Polemik Kebijakan Rombel 50 Siswa: Dikritik Atalia, Dedi Mulyadi Sindir Ridwan Kamil

- Penulis

Senin, 4 Agustus 2025 - 16:13 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

djourno.id—Di tengah gemuruh dinamika pendidikan Jawa Barat, sebuah polemik mencuri perhatian publik: kebijakan rombongan belajar (rombel) 50 siswa per kelas yang digagas Gubernur Dedi Mulyadi.

Kebijakan ini, yang diterapkan menjelang tahun ajaran 2025/2026, memicu kritik tajam dari Atalia Praratya, anggota Komisi VIII DPR RI sekaligus istri mantan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil.

Dalam responsnya, Dedi tak hanya membela kebijakannya, tetapi juga membuka tabir minimnya pembangunan sekolah baru pada era kepemimpinan Ridwan Kamil.

 

Adu Argumen Atalia dan Dedi Mulyadi

Pada Kamis, 31 Juli 2025, Atalia Praratya melangkah masuk ke Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 08 Cimahi di Sentra Abiyoso.

Kunjungannya bukan hanya untuk meninjau fasilitas sekolah yang nyaman—ruang kelas yang lapang, tempat tidur rapi, hingga kamar mandi bersih—tetapi juga untuk menyuarakan keprihatinan atas kebijakan rombel 50 siswa yang diterapkan Dedi Mulyadi.

Dengan nada yang penuh empati, Atalia menggambarkan situasi kelas yang sesak: “Bagaimana mungkin anak-anak bisa nyaman kalau mereka duduk berhimpitan, belum gerahnya, belum aktivitas lainnya?”

Atalia, yang kini menjabat sebagai anggota DPR dari Fraksi Golkar untuk daerah pemilihan Kota Bandung dan Cimahi, mendengar langsung keluhan para guru.

“Saya banyak dapat masukan dan curhat dari guru. Mereka mengurus 25 murid dalam satu kelas saja sudah repot, apalagi 50 anak, apalagi di masa mereka usia remaja,” ujarnya, menyoroti tantangan mendidik siswa SMA yang penuh dinamika.

Tak butuh waktu lama bagi Dedi Mulyadi untuk merespons. Dalam sebuah video yang diunggah di akun Instagram pribadinya pada Sabtu, 2 Agustus 2025, mantan Bupati Purwakarta itu menjawab kritik Atalia dengan nada yang tegas namun tetap sopan.

“Buat Ibu Atalia, saya ucapkan terima kasih atas kritiknya dan merasa prihatin atas ruang kelas di Jawa Barat yang diisi 43 sampai 50 siswa. Tapi tidak semuanya, Bu, hanya 38 sekolah,” ujarnya, menegaskan bahwa kebijakan ini tidak diterapkan secara menyeluruh, melainkan hanya di wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi dan kantong keluarga kurang mampu.

Dedi menjelaskan bahwa kebijakan rombel 50 siswa, yang diatur dalam Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025 tentang Petunjuk Teknis Pencegahan Anak Putus Sekolah, merupakan solusi darurat untuk menampung sekitar 800.000 siswa SMA di Jawa Barat, di mana hanya 40% yang terserap di sekolah negeri.

“Itu pun kami lakukan terpaksa, dibanding mereka tidak sekolah. Kalau harus bergeser ke tempat yang jauh, mereka bisa putus sekolah,” katanya, menekankan bahwa banyak siswa tinggal dekat dengan sekolah negeri, sehingga memindahkan mereka ke sekolah lain berisiko meningkatkan angka putus sekolah.

Data dari Kementerian Pendidikan menunjukkan bahwa pada 2025, Jawa Barat memiliki 66.192 siswa putus sekolah, 133.481 lulusan SMP yang tidak melanjutkan, dan 295.530 individu yang belum pernah bersekolah, sebuah tantangan besar yang mendorong kebijakan ini.

