Gelombang Demonstrasi Pati: Ketika Kebijakan Mengabaikan Nasib Rakyat

- Penulis

Rabu, 13 Agustus 2025 - 10:22 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Warga mengerumuni beragam jenis bantuan sebagai bentuk aksi solidaritas menjelang demonstrasi penolakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen di depan Kantor Bupati Pati, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Selasa (12/8/2025). Mereka akan mengadakan unjuk rasa bersar-besaran pascapernyataan Bupati Pati Sudewo yang dianggap arogan dan menantang rakyat. 

Kompas/Raditya Mahendra Yasa
12-08-2025
 *** Local Caption ***

i

Warga mengerumuni beragam jenis bantuan sebagai bentuk aksi solidaritas menjelang demonstrasi penolakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen di depan Kantor Bupati Pati, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Selasa (12/8/2025). Mereka akan mengadakan unjuk rasa bersar-besaran pascapernyataan Bupati Pati Sudewo yang dianggap arogan dan menantang rakyat. Kompas/Raditya Mahendra Yasa 12-08-2025 *** Local Caption ***

djourno.id—Di jantung Kota Pati, Jawa Tengah, pagi ini, Rabu, 13 Agustus 2025, Alun-Alun Pati berubah menjadi lautan manusia. Ribuan warga, dengan perkiraan mencapai 50.000 hingga 100.000 jiwa, berkumpul dalam demonstrasi besar-besaran yang mengguncang Kabupaten Pati.

Mereka datang dengan satu suara: menuntut keadilan, transparansi, dan pengunduran diri Bupati Sudewo.

Di tengah kerumunan, keranda simbolis bertuliskan nama bupati diarak, menjadi lambang kemarahan rakyat yang sudah memuncak.

Donasi makanan, minuman, hingga tenda mengalir deras, menandakan solidaritas yang kuat. Namun, di balik semangat massa, ketegangan mengintai, dengan ribuan aparat keamanan bersiaga dan CCTV di bank serta toko sekitar diaktifkan untuk mengantisipasi hal tak diinginkan.

 

Akar Kemarahan: Pajak yang Membebani

Krisis ini berawal dari rencana kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) hingga 250% untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Di tengah pemulihan ekonomi pasca-pandemi, kebijakan ini bagai menabur garam di luka warga.

Bupati Sudewo, yang berlatar belakang Partai Gerindra, menantang rakyat untuk mendatangkan 50.000 demonstran jika ingin kebijakan itu dibatalkan.

Tantangan itu ternyata menjadi bumerang. Warga tidak hanya memenuhi target, tetapi melampauinya dengan jumlah yang mengejutkan.

Meski kebijakan pajak akhirnya dibatalkan kemarin, kepercayaan publik sudah terlanjur retak.

“Ini bukan lagi soal pajak, tapi soal kepemimpinan yang tak mendengar,” ujar seorang koordinator aksi dari Aliansi Masyarakat Pati Bersatu.

 

Tuntutan yang Membesar

Aksi yang awalnya dipicu oleh pajak kini berkembang menjadi sorotan tajam terhadap pemerintahan Sudewo.

Tuntutan utama kini adalah pengunduran diri bupati, yang dianggap arogan dan kerap membuat kebijakan kontroversial, mulai dari dugaan pungutan liar hingga penyalahgunaan dana desa.

Massa juga menyerukan audit menyeluruh terhadap APBD, terutama belanja pegawai yang mencapai 47% dari anggaran, jauh lebih tinggi dibandingkan PAD yang hanya 14%.

“Kami ingin keadilan ekonomi dan pemerintahan yang transparan,” tegas seorang demonstran, yang juga sopir bajaj dari Jakarta yang rela datang untuk mendukung aksi.

Organisasi seperti PMII Pati dan IKA PMII menjadi penggerak awal, tetapi gelombang protes ini kini merangkul lintas kelompok masyarakat.

Dari petani, buruh, hingga pedagang, semua bersatu. Bahkan, donasi logistik terus berdatangan, menunjukkan betapa kuatnya dukungan rakyat.

Baca Juga:  Kemarahan terhadap Bupati Pati: Dari Kebijakan Kontroversial hingga Tuntutan Mundur

 

Antara Harapan dan Risiko

Demonstrasi ini, meski direncanakan damai, tidak lepas dari risiko eskalasi. Dengan jumlah massa yang begitu besar, potensi bentrokan bisa muncul jika aparat bertindak represif atau ada provokasi.

