Menemukan Jalan Keluar dari Krisis Fiskal Dampak Penerimaan Pajak yang Lesu

- Penulis

Rabu, 20 Agustus 2025 - 12:30 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

djourno.id—Di tengah gejolak ekonomi 2025, penerimaan pajak Indonesia ibarat kapal yang oleng. Target ambisius Rp2.189,3 triliun, setara 9% Produk Domestik Bruto (PDB), terancam tak tercapai.

Realisasi pajak 2024 yang hanya mencapai 97,2% dari target menjadi cermin buram: daya beli masyarakat melemah, administrasi perpajakan tersendat, dan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax) masih jauh dari harapan.

“Potensi penurunan daya beli tetap jadi ancaman nyata,” ujar Rijadh Djatu Winardi, ekonom Universitas Gadjah Mada, menyoroti dampak lesunya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh).

Pemerintah pusat merespons dengan langkah tegas: efisiensi anggaran. Melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025, belanja negara dipangkas Rp306,69 triliun, termasuk Rp50,59 triliun dari Transfer ke Daerah (TKD).

Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang menjadi tumpuan daerah untuk infrastruktur dan pelayanan publik ikut tergerus. Akibatnya, pemerintah daerah kalang kabut.

Untuk menambal lubang Pendapatan Asli Daerah (PAD), banyak daerah menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) secara drastis.

Di Pati, kenaikan PBB hingga 250% memicu protes warga yang menuntut bupati mundur. Cirebon, Bone, Jombang, hingga Semarang tak luput dari gelombang kemarahan serupa, dengan kenaikan PBB mencapai 100–1.202%.

“Daerah kekurangan dana. Pemangkasan DAU dan DAK memaksa mereka mencari jalan keluar cepat,” kata Media Wahyudi Askar, Direktur Kebijakan Publik Celios.

Kenaikan PBB menjadi solusi instan karena sistem penagihannya sudah mapan—dari mobile banking hingga loket keliling. Namun, kebijakan ini seperti menabur garam di luka ekonomi masyarakat yang sudah terpuruk.

 

Efisiensi yang Mengguncang Ekonomi

Efisiensi anggaran, meski dimaksudkan untuk menyelamatkan keuangan negara, justru berisiko memperparah situasi.

Wahyu Nuryanto, Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute, memperingatkan bahwa pemangkasan seperti penghentian tenaga honorer dan pengurangan belanja pegawai bisa melemahkan daya beli.

“Ini berdampak pada PPN,” ujarnya. Belum lagi pemotongan anggaran perjalanan dinas, rapat, dan seminar, yang kini mengguncang sektor perhotelan, restoran, dan jasa—penyumbang utama PPh Badan. “Pemerintah perlu menghitung ulang proyeksi penerimaan pajak pasca-pemangkasan ini,” tambah Wahyu.

Di daerah, pemotongan TKD seperti mematikan mesin penggerak ekonomi. “Tanpa proyek, uang tak mengalir di tingkat bawah,” ungkap Media Wahyudi.

Pembangunan terhambat, proyek infrastruktur terhenti, dan perputaran ekonomi lokal tersendat. Situasi ini diperparah oleh stagnasi rasio pajak nasional selama satu dekade, yang sebagian besar disebabkan oleh rendahnya penarikan pajak dari kelompok super kaya.

 

Solusi di Tengah Badai

Di tengah krisis, para ahli menawarkan jalan keluar yang tak hanya menambal defisit, tetapi juga membangun sistem perpajakan yang lebih adil dan berkelanjutan.

Berikut beberapa solusi yang mengemuka:

  1. Menyasar Kekayaan Elit

Rijadh Djatu Winardi mengusulkan pajak kekayaan dengan tarif di bawah 3,5%, mengikuti praktik di beberapa negara. Ia juga mendorong windfall tax atas keuntungan tak terduga perusahaan, seperti yang diterapkan Inggris pada 2022 dengan tarif 25% untuk sektor energi.

Baca Juga:  Efisiensi Tanpa Nafas: Ketika Sri Mulyani Merampingkan Negara di Era Prabowo

“Ini cara menambah penerimaan tanpa membebani masyarakat menengah ke bawah,” katanya. Di platform X, wacana pajak kekayaan untuk aset di atas Rp100 miliar juga ramai disuarakan sebagai upaya meratakan distribusi kekayaan.

  1. Kreativitas Ekonomi Daerah

Ekonom INDEF, Eko Listiyanto, menyoroti risiko pemangkasan TKD bagi daerah dengan kapasitas fiskal rendah. Ia mengusulkan pemerintah pusat mendorong kreativitas ekonomi lokal untuk meningkatkan PAD tanpa menaikkan pajak.

“Bupati kreatif bisa jadi mentor, atau kementerian memberikan pelatihan strategi ekonomi,” ujarnya. Daerah bisa memanfaatkan potensi wisata, industri berbasis sumber daya lokal, atau infrastruktur untuk menggerakkan roda ekonomi, seperti pengembangan desa wisata di Yogyakarta yang sukses meningkatkan pendapatan lokal.

