilisasi moneter Indonesia pasca-kemerdekaan. Ia meletakkan landasan untuk mengembangkan Bank Indonesia (BI) dan menyelamatkan Negara Indonesia sebagai Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).

Syafruddin dilahirkan pada tanggal 28 Februari 1911 di Serang, Banten. Ia dibesarkan dalam keluarga priyayi Sunda terpandang dan berpendidikan. Ayahnya bernama Raden Arsjad Prawiraatmadja, seorang jaksa di Banten, yang menanamkan nilai-nilai keislaman dan kedisiplinan. Ibunya, Raden Ratnaningsih, seorang ibu rumah tangga dari keluarga priyayi Jawa-Sunda. Syafruddin dikenal sebagai sosok religius, membesarkan anak-anaknya dengan nilai Islam yang kuat, serta menekankan pentingnya shalat, akhlak, dan disiplin dalam kehidupan sehari-hari.

Setelah menamatkan HIS (Hollandsch Inlandsche School), Syafruddin melanjutkan pendidikan di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Jakarta, kemudian AMS (Algemene Middelbare School) bagian A1 (Budaya Timur) di Jakarta. Pendidikan tingginya ditempuh di Rechts Hoge School (Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia, dan ia lulus sebagai Sarjana Hukum. Syafruddin bergabung dengan Perhimpunan Pelajar Islam (PPI). Saat kuliah di RHS, ia semakin aktif dalam organisasi mahasiswa Islam dan nasionalis, hingga menjadi tokoh di Jong Islamieten Bond (JIB). Selama di JIB, Syafruddin membangun jejaring dengan tokoh-tokoh muda pergerakan Islam dan nasional, termasuk Mohammad Natsir, Mohammad Roem, serta pemuda-pemuda dari Persatuan Islam (Persis).

 

Perjuangan Politik Syafruddin Prawiranegara

Syafruddin mengawali karier politiknya setelah lulus dari RHS dengan bekerja di berbagai kantor hukum dan perusahaan, sembari tetap aktif dalam pergerakan pemuda Islam. Gagasannya tentang Islam, moralitas, dan ekonomi kerakyatan mulai dikenal di kalangan intelektual muda.

Ketika Jepang masuk (1942) dan menduduki Indonesia, Syafruddin ikut dalam kegiatan Keimin Bunka Shidosho—lembaga kebudayaan bentukan Jepang untuk mempengaruhi kaum intelektual dan seniman Indonesia agar mendukung Jepang. Namun, Syafruddin tetap menjaga jarak, bersikap kritis, dan memelihara kemandiriannya.

Syafruddin kemudian bergabung dengan Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) sejak awal berdirinya pada tahun 1945. Ia menjadi salah satu tokoh penting di bidang ekonomi dan keuangan dalam partai tersebut, serta tercatat sebagai anggota Dewan Pimpinan Partai. Dalam struktur Masyumi, Syafruddin dikenal sebagai ahli keuangan dan ekonomi yang banyak memberi masukan bagi kebijakan negara. Ia juga diangkat menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) tahun 1945 dan menduduki Bagian Keuangan/Ekonomi, sesuai dengan latar belakang dan keahliannya.

Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer II dan menduduki Yogyakarta, ibu kota RI saat itu. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta beserta sejumlah menteri ditangkap dan diasingkan ke Bangka. Sebelum ditangkap, Soekarno mengirimkan mandat melalui telegram kepada Syafruddin Prawiranegara (yang saat itu berada di Sumatra Barat) untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik. Pada 22 Desember 1948, Syafruddin secara resmi membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan ibu kota di Bukittinggi, Sumatra Barat.

Sebagai Ketua PDRI, Syafruddin merangkap Menteri Pertahanan, Menteri Penerangan, dan Menteri Luar Negeri. Keberadaan PDRI sangat penting untuk menjamin kelangsungan republik dan menjadi simbol bahwa Indonesia masih ada. Dengan begitu, dunia internasional tetap mengakui eksistensi RI. Syafruddin memberi instruksi kepada TNI di bawah Jenderal Sudirman untuk terus melancarkan perang gerilya. Sebagai Menteri Luar Negeri, ia menghubungi perwakilan RI di luar negeri agar tetap menjalankan tugas diplomatik, mendorong PBB (UNCI – United Nations Commission for Indonesia) untuk menekan Belanda menghentikan agresi. Setelah tercapai Perjanjian Roem–Royen (Mei 1949) dan Pemerintahan RI kembali ke Yogyakarta (Juli 1949), Syafruddin dengan penuh loyalitas menyerahkan mandat PDRI kepada Presiden Soekarno.

Pada 15 Februari 1958, Syafruddin mendirikan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pendirian PRRI dilatarbelakangi kekecewaan daerah-daerah, khususnya di Sumatra dan Sulawesi, yang merasa dianaktirikan oleh pemerintah pusat di Jakarta. Syafruddin bersama sejumlah tokoh Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) menolak arah politik Soekarno yang semakin condong ke Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis). Mereka khawatir dominasi PKI semakin menguat.

