Tabir di Balik Mundurnya Dirut Agrinas: Birokrasi Danantara dan Bayang-Bayang Tata Kelola BUMN

- Penulis

Rabu, 13 Agustus 2025 - 05:50 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

djourno.id– Di sebuah ruang konferensi pers di Jakarta, suasana hening menyelimuti ketika Joao Angelo De Sousa Mota, Direktur Utama PT Agrinas Pangan Nusantara, berdiri di hadapan awak media.

Dengan nada penuh penyesalan, ia mengumumkan pengunduran dirinya setelah hanya enam bulan menjabat.

“Saya malu memimpin selama enam bulan, namun tak bisa berkontribusi,” ujarnya, sembari menundukkan kepala, meminta maaf kepada Presiden Prabowo Subianto, petani, dan rakyat Indonesia.

Langkah Joao ini bukan sekadar pengunduran diri biasa. Ia membuka tabir persoalan yang lebih dalam: birokrasi berbelit di Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) dan tantangan tata kelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di era transformasi baru.

Di balik sorotan publik, kisah ini mencerminkan ketegangan antara visi besar pemerintah untuk kedaulatan pangan dan realitas operasional yang penuh hambatan.

 

Joao: Profesional Swasta di Tengah Labirin Birokrasi

Joao bukanlah nama asing di dunia bisnis. Dengan pengalaman luas di sektor konstruksi, pertanian, peternakan, dan industri kreatif, ia dipercaya memimpin Agrinas, BUMN yang baru lahir pada 14 Mei 2025 dari transformasi PT Yodya Karya (Persero).

Agrinas, yang mengelola 425 ribu hektare lahan food estate, diharapkan menjadi ujung tombak program ketahanan pangan nasional.

Namun, enam bulan kemudian, Joao memilih mundur, meninggalkan jabatan yang seharusnya menjadi panggungnya untuk berkontribusi bagi bangsa.

Alasan pengunduran dirinya terangkum dalam dua kata: birokrasi dan anggaran. Dalam konferensi pers pada 11 Agustus 2025, Joao menyinggung proses administrasi Danantara yang “panjang dan bertele-tele.”

Ia mengungkapkan bahwa Agrinas telah tiga kali mengajukan studi kelayakan (feasibility study) untuk proyek strategis, namun tak kunjung disetujui karena alasan administratif yang rumit.

Lebih mencengangkan, selama enam bulan beroperasi, Agrinas tidak menerima anggaran operasional sama sekali—nol rupiah.

“Saya terbiasa bekerja cepat dan singkat di sektor swasta. Tapi di sini, birokrasi justru bertentangan dengan mandat Presiden untuk mempercepat proses bisnis,” katanya dengan nada kecewa.

Joao menegaskan bahwa visi Presiden Prabowo untuk swasembada pangan tidak diimbangi dukungan penuh dari stakeholder, termasuk “pembantu-pembantu presiden” di Danantara.

 

Danantara: Superholding yang Kontroversial

Danantara, yang resmi diluncurkan pada 24 Februari 2025, digadang-gadang sebagai terobosan untuk mengelola aset dan investasi BUMN secara terintegrasi.

Dengan mengelola triliunan rupiah aset negara, lembaga ini diharapkan menjadi mesin penggerak efisiensi dan inovasi.

Namun, sejak awal, Danantara menuai kritik. Beberapa pihak menyebutnya sebagai “lahan bancakan” karena kurangnya transparansi dan klausul yang melindungi pimpinannya dari audit negara.

Kritik Joao terhadap Danantara bukanlah yang pertama. Pada Februari 2025, sejumlah analis menyoroti potensi tumpang tindih fungsi antara Danantara dan Kementerian BUMN.

Baca Juga:  Antara Infrastruktur dan Kesejahteraan: Strategi Kebijakan AHY Wujudkan Asta Cita

Rosan Roeslani, CEO Danantara, merespons pengunduran diri Joao dengan nada diplomatis.

Ia menghormati keputusan Joao sebagai “langkah profesional” dan menegaskan bahwa Danantara menerapkan prinsip Good Corporate Governance (GCG) secara ketat.

Namun, pernyataan ini tidak meredam kritik publik. Pengguna X @BloombergTZ menulis, “Kerja Danantara ala Dirut Agrinas: bertele-tele, rumit, tak fokus.”

 

Tata Kelola BUMN: Antara Harapan dan Realitas

Pengunduran diri Joao menyoroti masalah klasik dalam tata kelola BUMN: birokrasi yang kaku, alokasi anggaran yang tidak jelas, dan intervensi politik.

