djourno.id—Di Stasiun Halim, Jakarta Timur, pagi itu sepi. Hanya segelintir penumpang melangkah menuju peron Kereta Cepat Jakarta-Bandung, atau yang kini dikenal sebagai Whoosh.
Dengan kecepatan 350 km/jam, Whoosh menjanjikan perjalanan Jakarta-Bandung hanya dalam 45 menit, sebuah lompatan dari tiga jam perjalanan kereta biasa.
Namun, di balik kilau modernitas dan gemerlap teknologi, megaproyek ini menyimpan cerita lain: beban keuangan yang mengguncang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Indonesia.
Sejak diresmikan pada 2 Oktober 2023 oleh Presiden Joko Widodo, Whoosh telah mengangkut jutaan penumpang. Data PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) mencatat, hingga 25 Desember 2023, sebanyak 1.028.216 penumpang telah menjajal kereta ini, dengan puncak harian mencapai 21.500 penumpang.
Namun, di balik angka-angka impresif itu, laporan keuangan PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), konsorsium yang mengelola 60% saham KCIC, mencatat kerugian besar: Rp 4,195 triliun pada 2024 dan Rp 1,625 triliun pada semester pertama 2025.
PT Kereta Api Indonesia (KAI), pemimpin konsorsium dengan 58,53% saham PSBI, menanggung kerugian Rp 951,48 miliar pada 2025, setelah Rp 2,23 triliun pada 2024.
“Kereta cepat ini memang kita pikirkan solusinya,” ujar Dony Oskaria, Chief Operating Officer Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara), saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, pada 23 Juli 2025.
“Kita sedang menyiapkan beberapa alternatif untuk restrukturisasi, bukan sekadar menunda masalah,” tambahnya dengan nada hati-hati namun tegas.
Awal Mula dan Janji Besar
Whoosh, singkatan dari Waktu Hemat, Operasi Optimal, Sistem Hebat, lahir dari ambisi besar Indonesia untuk memiliki kereta cepat pertama di Asia Tenggara.
Proyek ini dimulai pada 2016 dengan estimasi biaya awal US$5,5 miliar (sekitar Rp 80 triliun). Namun, realitas berkata lain. Audit bersama pemerintah Indonesia dan China mengungkap pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar US$1,2 miliar, menjadikan total biaya US$7,27 miliar (Rp 108,14 triliun).
Mayoritas pendanaan berasal dari pinjaman China Development Bank (CDB) dengan bunga 3,4% per tahun dan tenor 30 tahun, ditambah suntikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 7,3 triliun serta modal konsorsium BUMN dan mitra China.
Empat BUMN—KAI, PT Wijaya Karya (WIKA), PT Jasa Marga, dan PT Perkebunan Nusantara VIII—membentuk PSBI untuk menguasai 60% saham KCIC, sementara 40% dimiliki konsorsium China Railway.
Namun, beban utang dan bunga tinggi menjadi momok. WIKA, misalnya, mencatat kerugian Rp 7,12 triliun pada 2023, sebagian besar akibat penyertaan modal Rp 6,1 triliun untuk proyek ini, ditambah sengketa Rp 5,5 triliun yang belum terselesaikan.
“Kami terbebani oleh bunga obligasi yang diterbitkan untuk proyek ini,” ungkap Agung Budi Waskito, Direktur Utama WIKA, dalam rapat dengan Komisi VI DPR pada 8 Juli 2024.
Antara Harapan dan Kritik
Di ranah publik, Whoosh memicu perbincangan sengit. Media sosial menjadi panggung perdebatan. Sebagian masyarakat memuji Whoosh sebagai simbol kemajuan, menyoroti efisiensi waktu dan kenyamanan.
“Jakarta-Bandung 45 menit, bebas macet. Ini masa depan transportasi kita,” tulis seorang pengguna X.
Namun, suara kritis tak kalah lantang. “Kerugian Rp 1,62 triliun di 2025? Siapa yang harus bertanggung jawab atas ini?” tanya akun @taharudddin pada 15 Agustus 2025, mencerminkan keresahan akan akuntabilitas proyek.
Herry Gunawan, pengamat BUMN dari Datanesia Institute, menilai kerugian ini sebagai akibat tata kelola proyek yang buruk. “Pembengkakan biaya ini buntut dari manajemen risiko yang tak memadai. Audit menyeluruh diperlukan, terutama soal pembebasan lahan dan pengadaan barang,” katanya.
Ia juga memperingatkan bahwa proyek ini bisa menjadi “beban jangka panjang” bagi keuangan negara, terutama karena ketergantungan pada utang China.
Sebaliknya, Menteri BUMN Erick Thohir menekankan sisi positifnya. “Whoosh bukan hanya soal transportasi, tapi juga lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi lokal, dan transfer teknologi,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa kereta ini mendukung konektivitas dan multiplier effect, seperti pengembangan bisnis di sekitar stasiun.
Danantara: Penyelamat atau Sekadar Penunda?
Sebagai superholding yang mengelola aset BUMN senilai US$600 miliar, Danantara kini menjadi tumpuan untuk menangani krisis ini.
Rosan Roeslani, CEO Danantara, menegaskan bahwa pihaknya tengah mengevaluasi langkah restrukturisasi utang secara menyeluruh. “Kami ingin solusi yang tuntas, bukan sekadar menunda masalah,” katanya di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada 5 Agustus 2025.
Rencana Danantara mencakup konsolidasi operasional BUMN serupa, optimalisasi dividen, dan negosiasi ulang utang dengan CDB.
Namun, tantangannya besar. Dengan perkiraan utang pokok dan bunga Rp 226,9 miliar per bulan, serta proyeksi balik modal yang membutuhkan 38-40 tahun, skeptisisme muncul.
“Proyek ini seperti jebakan utang,” kata Bhima Yudhistira, ekonom dari CELIOS, merujuk pada bunga pinjaman China yang jauh lebih tinggi dibandingkan tawaran Jepang (0,1%) pada 2015.
Menimbang Masa Depan
Whoosh tetap menjadi kebanggaan nasional, dengan kecepatan dan kenyamanan yang tak tertandingi.
Namun, kerugian triliunan yang ditanggung BUMN menimbulkan pertanyaan: apakah ambisi ini sepadan?
Bagi penumpang seperti Andi Maulana, yang sering menggunakan Whoosh untuk perjalanan dinas, kereta ini adalah solusi praktis.
“Stasiun Halim selalu sepi, tiket mudah didapat,” ujarnya pada 26 Juli 2024. Namun, di balik kenyamanan itu, beban finansial terus membayangi.
Danantara kini berada di persimpangan. Langkah restrukturisasi yang dijanjikan harus mampu menyeimbangkan kepentingan ekonomi jangka panjang dengan tekanan keuangan jangka pendek.
Sementara itu, publik menanti transparansi dan akuntabilitas, agar Whoosh tak hanya menjadi simbol kemajuan, tetapi juga bukti bahwa megaproyek dapat dikelola dengan baik.