Dalam PRRI, Syafruddin diangkat sebagai Perdana Menteri. Tokoh militer yang terlibat antara lain Kolonel Ahmad Husein (Panglima Teritorium Sumatra Tengah), Kolonel Maludin Simbolon (Panglima Teritorium Sumatra Utara, meski kemudian pasif), Kolonel Dahlan Djambek (Panglima Teritorium Sumatra Barat), serta Letkol Ventje Sumual (pemimpin Permesta di Sulawesi Utara). Soekarno menganggap PRRI sebagai pemberontakan dan melancarkan operasi militer besar-besaran (Operasi 17 Agustus) yang dipimpin Kolonel Ahmad Yani. Pada tahun 1961, PRRI resmi dibubarkan. Syafruddin bersama pendiri PRRI lainnya menyerahkan diri dan ditahan hingga 1966.

Pada masa Orde Baru, Syafruddin tidak lagi aktif dalam politik praktis dan tampil sebagai tokoh pemikir Islam moderat. Ia banyak memberikan pandangan tentang demokrasi, ekonomi, dan hubungan negara dengan agama. Ia juga mendirikan Himpunan Usahawan Muslimin Indonesia (HUSAMI, 1967) dan Yayasan Dana Tabungan Haji (1970). Sebagai bentuk kritik moral terhadap otoritarianisme Orde Baru, Syafruddin ikut menandatangani Petisi 50 pada tahun 1980.

Baca Juga:  Kebijakan Pencegahan Korupsi Jangan Berhenti di Level Formalitas

Beliau wafat pada 15 Februari 1989 di Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Ia kemudian diakui sebagai Pahlawan Nasional Indonesia (2011, melalui Keppres Presiden Susilo Bambang Yudhoyono). Sumbangan Syafruddin Prawiranegara dalam mengelola perekonomian nasional sangat fenomenal dan menjadi pembelajaran penting bagi para penyelenggara negara berikutnya.

 

Warisan Pemikiran Ekonomi Syafruddin Prawiranegara

Syafruddin menjabat Menteri Keuangan Indonesia pada dua periode di awal kemerdekaan, yaitu pada Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 – 26 Juni 1947) dan pada masa Republik Indonesia Serikat (20 Desember 1949 – 6 September 1950, di bawah Kabinet Hatta II).

Sebagai Menteri Keuangan (1946–1947), Syafruddin mengusulkan dan melaksanakan penerbitan Oeang Republik Indonesia (ORI) pada 30 Oktober 1946, sebagai simbol kedaulatan sekaligus instrumen pendanaan revolusi. Untuk mengatasi inflasi, pada 10 Maret 1950 Syafruddin memerintahkan agar uang Belanda (NICA dan De Javasche Bank) pecahan di atas 5 gulden dipotong menjadi dua. Kebijakan ini dikenal sebagai “Gunting Syafruddin”. Separuh bagian tetap digunakan sebagai alat tukar, sedangkan separuh lainnya dikonversi menjadi obligasi pemerintah 30 tahun berbunga 3%. Langkah ini berhasil memangkas suplai uang sebanyak 41%, menyehatkan keuangan negara, dan menyelamatkan APBN yang kala itu defisit berat.

Syafruddin kemudian diangkat sebagai Presiden De Javasche Bank (DJB) pada 1951. Setelah DJB dinasionalisasi dan menjadi Bank Indonesia (BI), Syafruddin menjadi Gubernur BI pertama (1953–1958). Ia menerapkan cadangan wajib sebesar 20% atas uang beredar, menegakkan independensi BI, serta menekankan fungsi bank sentral sebagai pengendali stabilitas moneter, bukan alat politik pemerintah.

Selain kebijakan ekonomi praktis, Syafruddin juga pionir dalam pemikiran ekonomi Islam. Gagasannya pertama kali dimuat dalam artikel “Motif Ekonomi diukur menurut Hukum-Hukum Islam” di majalah Suara Partai Masyumi (Maret–April 1951). Ia menolak pemisahan Islam dari ekonomi, mengkritik praktik eksploitasi dan monopoli sebagai bentuk riba, serta menekankan pentingnya moralitas (akhlak) dalam pembangunan ekonomi.

Syafruddin berpandangan bahwa bunga bank bukan riba karena dianggap wajar dalam konteks risiko, meski ia menentang monopoli penyelenggaraan haji yang dianggap eksploitatif. Ia mengkritik kapitalisme yang menimbulkan kesenjangan, sekaligus menolak sosialisme-komunisme yang mengabaikan hak individu. Syafruddin mendukung keterlibatan negara dan modal asing secara moderat, namun menolak nasionalisasi agresif maupun ketergantungan pada modal asing. Baginya, struktur ekonomi nasional ideal mencakup koperasi (sebagaimana UUD 1945 Pasal 33), BUMN untuk kebutuhan rakyat, serta swasta yang mengisi sektor yang belum terlayani.