Agrinas, yang seharusnya menjadi pilar ketahanan pangan, terjebak dalam labirin prosedur yang menghambat eksekusi.

Joao mengungkapkan bahwa anggaran Rp3 triliun sempat dijanjikan, namun tidak terealisasi karena menunggu rancangan desain dan engineering (DED) yang tak kunjung selesai.

Kondisi ini mengingatkan pada kegagalan proyek food estate sebelumnya, seperti di Gunung Mas, yang terhambat korupsi dan buruknya koordinasi.

Fahri Hamzah, Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), menyinggung bahwa isu Danantara mencerminkan “ketidaksabaran” jajaran pengurus BUMN menghadapi sistem baru yang belum matang.

Ia juga menyinggung soal tantiem komisaris yang kontroversial, menambah daftar kekhawatiran akan tata kelola yang buram.

Transformasi BUMN Karya menjadi Agrinas—yang mencakup Agrinas Pangan Nusantara, Agrinas Jaladri Nusantara, dan Agrinas Palma Nusantara—awalnya diharapkan membawa angin segar.

Namun, pengangkatan direksi yang diduga terkait kedekatan politik, seperti eks tim sukses Prabowo, memicu skeptisisme.

Publik khawatir Danantara hanya akan mengulang pola lama: BUMN sebagai alat politik, bukan mesin ekonomi.

 

Dampak dan Jalan ke Depan

Pengunduran diri Joao bukan hanya kehilangan seorang profesional, tetapi juga sinyal bahaya bagi ambisi kedaulatan pangan Indonesia.

Di tengah ancaman krisis pangan global akibat perubahan iklim, hambatan birokrasi dan nol anggaran untuk Agrinas bisa memperlambat program strategis.

Publik menyerukan evaluasi terhadap Danantara, agar fokusnya benar-benar pada efisiensi, bukan malah menambah lapisan birokrasi.

Di sisi lain, langkah Joao meminta maaf secara terbuka dan mundur dengan penuh tanggung jawab dipuji sebagai tindakan profesional yang langka.

“Ini contoh langka seorang Dirut BUMN yang berani mengakui kegagalan sistem dan memilih mundur,” tulis seorang pengguna X.

Namun, kepergiannya meninggalkan pertanyaan: akankah Danantara belajar dari kasus ini, atau justru menjadi bayangan kegagalan BUMN masa lalu seperti Jiwasraya dan Asabri?

Saat Joao meninggalkan ruang konferensi pers itu, ia meninggalkan pesan yang menggema: “Dana itu adalah uang rakyat, harus dikelola secara akuntabel dan transparan.”

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Follow WhatsApp Channel djourno.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Potret Kemarahan Publik di Media Sosial ke DPR yang Memicu Gelombang Demonstrasi
Presiden Prabowo Respons Tragedi Affan Kurniawan dengan Keprihatinan dan Janji Keadilan
Malu Noel Ditangkap KPK: Komitmen Prabowo Berantas Korupsi Diapresiasi Publik
Mengurai Kegaduhan DPR: Antara Kekecewaan Publik dan Miskomunikasi
Paradoks Kebijakan Perberasan: Antara Petani, Penggilingan, dan Konsumen
Pembentukan Kementerian Haji dan Umrah: Langkah Berani Atasi Sengkarut Tata Kelola
Mampukah Dasco Kembali Meredam Kemarahan Publik ke DPR?
Harapan di Balik Seruan Bubarkan DPR

Berita Terkait

Jumat, 29 Agustus 2025 - 13:59 WIB

Potret Kemarahan Publik di Media Sosial ke DPR yang Memicu Gelombang Demonstrasi

Jumat, 29 Agustus 2025 - 13:42 WIB

Presiden Prabowo Respons Tragedi Affan Kurniawan dengan Keprihatinan dan Janji Keadilan

Kamis, 28 Agustus 2025 - 15:12 WIB

Malu Noel Ditangkap KPK: Komitmen Prabowo Berantas Korupsi Diapresiasi Publik

Kamis, 28 Agustus 2025 - 09:27 WIB

Mengurai Kegaduhan DPR: Antara Kekecewaan Publik dan Miskomunikasi

Rabu, 27 Agustus 2025 - 12:25 WIB

Pembentukan Kementerian Haji dan Umrah: Langkah Berani Atasi Sengkarut Tata Kelola

Berita Terbaru

Kolom

Warisan Pemikiran Ekonomi Syafruddin Prawiranegara

Jumat, 29 Agu 2025 - 13:28 WIB