djourno.id—Di tengah terik musim kemarau, sebuah petir menyambar langit Jakarta pada 11 Agustus 2025.
Bukan petir biasa, melainkan keputusan mengejutkan dari Joao Angelo De Sousa Mota, Direktur Utama PT Agrinas Pangan Nusantara, yang meletakkan jabatannya setelah hanya enam bulan menjabat.
Dengan suara tegas namun penuh penyesalan, ia mengumumkan pengunduran dirinya, menyoroti birokrasi berbelit Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) sebagai penghambat visi besar kedaulatan pangan.
Kisah Joao bukan sekadar tentang mundur dari jabatan, tetapi tentang seorang visioner yang berjuang melawan sistem demi petani dan bangsa.
Darah Timor, Jiwa Petani
Joao lahir di Dili, Timor Timur, dengan darah campuran yang kaya: 50% Portugis, 25% Angola, dan 25% Timor dari ayahnya, serta 50% Portugis dan 50% Timor dari ibunya.
Nama “Joao,” yang berarti “Yang diberkati Tuhan Yesus” dalam bahasa Portugis, seolah mencerminkan semangatnya yang penuh iman.
Dibesarkan dengan nilai-nilai Katolik, Joao diajarkan orang tuanya untuk melayani sesama sebagai wujud kasih. Prinsip ini menjadi kompas hidupnya, dari ladang-ladang kering di Nusa Tenggara Timur (NTT) hingga ruang rapat korporasi.
Pendidikannya penuh warna, meski tak konvensional. Joao menamatkan SMA di Ignatius Slamet Riyadi, Jakarta, pada 1990. Ia sempat kuliah di Universitas Nasional (Unas) Jakarta, lalu melanjutkan ke Norwich, Amerika Serikat, dan Universitas Nasional Otonom Meksiko (UNAM).
“Tidak ada yang saya selesaikan,” akunya jujur, dengan tawa ringan.
Namun, kurangnya gelar formal tak menghalangi Joao membangun karier gemilang di sektor konstruksi, pertanian, peternakan, dan industri kreatif. Ia adalah bukti bahwa keberhasilan tak selalu diukur dari ijazah, melainkan dari visi dan kerja keras.
Tani Merdeka: Revolusi dari Timor Tengah Utara
Sebelum memimpin Agrinas, Joao dikenal sebagai pelopor gerakan pertanian organik di Timor Tengah Utara (TTU), salah satu kabupaten termiskin di NTT.
Melalui “Tani Merdeka” di bawah bendera Timor Farm, ia mengajak petani membebaskan diri dari jerat pupuk dan pestisida kimia. “Petani harus merdeka,” tegas Joao.
Ia menciptakan solusi sederhana namun inovatif: pupuk mikoriza dari kentang rebus yang difermentasi dengan cacahan batang dan buah, serta pestisida alami dari buah maja, air, dan minyak goreng.
Cairan ini disemprotkan ke lahan, menggantikan ketergantungan pada bahan kimia yang mahal dan sulit didapat.
Di TTU, Joao memimpin pasukan penyuluh bersepeda motor trail, lengkap dengan seragam bertanda logo Gerindra. Mereka berkeliling desa, mengajarkan petani menanam padi, timun, kacang panjang, hingga bawang merah.
Gerakan ini bukan sekadar pertanian, tetapi revolusi kecil untuk memberdayakan petani di tengah keterbatasan. Hubungan Joao dengan Presiden Prabowo Subianto, yang dimulai sejak 1976 melalui kedekatan keluarganya di Dili, menjadi salah satu pendorong semangatnya. Ia melihat pertanian sebagai panggilan jiwa, bukan sekadar profesi.
Agrinas: Harapan yang Terbentur Birokrasi
Ketika diangkat sebagai Direktur Utama PT Yodya Karya pada 10 Februari 2025, Joao membawa semangat yang sama.
Perusahaan itu kemudian bertransformasi menjadi PT Agrinas Pangan Nusantara pada 14 Mei 2025, dengan misi besar: mengelola 425 ribu hektare lahan food estate untuk mendukung swasembada pangan.
Joao punya rencana ambisius, seperti menggarap 11 ribu hektare lahan di Baturaja, Sumatera Selatan, untuk menghasilkan 55 ribu ton gabah. Ia menjalin kerja sama dengan TNI, perusahaan Jerman untuk mesin pertanian, dan Universitas Gadjah Mada untuk bibit unggul.
Namun, visi besar itu terhenti di tembok birokrasi Danantara, superholding yang mengelola semua BUMN.
Selama enam bulan, Joao menghadapi kenyataan pahit: Agrinas tak mendapat anggaran operasional sama sekali.
Proposal senilai Rp3 triliun yang dijanjikan tak kunjung cair, terhambat oleh rancangan desain dan engineering (DED) yang tak selesai.
Tiga kali ia mengajukan studi kelayakan, tiga kali pula ditolak dengan alasan administratif yang berbelit. “Danantara seharusnya mempercepat bisnis, bukan membangun birokrasi baru,” keluhnya dalam konferensi pers.
Bagi Joao, yang terbiasa dengan dinamika sektor swasta, sistem ini terasa seperti belenggu. Ia merasa malu, bukan karena kegagalan pribadi, tetapi karena belum bisa mewujudkan mandat Presiden Prabowo untuk kedaulatan pangan.
Dengan penuh integritas, ia memilih mundur, sembari meminta maaf kepada petani dan bangsa. “Saya tidak bisa bekerja dalam sistem yang menghambat,” tegasnya, seraya menundukkan kepala dalam konferensi pers yang menyentuh hati.
Petir yang Mengguncang
Pengunduran diri Joao bukan sekadar akhir dari sebuah jabatan, melainkan guncangan bagi tata kelola BUMN.
Ia menjadi simbol profesionalisme yang menolak kompromi dengan birokrasi lamban. Di media sosial, publik memuji keberaniannya, dengan beberapa menyebutnya “langkah langka” di tengah budaya BUMN yang kerap terjebak politik.
Namun, keputusannya juga memunculkan pertanyaan: akankah Danantara belajar dari petir ini, atau justru mengabaikannya?
Kini, Joao kembali ke akarnya: pertanian.
Ia berencana melanjutkan misi di NTT, mengelola lahan kering dengan semangat Tani Merdeka.
“Saya akan terus bergerak, untuk petani, untuk bangsa,” katanya dengan mata berbinar.









