Pajak Daerah dan Stabilitas Sosial: Antara Ambisi Fiskal dan Gelombang Protes

- Penulis

Jumat, 22 Agustus 2025 - 18:25 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

djourno.id–Di sebuah ruang rapat virtual, wajah-wajah tegang para bupati dan wali kota Sulawesi Selatan terpampang di layar Zoom. Hari itu, 20 Agustus 2025, Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) digelar. 

Gubernur Andi Sudirman Sulaiman membuka pembahasan dengan nada serius. Ia mengingatkan para kepala daerah agar tidak gegabah menaikkan pajak daerah.

“Jangan sampai upaya meningkatkan PAD justru menciptakan ancaman baru bagi stabilitas,” ujarnya tegas.

Pernyataan itu bukan sekadar peringatan administratif. Ia lahir dari gelombang keresahan yang dalam beberapa bulan terakhir meletup di berbagai daerah di Indonesia: rakyat turun ke jalan, kantor pemerintah dipenuhi aksi protes, bahkan bentrokan pecah hanya karena sebuah angka di lembar tagihan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Kisah ini membuka kembali dilema klasik dalam tata kelola daerah: bagaimana menyeimbangkan ambisi fiskal dengan daya tahan masyarakat.

Gelombang Protes: Dari Pati hingga Bone

Suasana paling panas datang dari Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Pada awal Agustus, pemerintah daerah memutuskan kenaikan PBB-P2 hingga 250 persen. 

Bupati Sudewo, dengan nada menantang, bahkan sempat berkata bahwa ia siap menghadapi protes 50 ribu orang. Pernyataan itu menjadi api yang menyulut amarah.

Pada 13 Agustus 2025, ribuan warga tumpah ruah ke jalan. Spanduk protes membentang, suara orator menggema, dan bentrokan tak terelakkan. 

DPRD Pati pun membentuk panitia khusus hak angket. Setelah tekanan publik kian kuat, pemerintah akhirnya membatalkan kebijakan itu.

Tak jauh berbeda, Kabupaten Bone di Sulawesi Selatan juga bergolak. Mahasiswa HMI memimpin aksi demonstrasi menolak kenaikan PBB yang mereka sebut mencapai 300 persen.

Bapenda Bone buru-buru meluruskan: kenaikan resmi hanya 65 persen, dihitung dari Zona Nilai Tanah (ZNT) yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional. 

Namun, minimnya sosialisasi membuat publik merasa dibohongi. Bentrokan dengan aparat pecah, dan DPRD terpaksa turun tangan berjanji mengevaluasi kebijakan.

Di Kabupaten Semarang, Cirebon, dan Jombang, kisah serupa berulang. Di Semarang, warga melaporkan tagihan yang melonjak hingga 400 persen. 

Protes bermunculan, mulai dari petisi hingga unjuk rasa di balai kota. Dari Jawa hingga Sulawesi, pola yang sama tampak jelas: kenaikan pajak tanpa komunikasi yang baik melahirkan gelombang penolakan.

 

Pajak: Lebih dari Sekadar Angka

Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa pajak bukan hanya soal angka di kertas. Ia menyentuh langsung urat nadi kehidupan masyarakat. Kenaikan pajak berarti ongkos tambahan yang harus dipikul petani, pedagang kecil, hingga buruh yang gajinya pas-pasan.

Baca Juga:  Dikenal Tapi Tak Dipahami: Citra Kepemimpinan Farhan-Erwin di Mata Warga Bandung

Gubernur Andi Sudirman memberi contoh bagaimana Sulsel mencoba mengambil jalan tengah. Potensi pajak kendaraan bermotor di wilayahnya mencapai Rp21,7 triliun, tetapi kebijakan pengelolaannya dilakukan bertahap. Relaksasi diberikan agar rakyat tidak merasa tiba-tiba dicekik.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian bahkan jauh-jauh hari sudah mengingatkan: penentuan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dan tarif PBB tidak boleh dilakukan terburu-buru.

 “Harus ada masa transisi, sosialisasi, dan pertimbangan daya tahan ekonomi masyarakat,” kata Tito.

Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman Suparman, menambahkan bahwa partisipasi publik bukan sekadar formalitas, tetapi kewajiban hukum. 

