djourno.id – Di tengah perayaan HUT RI ke-80 yang semarak, sorotan tajam publik tertuju pada tunjangan baru anggota DPR RI. Ketika rakyat masih berjuang melawan inflasi, kemiskinan, dan kenaikan pajak, anggota DPR mendapatkan tunjangan perumahan Rp 50 juta per bulan sebagai pengganti rumah dinas yang dianggap tak layak.
Total pendapatan mereka kini bisa mencapai Rp 100-150 juta per bulan, angka yang jauh melampaui gaji rata-rata rakyat Indonesia.
Polemik ini memunculkan pertanyaan besar: pantaskah wakil rakyat menerima pendapatan sebesar ini di tengah kesenjangan sosial yang kian lebar? Dan bagaimana posisi Indonesia dibandingkan negara lain?
Anatomi Pendapatan DPR RI
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 75 Tahun 2000 dan penyesuaian terbaru dari Kementerian Keuangan, pendapatan anggota DPR terdiri dari gaji pokok dan berbagai tunjangan.
Gaji pokok relatif kecil: Rp 4,2 juta untuk anggota biasa, Rp 4,62 juta untuk wakil ketua, dan Rp 5,04 juta untuk ketua. Namun, tunjangan menjadi porsi terbesar. Anggota DPR menerima tunjangan jabatan Rp 18,9 juta, tunjangan komunikasi, tunjangan beras Rp 12 juta, hingga tunjangan perumahan Rp 50 juta per bulan. Belum lagi dana aspirasi yang bisa mencapai ratusan juta per tahun untuk kegiatan reses.
Dengan 575 anggota DPR, beban anggaran negara mencapai Rp 1,74 triliun per tahun untuk gaji dan tunjangan ini, belum termasuk fasilitas seperti mobil dinas dan perjalanan. Yang lebih mencolok, pajak penghasilan (PPh Pasal 21) anggota DPR ditanggung negara, membuat take-home pay mereka jauh lebih besar dibandingkan pekerja biasa.
Menurut Adies Kadir, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Golkar, tunjangan ini bukan kenaikan gaji, melainkan “penyesuaian” untuk menggantikan rumah dinas di Kalibata yang sudah tak layak. “Ini bukan kenaikan, tapi kompensasi. Kami juga harus menjalankan tugas dengan baik,” ujarnya dalam wawancara dengan Kompas, 20 Agustus 2025. Namun, penjelasan ini tak cukup meredam kemarahan publik.
Kesenjangan yang Tinggi
Polemik ini mencuat ketika masyarakat membandingkan pendapatan DPR dengan realitas ekonomi rakyat. Gaji minimum regional (UMR) di banyak daerah Indonesia berkisar antara Rp 2,5 juta hingga Rp 5 juta per bulan.
Guru honorer, misalnya, sering kali hanya digaji Rp 250.000 per bulan, bahkan dianggap “beban negara” dalam beberapa diskusi politik. Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan 25 juta rakyat Indonesia tinggal di kawasan kumuh, dan angka kemiskinan masih stagnan di 9,36% pada 2024.
Di media sosial, kemarahan publik meledak. Sebuah postingan viral berbunyi, “Wakil rakyat dapat rumah baru, rumah rakyatnya tetap penyok,” disukai lebih dari 10.000 kali. Netizen lain menyoroti ironi: “Rakyat dipotong TAPERA 3% untuk subsidi rumah, tapi DPR dapat Rp 50 juta sebulan. Ini keadilan macam apa?” Tagar #GajiDPR menjadi trending, mencerminkan rasa frustrasi yang meluas.
Ujang Komarudin, pengamat politik dari Indonesia Political Review, menilai langkah ini sebagai “ketidakpekaan sosial” DPR. “Di saat rakyat kesulitan, kenaikan tunjangan ini seperti tamparan.
Apalagi kinerja DPR sering dipertanyakan, dari absensi rendah hingga legislasi yang lambat,” katanya kepada Tempo, 22 Agustus 2025. Ia menambahkan bahwa DPR perlu menunjukkan kinerja nyata agar pendapatan besar ini dianggap wajar oleh publik.
