djourno.id — Di tengah semakin tingginya kebutuhan layanan kesehatan, pemerintah kembali menggulirkan wacana yang sensitif bagi masyarakat: kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Rencana ini tertuang dalam RAPBN 2026 dan langsung menjadi bahan perdebatan publik.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, penyesuaian iuran bukan semata soal angka, melainkan soal keberlanjutan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
“Kalau manfaatnya makin banyak, berarti biayanya memang makin besar,” katanya dalam rapat bersama DPR, 21 Agustus lalu. Pemerintah, menurutnya, berupaya menyeimbangkan antara besarnya layanan yang diberikan dan kemampuan keuangan negara.
Kenaikan ini direncanakan bertahap agar tidak langsung memberatkan. Salah satu sasaran utamanya adalah memperluas jumlah peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), yaitu mereka yang iurannya sepenuhnya ditanggung negara. Dengan begitu, kelompok masyarakat paling rentan tetap terlindungi, bahkan justru mendapat akses yang lebih luas.
Tekanan di Balik Angka
RAPBN 2026 mengalokasikan Rp 244 triliun untuk kesehatan, dengan Rp 69 triliun di antaranya dipakai untuk subsidi iuran.
Angka ini memang besar, tetapi tetap terasa sempit jika dibandingkan dengan laju pengeluaran kesehatan yang terus meroket. Tahun 2023, misalnya, total pengeluaran kesehatan nasional menembus Rp 614,5 triliun, naik lebih dari 8 persen dari tahun sebelumnya.
Di lapangan, BPJS Kesehatan menghadapi berbagai tantangan: klaim yang kian membengkak, tunggakan iuran peserta mandiri, hingga masalah data penerima subsidi yang belum sepenuhnya akurat.
Inflasi biaya medis membuat beban semakin berat. Tanpa penyesuaian iuran, cadangan dana JKN bisa terkuras dan mengancam keberlangsungan layanan bagi lebih dari 278 juta peserta.
Di Antara Keterjangkauan dan Keberlanjutan
Rencana kenaikan iuran ini menimbulkan pro-kontra. Di media sosial, keluhan soal daya beli mencuat, apalagi masyarakat juga dihadapkan pada wacana kebijakan lain seperti Tapera dan potensi kenaikan PPN. Banyak yang khawatir iuran baru akan makin menekan pekerja informal yang pendapatannya tidak menentu.
Namun pakar menilai, penyesuaian ini tak bisa ditunda lagi. Timboel Siregar dari BPJS Watch mengingatkan, jika iuran terlalu rendah, risiko defisit bakal berulang. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin bahkan mengibaratkan iuran yang tak kunjung naik di tengah inflasi kesehatan 15 persen per tahun seperti gaji yang tidak pernah bertambah di tengah harga barang yang terus melonjak.
Pada akhirnya, pemerintah berada di persimpangan yang sulit: menjaga keberlanjutan keuangan BPJS sekaligus memastikan iuran tetap terjangkau. Transisi menuju sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) mulai 2025 juga menambah tantangan, karena menuntut kualitas layanan yang merata di semua kelas.
Menatap 2026
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan mungkin terasa berat bagi sebagian masyarakat. Namun tanpa langkah ini, keberlangsungan program JKN yang selama ini menjadi tulang punggung sistem kesehatan Indonesia justru terancam.
“Ini bukan hanya soal iuran, tetapi soal solidaritas bersama untuk memastikan semua orang tetap punya akses ke layanan kesehatan,” kata seorang anggota DPR dalam rapat pembahasan.
Dengan alokasi anggaran yang besar dan janji kenaikan bertahap, pemerintah berupaya menyeimbangkan kepentingan fiskal dan kebutuhan publik.
Keberhasilan kebijakan ini nantinya akan sangat bergantung pada dua hal: bagaimana ia dijalankan di lapangan, dan seberapa baik pemerintah menjelaskan urgensinya kepada masyarakat.