Koordinator aksi menegaskan komitmen menjaga aksi tetap non-kekerasan, tetapi mereka juga berjanji bertahan hingga tuntutan dipenuhi, bahkan hingga Hari Kemerdekaan 17 Agustus, yang mereka sebut sebagai simbol “kemerdekaan sejati” rakyat Pati.

Jika berhasil, aksi ini bisa menjadi preseden bagi daerah lain untuk menentang kebijakan yang membebani rakyat.

Intervensi dari Gubernur Jawa Tengah atau bahkan pemerintah pusat mungkin terjadi, dengan potensi pemakzulan jika terbukti ada pelanggaran hukum oleh bupati. Namun, ada pula risiko polarisasi masyarakat.

Sebagian warga mulai ragu melanjutkan protes setelah pajak dibatalkan, sementara dugaan adanya kelompok yang memanfaatkan situasi untuk agenda politik menambah kompleksitas. Biaya pengamanan yang mencapai miliaran rupiah juga menjadi beban baru bagi APBD.

 

Pandangan Ahli: Krisis Kepercayaan

Prof. Dr. Hanif Nurcholis, Guru Besar Universitas Terbuka, menilai kebijakan kenaikan PBB secara teknis bisa dibenarkan untuk menambah PAD, tetapi fatal karena mengabaikan kondisi sosial-ekonomi warga.

“Belanja pegawai yang mencapai 47% APBD menunjukkan inefisiensi. Kenaikan pajak tanpa sosialisasi hanya memicu distrust,” ujarnya. Ia menyarankan dialog publik sejak awal untuk mencegah krisis seperti ini.

Analis lain melihat pola klasik: kebijakan teknokratis yang tidak melibatkan rakyat sering berujung pada protes besar.

Track record Sudewo, yang dianggap arogan dan didukung elit politik tertentu, memperburuk situasi.

“Jika tidak ditangani dengan bijak, ini bisa jadi ‘revolusi lokal’ yang menginspirasi daerah lain, tapi juga berisiko memicu tindakan represif,” tulis seorang analis di Pikiran Rakyat.

Saat matahari meninggi di Pati, massa tetap bertahan. Di tengah spanduk, teriakan, dan solidaritas, pertanyaan besar menggantung: akankah aksi ini mengubah wajah kepemimpinan di Pati, atau justru terjebak dalam kebuntuan?

Yang jelas, gelombang rakyat ini telah menorehkan catatan penting: suara rakyat, ketika bersatu, mampu mengguncang singgasana kekuasaan.

Di Pati, hari ini, rakyat sedang menulis sejarahnya sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Follow WhatsApp Channel djourno.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Kemacetan TB Simatupang: Noda di Tengah Upaya Pramono Anung Atasi Macet Jakarta
Pramono Pangkas Trotoar TB Simatupang: Solusi Kemacetan atau Pengorbanan Pejalan Kaki?
Pajak Daerah dan Stabilitas Sosial: Antara Ambisi Fiskal dan Gelombang Protes
Warga Jateng Puas Kinerja Ahmad Luthfi di Kesehatan, Tersandung di Lapangan Kerja
Tertekan Dampak Transfer Pusat Dipangkas: Pemerintah Daerah Naikkan Pajak, Picu Protes Besar
Survei Litbang Kompas: Warga Jawa Barat Menanti Solusi Ekonomi dari Dedi Mulyadi
Survei Litbang Kompas: Warga Jawa Barat Kecewa Kinerja Dedi Mulyadi Atasi Lapangan Kerja   
Gelombang Kenaikan Pajak Daerah dan Riak Perlawanan Rakyat

Berita Terkait

Rabu, 27 Agustus 2025 - 12:14 WIB

Kemacetan TB Simatupang: Noda di Tengah Upaya Pramono Anung Atasi Macet Jakarta

Minggu, 24 Agustus 2025 - 12:45 WIB

Pramono Pangkas Trotoar TB Simatupang: Solusi Kemacetan atau Pengorbanan Pejalan Kaki?

Jumat, 22 Agustus 2025 - 18:25 WIB

Pajak Daerah dan Stabilitas Sosial: Antara Ambisi Fiskal dan Gelombang Protes

Rabu, 20 Agustus 2025 - 10:10 WIB

Warga Jateng Puas Kinerja Ahmad Luthfi di Kesehatan, Tersandung di Lapangan Kerja

Selasa, 19 Agustus 2025 - 15:22 WIB

Tertekan Dampak Transfer Pusat Dipangkas: Pemerintah Daerah Naikkan Pajak, Picu Protes Besar

Berita Terbaru

Kolom

Warisan Pemikiran Ekonomi Syafruddin Prawiranegara

Jumat, 29 Agu 2025 - 13:28 WIB