djourno.id—Di tengah hiruk-pikuk politik lokal Indonesia, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, menjadi sorotan nasional pada Agustus 2025.
Bupati Pati, H. Sudewo, ST, MT, yang baru menjabat sekitar lima bulan sejak dilantik pada 20 Februari 2025, mendadak menjadi target kemarahan publik.
Kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen memicu gelombang protes, diikuti sikap arogan yang menantang warga untuk berdemo.
Warga Pati, yang merasa terbebani di tengah kesulitan ekonomi pasca-pandemi, tak tinggal diam. Mereka mendirikan posko donasi, menggelar aksi, dan bahkan menuntut Sudewo mundur.
Kisah ini bukan hanya tentang pajak, tapi juga tentang arogansi kekuasaan yang bertabrakan dengan aspirasi rakyat.
Profil Politik Sudewo
Sudewo, lahir di Pati pada 11 Oktober 1968, adalah sosok putra daerah yang telah malang-melintang di dunia politik Jawa Tengah.
Latar belakang pendidikannya kuat di bidang teknik: lulus S1 Teknik Sipil dari Universitas Diponegoro dan S2 Teknik Pembangunan dari Universitas Gadjah Mada.
Sebelum terjun ke politik, Sudewo aktif berorganisasi, termasuk di berbagai kelompok pemuda dan profesional. Ia dikenal dekat dengan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, yang kini menjabat Presiden RI.
Sebagai kader Gerindra, Sudewo memiliki profil politik yang progresif di mata partainya. Ia pernah menjabat sebagai anggota DPR RI selama dua periode: 2009-2013 dan 2019-2024.
Pada Pemilu 2024, ia kembali terpilih sebagai anggota DPR, tapi memilih mundur untuk maju sebagai calon bupati Pati.
Kemenangannya di Pilkada Pati 2024, berpasangan dengan Wakil Bupati Risma Ardhi Chandra, menandai puncak karirnya di tingkat lokal. Domisilinya di Desa Slungkep, Kecamatan Kayen, Pati, membuatnya dianggap sebagai representasi asli warga setempat.
Dari DPR ke Kursi Bupati
Perjalanan karir Sudewo dimulai dari akar rumput. Lahir dan besar di Pati, ia memulai kiprah politiknya sebagai teknokrat yang fokus pada pembangunan infrastruktur.
Pada periode pertama di DPR (2009-2013), ia aktif di Komisi V yang menangani infrastruktur dan transportasi. Setelah sempat hiatus, ia kembali ke DPR pada 2019-2024, di mana ia dikenal sebagai pendukung setia agenda Gerindra, termasuk isu pembangunan daerah dan ekonomi rakyat.
Jejak rekamnya tidak selalu mulus. Sebelum menjadi bupati, Sudewo pernah terlibat dalam isu lokal seperti dukungan terhadap calon gubernur Jawa Tengah Ahmad Lutfi pada 2024, yang dikaitkan dengan perpanjangan masa jabatan kepala desa di Pati.
Namun, karirnya di DPR relatif bersih dari skandal besar, dengan fokus pada advokasi pembangunan Jawa Tengah. Transisinya ke bupati pada 2025 diharapkan membawa perubahan positif, tapi justru menuai kontroversi sejak awal.
Tipikal Kebijakan Sudewo
Kebijakan Sudewo sebagai bupati cenderung ambisius, bertujuan meningkatkan pendapatan daerah untuk program pembangunan. Contohnya, kenaikan PBB-P2 hingga 250 persen, yang diklaim untuk memajukan infrastruktur dan layanan publik.
Kebijakan ini sebenarnya mengikuti perubahan regulasi nasional, tapi implementasinya di Pati dianggap terlalu ekstrem. Selain itu, ia sempat mengubah sistem pembelajaran menjadi 6 hari seminggu, yang juga menuai kritik sebelum akhirnya dicabut.
Ada pula kontroversi atas penampilan artis seperti Trio Srigala di pendopo kabupaten, yang dianggap tidak pantas.
Tipikal kebijakannya adalah pendekatan “cepat dan tegas” untuk meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah), tapi sering kali kurang melibatkan konsultasi publik.
Pada akhirnya, banyak kebijakan ini dibatalkan akibat tekanan masyarakat, seperti pembatalan kenaikan PBB pada 8 Agustus 2025. Kritikus menilai gaya kepemimpinannya mirip premanisme, dengan penyitaan bantuan donasi warga sebagai contoh.
Arogansi dan Beban Ekonomi
Kemarahan publik meledak ketika Sudewo menantang warga: “Jangan hanya 5 ribu orang, 50 ribu orang suruh kerahkan, saya tidak akan gentar.”
Pernyataan ini, di tengah kenaikan PBB yang membebani rakyat kecil, dianggap arogan dan tidak empati. Warga Pati, yang banyak bergantung pada sektor pertanian dan UMKM, merasa kebijakan ini menjerat leher mereka di saat harga kebutuhan pokok naik dan PHK marak.
Protes berlanjut dengan aksi massa, seruan “Lengserkan Sudewo” di posko donasi, dan bahkan lemparan botol air saat bupati mendatangi lokasi.
Gubernur Jawa Tengah Ahmad Lutfi pun menegur: “Jangan arogan!” Di media sosial X, sentimen negatif mendominasi, dengan tagar seperti PatiMenggugat dan PatiDarurat. Menteri Dalam Negeri juga berencana mengecek kebijakan ini.
Akhirnya, Sudewo meminta maaf dan membatalkan kenaikan PBB, tapi tuntutan mundur tetap bergaung.
Kasus ini menjadi pelajaran: kekuasaan harus melayani, bukan menantang rakyat. Di Pati, revolusi kecil dari bawah sedang berlangsung, mengingatkan bahwa suara publik tak bisa diabaikan.