Kelas 50 Siswa: Kebijakan Kontroversial Dedi Mulyadi yang Berujung ke Meja Hijau

- Penulis

Kamis, 7 Agustus 2025 - 15:31 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

djourno.id – Di balik niat mulia menyediakan pendidikan gratis untuk semua, sebuah kebijakan di Jawa Barat telah memicu badai kontroversi yang kini bergulir ke ranah hukum.

Keputusan Gubernur Dedi Mulyadi untuk menambah jumlah siswa per kelas di SMA/SMK negeri hingga 50 orang, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Gubernur Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025, awalnya diumumkan sebagai solusi untuk mencegah putus sekolah.

Namun, kebijakan ini justru memantik kemarahan delapan organisasi sekolah swasta, yang menyeretnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung.

Sidang perdana pada 7 Agustus 2025 menjadi panggung bagi pertarungan sengit: apakah kebijakan ini benar-benar untuk rakyat, atau justru sebuah langkah gegabah yang mengabaikan kaidah pembuatan kebijakan yang baik?

Satu hal pasti: jika kebijakan ini dirancang dengan lebih cermat, drama hukum ini mungkin tak pernah terjadi.

 

Kebijakan yang Mengguncang Dunia Pendidikan

Pada 26 Juni 2025, Dedi Mulyadi menandatangani keputusan yang akan mengubah wajah pendidikan di Jawa Barat: setiap kelas di SMA/SMK negeri kini boleh menampung hingga 50 siswa.

Tujuannya mulia—memastikan setiap anak, terutama dari keluarga kurang mampu, mendapat akses pendidikan tanpa terkendala biaya.

Namun, kebijakan ini seolah menyalakan api di kalangan sekolah swasta. Delapan organisasi, termasuk Forum Kepala Sekolah SMA Swasta Provinsi Jawa Barat dan Badan Musyawarah Perguruan Swasta dari Bandung, Cianjur, Bogor, Garut, Cirebon, Kuningan, dan Sukabumi, menilai kebijakan ini sebagai ancaman eksistensial.

Pada 31 Juli 2025, mereka mengajukan gugatan ke PTUN Bandung, dengan nomor perkara 121/G/2025/PTUN.BDG, menuding kebijakan tersebut tidak hanya merugikan, tetapi juga melanggar prinsip keadilan dan tata cara pembuatan kebijakan yang benar.

“Kebijakan ini seperti memaksa kami keluar dari permainan,” kata Asep, perwakilan dari Badan Musyawarah Perguruan Swasta Kabupaten Garut, dengan nada penuh kekecewaan.

“Jika sekolah negeri bisa menampung lebih banyak siswa secara gratis, siapa yang akan memilih sekolah swasta? Kami bukan menolak pendidikan merata, tapi ini soal kelangsungan hidup kami.”

Sekolah swasta, yang menurut data 2022 menyumbang 41.836 dari total 62.239 sekolah di Jawa Barat, merasa diabaikan.

Mereka menilai kebijakan ini dibuat tanpa konsultasi memadai, mengesampingkan dampaknya terhadap ekosistem pendidikan yang telah lama bergantung pada peran sekolah swasta.

 

Kontroversi di Balik Niat Baik

Apa yang membuat kebijakan ini begitu kontroversial? Inti masalahnya terletak pada proses pembuatannya.

Para penggugat menyoroti bahwa kebijakan rombel 50 siswa diumumkan tanpa kajian mendalam atau dialog dengan pemangku kepentingan, khususnya sekolah swasta.

“Ini bukan soal niat, tapi soal cara,” ujar seorang kepala sekolah swasta di Cianjur, yang meminta namanya dirahasiakan.

“Jika pemerintah melibatkan kami sejak awal, mungkin kami bisa mencari solusi bersama. Sekarang, kami terpaksa ke pengadilan karena merasa tidak didengar.”

Studi pendidikan, seperti yang diterbitkan dalam Journal of Educational Research (2020), menunjukkan bahwa kelas dengan lebih dari 40 siswa dapat menurunkan kualitas pembelajaran, terutama karena terbatasnya interaksi antara guru dan siswa.

Di Jawa Barat, di mana fasilitas sekolah negeri tidak selalu memadai, kebijakan ini dianggap berisiko menurunkan standar pendidikan sekaligus meminggirkan sekolah swasta yang sering menawarkan kelas lebih kecil dan pendekatan lebih personal.