 

Pandangan Para Ahli terhadap Pemikiran Syafruddin

Boediono (Mantan Wakil Presiden & ekonom UGM),menilai  “Gunting Syafruddin” sebagai kebijakan moneter yang sangat berani dalam situasi krisis. Kebijakan ini berhasil mengurangi uang beredar sekitar separuhnya, sehingga inflasi dapat ditekan. Boediono menyebut langkah ini menunjukkan kejelian Syafruddin membaca kondisi ekonomi saat itu, meski secara politis kurang populer. Sedangkan, M. Dawam Rahardjo (Ekonom dan Cendekiawan Muslim) ,menganggap Syafruddin sebagai pemikir Islam modern yang menekankan keadilan sosial dan ekonomi. Melihatnya sebagai tokoh yang berusaha menjembatani Islam, demokrasi, dan pembangunan ekonomi.

Deliar Noer (Sejarawan & Ilmuwan Politik), melihat kebijakan ‘’Gunting Syafruddin’’ dalam kerangka kepemimpinan Syafruddin yang tegas.Ia menekankan bahwa keberanian Syafruddin menunjukkan dedikasi untuk kepentingan nasional di atas kepentingan golongan. Deliar Noer menilai bahwa ‘’Gunting Syafruddin’’  merupakan “obat pahit” yang harus diminum rakyat demi masa depan ekonomi Indonesia. Ahli lainya, Taufik Abdullah (Sejarawan LIPI),memandang  Syafruddin sebagai negarawan sejati, yang mampu menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok atau partai. Menggambarkan sikap Syafruddin sebagai moderat–tidak ekstrem kiri atau kanan, melainkan pragmatis dan rasional.

Sejarawan Barat,Herbert Feith melihat Syafruddin sebagai representasi kelompok administrator rasional yang menekankan stabilitas dan manajemen negara modern. Sedangkan George Kahin menilai peran PDRI di bawah Syafruddin sangat krusial dalam mempertahankan eksistensi Republik di mata dunia internasional, khususnya saat diplomasi di PBB berlangsung. J. D. Legge (Sejarawan Australia), menilai “Gunting Syafruddin” sebagai salah satu keputusan moneter paling efektif dalam sejarah Indonesia awal. Ia menekankan bahwa meskipun banyak ditentang, kebijakan ini memperbaiki keuangan negara dan menyiapkan fondasi bagi stabilitas ekonomi pasca pengakuan kedaulatan.

Syafruddin Prawiranegara meninggalkan warisan ganda bagi Indonesia: warisan kelembagaan yang memastikan republik tetap hidup melalui PDRI, serta warisan intelektual berupa integritas, kesederhanaan, dan pandangan Islam yang moderat. Dengan demikian, Syafruddin dikenang bukan hanya sebagai “penjaga nyawa Republik”, tetapi juga sebagai negarawan bersih yang meletakkan dasar etis dan ekonomis bagi Indonesia merdeka.

 

Wallahu ‘Alam bi Shawab.

 

Sumber: Majalah Suara Partai Masyumi (Maret–April 1951), Artikel resmi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), Biografi dan Kebijakan Bank Sentral, Kemenag (Refleksi Pemikiran Ekonomi Islam), dan Ensiklopedia Islam.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Follow WhatsApp Channel djourno.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Bersinar di Puncak Dedikasi: Kisah Bahlil, Teddy, dan Meutya dalam Penganugerahan Bintang Mahaputera 2025
Perjalanan Adhiguna Kuncoro, Ilmuwan Muda Indonesia di Pusat AI Dunia
Gerakan Protes Rakyat Pati: Sebuah Analisis Sosiologis
Janice Tjen: Dari Lapangan Ragunan ke Panggung US Open, Kebanggaan Baru Indonesia
Kebijakan Pencegahan Korupsi Jangan Berhenti di Level Formalitas
Desa Wisata: Alternatif Menambah Pundi-pundi Desa
Integritas di Tengah Birokrasi: Perjalanan Joao yang Mundur dari Dirut Agrinas
PBB 250 Persen Batal: Kemenangan Rakyat atau Cermin Buram Kebijakan?

Berita Terkait

Jumat, 29 Agustus 2025 - 13:28 WIB

Warisan Pemikiran Ekonomi Syafruddin Prawiranegara

Senin, 25 Agustus 2025 - 14:56 WIB

Bersinar di Puncak Dedikasi: Kisah Bahlil, Teddy, dan Meutya dalam Penganugerahan Bintang Mahaputera 2025

Minggu, 24 Agustus 2025 - 12:24 WIB

Perjalanan Adhiguna Kuncoro, Ilmuwan Muda Indonesia di Pusat AI Dunia

Sabtu, 23 Agustus 2025 - 13:17 WIB

Gerakan Protes Rakyat Pati: Sebuah Analisis Sosiologis

Sabtu, 23 Agustus 2025 - 11:30 WIB

Janice Tjen: Dari Lapangan Ragunan ke Panggung US Open, Kebanggaan Baru Indonesia

Berita Terbaru

Kolom

Warisan Pemikiran Ekonomi Syafruddin Prawiranegara

Jumat, 29 Agu 2025 - 13:28 WIB