Mahkamah Konstitusi dan PP Nomor 45 Tahun 2017 jelas menyatakan konsultasi publik harus menjadi bagian dari penentuan NJOP. “Di Pati, kenaikan pajak sah secara aturan, tapi abai pada partisipasi publik. Itulah sumber utama konflik,” jelasnya.

 

Mencari Jalan Tengah: Inovasi Tanpa Membebani

Tekanan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) memang nyata. Tetapi, sejumlah daerah membuktikan ada cara lain selain menaikkan tarif pajak.

Bali, misalnya, berhasil memperbesar penerimaan daerah lewat penyederhanaan perizinan sektor pariwisata. Yogyakarta mendorong pertumbuhan UMKM dan menarik pajak dari kegiatan ekonomi kreatif. 

Lampung memperpanjang program pemutihan pajak kendaraan bermotor hingga akhir Oktober 2025 karena antusiasme warga sangat tinggi.

Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin, menekankan pentingnya kebijakan yang selaras dengan rasa aman masyarakat. 

“Kita menghadapi tantangan ganda: menjaga kebijakan fiskal agar tidak menimbulkan gejolak, sekaligus mempersiapkan daerah menghadapi potensi bencana,” ujarnya dalam rapat Forkopimda.

 

Keadilan sebagai Fondasi

Pada akhirnya, protes demi protes di berbagai daerah adalah alarm keras bagi pemerintah. Pajak tidak bisa dipandang semata-mata sebagai instrumen pendapatan, tetapi harus dilihat dalam bingkai keadilan sosial.

Jika rakyat merasa dibebani tanpa diberi ruang untuk didengar, kepercayaan publik akan terkikis. 

Sebaliknya, jika kebijakan diambil dengan melibatkan masyarakat, transparan dalam perhitungan, dan sensitif terhadap kondisi ekonomi, pajak bisa menjadi jembatan antara pembangunan dan kesejahteraan.

“Jangan sampai kebijakan pajak memicu kegaduhan,” tegas Tito Karnavian. Pesan sederhana, tapi berulang kali dilupakan.

Kini, pertanyaannya: apakah pemerintah daerah mau belajar dari kegaduhan Pati, Bone, dan Semarang? Ataukah gelombang protes akan kembali menjadi bayangan gelap setiap kali angka di lembar pajak naik begitu saja?

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Follow WhatsApp Channel djourno.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Kemacetan TB Simatupang: Noda di Tengah Upaya Pramono Anung Atasi Macet Jakarta
Pramono Pangkas Trotoar TB Simatupang: Solusi Kemacetan atau Pengorbanan Pejalan Kaki?
Warga Jateng Puas Kinerja Ahmad Luthfi di Kesehatan, Tersandung di Lapangan Kerja
Tertekan Dampak Transfer Pusat Dipangkas: Pemerintah Daerah Naikkan Pajak, Picu Protes Besar
Survei Litbang Kompas: Warga Jawa Barat Menanti Solusi Ekonomi dari Dedi Mulyadi
Survei Litbang Kompas: Warga Jawa Barat Kecewa Kinerja Dedi Mulyadi Atasi Lapangan Kerja   
Gelombang Kenaikan Pajak Daerah dan Riak Perlawanan Rakyat
Gelombang Demonstrasi Pati: Ketika Kebijakan Mengabaikan Nasib Rakyat

Berita Terkait

Rabu, 27 Agustus 2025 - 12:14 WIB

Kemacetan TB Simatupang: Noda di Tengah Upaya Pramono Anung Atasi Macet Jakarta

Minggu, 24 Agustus 2025 - 12:45 WIB

Pramono Pangkas Trotoar TB Simatupang: Solusi Kemacetan atau Pengorbanan Pejalan Kaki?

Jumat, 22 Agustus 2025 - 18:25 WIB

Pajak Daerah dan Stabilitas Sosial: Antara Ambisi Fiskal dan Gelombang Protes

Rabu, 20 Agustus 2025 - 10:10 WIB

Warga Jateng Puas Kinerja Ahmad Luthfi di Kesehatan, Tersandung di Lapangan Kerja

Selasa, 19 Agustus 2025 - 15:22 WIB

Tertekan Dampak Transfer Pusat Dipangkas: Pemerintah Daerah Naikkan Pajak, Picu Protes Besar

Berita Terbaru

Kolom

Warisan Pemikiran Ekonomi Syafruddin Prawiranegara

Jumat, 29 Agu 2025 - 13:28 WIB