“Kami khawatir bukan hanya soal keuangan, tapi juga nasib guru-guru kami,” kata seorang anggota Forum Kepala Sekolah SMA Swasta, seperti dikutip metrotvnews.com.

“Banyak sekolah swasta sudah kesulitan bertahan, dan ini seperti pukulan terakhir.”

 

Respons Dedi: Tegas atau Arogan?

Dedi Mulyadi, yang dikenal dengan gaya kepemimpinan vokal dan karismatik, tidak tinggal diam menghadapi gugatan ini.

Dalam wawancara dengan Kompas.com pada 6 Agustus 2025, ia menegaskan bahwa kebijakan ini adalah bagian dari kewajiban negara untuk mendidik anak-anak tanpa hambatan finansial.

“Saya digugat karena menjalankan tugas negara,” katanya dengan nada tegas. “Ini bukan soal bisnis, tapi soal memastikan anak-anak bisa sekolah.”

Ia menantang sekolah swasta untuk membuktikan kerugian materiil, bahkan menyebut bahwa penurunan pendaftar lebih disebabkan oleh persaingan alami, bukan kebijakannya.

“Ada 64 sekolah swasta baru di Jawa Barat dalam beberapa tahun terakhir. Ini bukti pasar pendidikan masih hidup,” ujarnya.

Baca Juga:  Makanan yang Terbuang, Bangsa yang Rugi: Saatnya Indonesia Punya Kebijakan Anti Food Waste

Dedi juga menyinggung dukungan pemerintah melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Pengelolaan Mutu Sekolah (BPMU), bahkan menyarankan sekolah swasta untuk mengaudit penggunaan dana tersebut.

“Kalau ada yang merasa rugi, cek dulu pengelolaan dananya,” katanya, dengan nada yang oleh sebagian pihak dianggap menyinggung. Bagi para penggugat, respons ini terasa seperti mengabaikan kekhawatiran mereka, memperdalam jurang ketegangan.

 

Akar Masalah: Kebijakan Tanpa Konsensus

Para pengamat pendidikan menilai bahwa kontroversi ini tidak akan sampai ke ranah hukum jika kebijakan dibuat dengan kaidah yang lebih baik—melibatkan konsultasi publik, kajian dampak, dan dialog dengan semua pihak.

“Kebijakan publik yang baik harus inklusif,” kata Dr. Ani Susanti, pakar pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia, yang diwawancarai secara terpisah.

“Tanpa melibatkan sekolah swasta, yang merupakan bagian besar dari sistem pendidikan kita, kebijakan ini rawan memicu konflik.”

Ani menambahkan bahwa kebijakan rombel 50 siswa seharusnya didahului oleh uji coba di beberapa sekolah, evaluasi fasilitas, dan analisis dampak terhadap kualitas pembelajaran.

Kegagalan melibatkan pemangku kepentingan bukanlah hal baru dalam kebijakan pendidikan di Indonesia.

Kasus serupa pernah terjadi di daerah lain, seperti saat pengalihan status sekolah negeri menjadi swasta di beberapa kota, yang juga memicu protes karena kurangnya komunikasi.

Dalam kasus Jawa Barat, absennya dialog awal telah mengubah niat baik menjadi sumber konflik, mendorong sekolah swasta untuk mencari keadilan di pengadilan.

 

 Di Meja Hijau: Sidang yang Dinanti

Hari ini, di gedung PTUN Bandung, sidang perdana digelar pukul 10.00 WIB. Hakim, pengacara dari delapan organisasi sekolah swasta, dan tim hukum Pemprov Jawa Barat saling berhadapan, mencoba mengurai benang kusut kebijakan ini.

Gugatan ini, yang terdaftar sejak 31 Juli 2025, masih dalam tahap pemeriksaan formalitas, dengan kemungkinan memakan waktu 30 hari sebelum masuk ke sidang penuh.

Namun, pertarungan ini bukan hanya soal hukum—ini soal masa depan pendidikan Jawa Barat.

Bagi sekolah swasta, gugatan ini adalah perjuangan untuk bertahan hidup. Bagi Dedi Mulyadi, ini adalah pembelaan atas visi pendidikan merata.

Namun, di tengah pertarungan ini, ada suara yang nyaris terlupakan: para siswa, yang menanti kelas yang tidak hanya penuh sesak, tetapi juga bermakna; dan para guru, yang berharap tetap bisa mengajar tanpa ancaman PHK.