Indonesia di Panggung Regional dan Global
Bagaimana pendapatan DPR RI dibandingkan dengan negara lain? Dalam konteks ASEAN, Indonesia termasuk yang cukup tinggi. Anggota parlemen Malaysia menerima gaji pokok sekitar RM 16.000 (Rp 57 juta) per bulan, ditambah tunjangan kecil seperti telepon (RM 900) dan perjalanan (RM 1.500).
Di Thailand, gaji anggota parlemen sekitar THB 140.000 (Rp 63 juta), sedangkan Filipina sekitar PHP 300.000 (Rp 82 juta). Singapura menjadi pengecualian dengan gaji legislator mencapai USD 12.250 (Rp 193 juta) per bulan, tetapi ini diimbangi dengan transparansi dan akuntabilitas tinggi.
Namun, yang membedakan Indonesia adalah rasio pendapatan DPR dengan gaji rata-rata rakyat. Di Indonesia, pendapatan DPR 20-30 kali lipat lebih tinggi dari gaji rata-rata (Rp 4-5 juta). Di Malaysia, rasionya hanya sekitar 6 kali, dan di Singapura lebih rendah lagi karena pendapatan per kapita yang jauh lebih tinggi.
Di Eropa, gaji anggota parlemen memang lebih besar secara nominal, tetapi rasionya dengan pendapatan rakyat jauh lebih kecil. Di Inggris, anggota parlemen menerima GBP 7.612 per bulan (Rp 156 juta), tetapi ini hanya 3 kali lipat gaji rata-rata warga (GBP 2.500).
Jerman membayar EUR 10.591 (Rp 185 juta) per bulan, sementara Spanyol lebih rendah, sekitar EUR 3.000-4.000 (Rp 52-70 juta). Yang menarik, di negara-negara ini, gaji dikaitkan dengan akuntabilitas ketat: absensi, produktivitas legislasi, dan transparansi pengeluaran diawasi publik.
“Indonesia punya rasio ketimpangan gaji yang sangat tinggi dibandingkan negara lain. Ini memperburuk persepsi publik bahwa DPR tak peduli rakyat,” kata Bhima Yudhistira, ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), dalam wawancara dengan CNN Indonesia, 21 Agustus 2025. Ia menambahkan bahwa tunjangan DPR seharusnya dikaitkan dengan indikator kinerja, seperti jumlah undang-undang yang disahkan atau tingkat kehadiran.
Suara Publik dan Jalan ke Depan
Reaksi publik tak hanya terbatas di media sosial. Demonstrasi kecil-kecilan terjadi di depan Gedung DPR, dengan mahasiswa menuntut transparansi dan pengurangan tunjangan. “Kami bukan cemburu, tapi ini soal keadilan. Mereka harusnya melayani, bukan membebani,” ujar Dinda, mahasiswi Universitas Indonesia, dalam aksi pada 23 Agustus 2025.
Yenny Wahid, tokoh masyarakat dan putri mantan Presiden Gus Dur, turut angkat bicara. “Kalau Gus Dur masih ada, beliau pasti akan marah besar melihat ini. DPR harus introspeksi, tunjukkan kerja nyata dulu sebelum bicara soal hak,” katanya dalam wawancara dengan Detik, 24 Agustus 2025.
Polemik ini memunculkan pertanyaan mendasar: bagaimana seharusnya pendapatan wakil rakyat diatur? Apakah tunjangan sebesar ini wajar untuk pejabat publik di negara dengan pendapatan per kapita USD 4.580 (2024)?
Haruskah Indonesia mencontoh negara seperti Singapura dengan transparansi tinggi, atau Inggris dengan pengawasan ketat? Dan yang terpenting, bagaimana DPR bisa membuktikan bahwa mereka layak atas kepercayaan dan anggaran rakyat?
Saat ini, bola ada di tangan DPR dan pemerintah. Reformasi sistem remunerasi, transparansi kinerja, atau bahkan dialog publik mungkin bisa meredam polemik.
Namun, tanpa langkah nyata, kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif ini terus tergerus. Apa pendapat Anda? Apakah tunjangan DPR RI saat ini sudah sepadan dengan tanggung jawab mereka, atau justru memperlebar jurang ketimpangan?