  1. Reformasi Administrasi Perpajakan

Sistem Coretax yang kerap bermasalah menjadi penghambat kepatuhan pajak. Rijadh menyarankan perbaikan infrastruktur server dengan mencontoh MyTax Portal Singapura, yang stabil dan user-friendly.

“Coretax harus lebih andal untuk menangani volume data besar,” tegasnya. Reformasi ini juga mencakup penyederhanaan pelaporan dan pembayaran pajak, seperti praktik di Swedia, untuk mendorong kepatuhan sukarela wajib pajak.

  1. Pajak Ekspor untuk Hilirisasi

Untuk jangka panjang, pengenaan pajak ekspor pada komoditas seperti batu bara dapat mendorong hilirisasi industri.

“Ini mendukung green economy dan meningkatkan nilai tambah,” ujar seorang ahli dari Universitas Muhammadiyah Jakarta. Pendekatan ini sejalan dengan pengembangan industri hilir berbasis nikel dan sawit, yang terbukti meningkatkan ekspor dan penerimaan pajak.

  1. Pajak Penghasilan

Chatib Basri, mantan Menteri Keuangan, menegaskan bahwa PPh harus menjadi tulang punggung perpajakan karena mencerminkan keadilan: “Yang mampu bayar pajak, yang lebih mampu bayar lebih besar.” Penerapan Tarif Efektif Rata-Rata (TER) untuk PPh 21, menurut Rijadh, juga mempermudah perhitungan pajak karyawan dan meningkatkan kepatuhan.

 

Kepercayaan Publik sebagai Kunci

Di balik semua solusi teknis, ada satu elemen krusial: kepercayaan publik. Protes atas kenaikan PBB mencerminkan ketidakpuasan masyarakat terhadap pengelolaan pajak.

“Kalau rakyat tak percaya, kepatuhan pajak akan turun,” ujar Rijadh. Di media sosial, warga menuntut pajak digunakan untuk manfaat nyata: pengobatan gratis, pendidikan gratis, atau dukungan UMKM. Transparansi dalam penggunaan dana pajak, seperti laporan terbuka tentang alokasi anggaran, menjadi langkah penting untuk membangun kepercayaan.

 

Menata Ulang Masa Depan Fiskal

Krisis penerimaan pajak dan pemangkasan anggaran bukan akhir cerita, melainkan peluang untuk menata ulang sistem perpajakan.

Dengan menyasar kekayaan elit, mendorong kreativitas daerah, mereformasi administrasi, dan memanfaatkan pajak ekspor, Indonesia bisa keluar dari badai fiskal tanpa membebani rakyat.

Namun, semua itu bergantung pada satu hal: memastikan pajak benar-benar “dari rakyat, untuk rakyat.”

Seperti yang diungkapkan seorang warganet di X, “Pajak bukan soal besaran, tapi soal keadilan dan manfaat yang dirasakan.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Follow WhatsApp Channel djourno.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Potret Kemarahan Publik di Media Sosial ke DPR yang Memicu Gelombang Demonstrasi
Presiden Prabowo Respons Tragedi Affan Kurniawan dengan Keprihatinan dan Janji Keadilan
Malu Noel Ditangkap KPK: Komitmen Prabowo Berantas Korupsi Diapresiasi Publik
Mengurai Kegaduhan DPR: Antara Kekecewaan Publik dan Miskomunikasi
Paradoks Kebijakan Perberasan: Antara Petani, Penggilingan, dan Konsumen
Pembentukan Kementerian Haji dan Umrah: Langkah Berani Atasi Sengkarut Tata Kelola
Mampukah Dasco Kembali Meredam Kemarahan Publik ke DPR?
Harapan di Balik Seruan Bubarkan DPR

Berita Terkait

Jumat, 29 Agustus 2025 - 13:59 WIB

Potret Kemarahan Publik di Media Sosial ke DPR yang Memicu Gelombang Demonstrasi

Jumat, 29 Agustus 2025 - 13:42 WIB

Presiden Prabowo Respons Tragedi Affan Kurniawan dengan Keprihatinan dan Janji Keadilan

Kamis, 28 Agustus 2025 - 15:12 WIB

Malu Noel Ditangkap KPK: Komitmen Prabowo Berantas Korupsi Diapresiasi Publik

Kamis, 28 Agustus 2025 - 09:27 WIB

Mengurai Kegaduhan DPR: Antara Kekecewaan Publik dan Miskomunikasi

Rabu, 27 Agustus 2025 - 12:25 WIB

Pembentukan Kementerian Haji dan Umrah: Langkah Berani Atasi Sengkarut Tata Kelola

Berita Terbaru

Kolom

Warisan Pemikiran Ekonomi Syafruddin Prawiranegara

Jumat, 29 Agu 2025 - 13:28 WIB