 

Jalan Keluar: Bisakah Konflik Ini Diselesaikan?

Apakah ada jalan keluar dari kontroversi ini? Para pengamat menyarankan beberapa solusi.

Pertama, dialog intensif antara Pemprov dan sekolah swasta bisa mencairkan ketegangan, mungkin dengan membentuk forum bersama untuk merumuskan kompromi.

Kedua, pemerintah bisa mempertimbangkan implementasi bertahap, menaikkan jumlah siswa per kelas secara perlahan sambil memastikan fasilitas memadai.

Ketiga, peningkatan dana BOS atau program dukungan khusus untuk sekolah swasta bisa membantu mereka tetap kompetitif. Terakhir, peninjauan ulang kebijakan dengan melibatkan ahli pendidikan dan data empiris dapat menghasilkan solusi yang lebih seimbang.

Namun, waktu menjadi musuh utama. Proses hukum di PTUN bisa berlarut-larut, sementara tahun ajaran baru sudah dimulai.

Sekolah swasta berjuang mempertahankan siswa, sementara sekolah negeri bersiap menampung lebih banyak anak dengan fasilitas yang belum tentu siap.

Di tengah semua ini, pertanyaan besar menggantung: akankah keadilan ditegakkan di pengadilan, atau akankah kebijakan ini terus memicu konflik yang merugikan dunia pendidikan?

Kebijakan rombel 50 siswa adalah cerminan klasik dari niat baik yang terjebak dalam eksekusi buruk.

Jika dibuat dengan konsultasi yang inklusif, kajian yang mendalam, dan komunikasi yang transparan, drama hukum ini mungkin tak pernah terjadi.

Kini, di tengah guncangan gugatan, Jawa Barat berdiri di persimpangan: mempertahankan visi pendidikan gratis yang ambisius, atau mencari jalan tengah yang menjaga harmoni ekosistem pendidikan.

Sidang di PTUN Bandung hari ini hanyalah awal dari perjalanan panjang. Akankah kebijakan ini menjadi tonggak sejarah pendidikan inklusif, atau justru monumen kegagalan komunikasi?

Hanya waktu—dan pengadilan—yang akan menjawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Follow WhatsApp Channel djourno.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Kemacetan TB Simatupang: Noda di Tengah Upaya Pramono Anung Atasi Macet Jakarta
Pramono Pangkas Trotoar TB Simatupang: Solusi Kemacetan atau Pengorbanan Pejalan Kaki?
Pajak Daerah dan Stabilitas Sosial: Antara Ambisi Fiskal dan Gelombang Protes
Warga Jateng Puas Kinerja Ahmad Luthfi di Kesehatan, Tersandung di Lapangan Kerja
Tertekan Dampak Transfer Pusat Dipangkas: Pemerintah Daerah Naikkan Pajak, Picu Protes Besar
Survei Litbang Kompas: Warga Jawa Barat Menanti Solusi Ekonomi dari Dedi Mulyadi
Survei Litbang Kompas: Warga Jawa Barat Kecewa Kinerja Dedi Mulyadi Atasi Lapangan Kerja   
Gelombang Kenaikan Pajak Daerah dan Riak Perlawanan Rakyat

Berita Terkait

Rabu, 27 Agustus 2025 - 12:14 WIB

Kemacetan TB Simatupang: Noda di Tengah Upaya Pramono Anung Atasi Macet Jakarta

Minggu, 24 Agustus 2025 - 12:45 WIB

Pramono Pangkas Trotoar TB Simatupang: Solusi Kemacetan atau Pengorbanan Pejalan Kaki?

Jumat, 22 Agustus 2025 - 18:25 WIB

Pajak Daerah dan Stabilitas Sosial: Antara Ambisi Fiskal dan Gelombang Protes

Rabu, 20 Agustus 2025 - 10:10 WIB

Warga Jateng Puas Kinerja Ahmad Luthfi di Kesehatan, Tersandung di Lapangan Kerja

Selasa, 19 Agustus 2025 - 15:22 WIB

Tertekan Dampak Transfer Pusat Dipangkas: Pemerintah Daerah Naikkan Pajak, Picu Protes Besar

Berita Terbaru

Kolom

Warisan Pemikiran Ekonomi Syafruddin Prawiranegara

Jumat, 29 Agu 2025 - 13:28 WIB