Namun, respons Dedi tak berhenti di pembelaan. Ia melontarkan sindiran tajam dengan membeberkan data pembangunan sekolah baru selama periode 2020–2025, saat Jawa Barat dipimpin Ridwan Kamil (2018–2023) dan Penjabat Gubernur Bey Machmudin (2023–2025).

Menurut Dedi, dalam kurun waktu tersebut, hanya 29 unit sekolah baru yang dibangun: nol pada 2020, dua SMA pada 2021, satu unit pada 2022, enam unit (satu SMA, tiga SMK, dua SLB) pada 2023, lima unit (tiga SMA, satu SMK, satu SLB) pada 2024, dan 15 unit (11 SMK, dua SLB, dua SMA) pada 2025.

“Kenapa ini terjadi? Karena sejak 2020, pembangunan sekolah baru sangat sedikit,” ujarnya, seolah menuding minimnya infrastruktur pendidikan sebagai akar masalah yang ia warisi.

Dedi menjanjikan perubahan dengan komitmen membangun 50 unit sekolah baru pada 2026, sebuah langkah yang ia harap akan mengurangi tekanan pada rombel.

 

Dampak Luas: Sekolah Swasta dan Publik Bereaksi

Polemik ini tak hanya melibatkan Atalia dan Dedi, tetapi juga mengguncang ekosistem pendidikan Jawa Barat.

Sekolah swasta, yang selama ini menjadi penopang pendidikan di tengah keterbatasan sekolah negeri, merasakan dampak paling nyata.

Baca Juga:  Kebijakan Berbasis Desa: Lampung Wujudkan Penurunan Kemiskinan

Ketua FKSS Jawa Barat, Ade Hendriana, menyebut kebijakan rombel 50 siswa sebagai “ugal-ugalan” dan berpotensi melanggar hukum, karena mengabaikan standar Kemendikbudristek.

Ia mengungkapkan bahwa banyak orang tua beralih ke sekolah negeri, menyebabkan pembatalan pendaftaran ratusan siswa di sekolah swasta.

“Sekolah swasta hanya terisi 30% akibat kebijakan ini,” katanya, bahkan mengancam akan menggugat keputusan gubernur ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Wakil Ketua Komisi X DPR, MY Esti Wijayati, turut mengkritik kebijakan ini sebagai reaktif dan kurang matang.

“Menampung lebih banyak siswa adalah tujuan mulia, tetapi tanpa perhitungan kapasitas ruang kelas, rasio guru-siswa, dan kesiapan kurikulum, kualitas pembelajaran yang dikorbankan,” ujarnya.

Ia menekankan perlunya kajian mendalam dan dialog dengan pemangku kepentingan, termasuk sekolah swasta, untuk mencari solusi yang lebih seimbang. Anggota Komisi V DPRD Jawa Barat, Zaini Shofari, juga menyebut pendekatan Dedi sebagai “sporadis” dan “sensasional,” yang gagal menyentuh akar permasalahan pendidikan.

 

Antara Akses, Kualitas, dan Warisan Politik

Adu kritik antara Atalia dan Dedi mencerminkan ketegangan mendasar dalam sistem pendidikan: bagaimana menyeimbangkan akses dan kualitas?

Kebijakan rombel 50 siswa, meski lahir dari niat mencegah putus sekolah, mengabaikan aspek pedagogis yang krusial.

Penelitian dari OECD menunjukkan bahwa rasio siswa per guru ideal adalah 15–20:1 untuk pembelajaran efektif, sementara rombel 50 siswa jelas melampaui standar ini.

Data dari PGRI Jawa Barat juga mengungkap bahwa 68% guru di wilayah perkotaan kesulitan mengelola kelas dengan lebih dari 40 siswa, terutama dalam hal interaksi personal dan pembelajaran interaktif.

Dampaknya tak hanya pada akademik, tetapi juga pada kesehatan mental siswa dan guru, dengan risiko stres dan penurunan motivasi belajar.

Di sisi lain, Dedi memiliki argumen kuat soal keterbatasan infrastruktur. Dengan hanya 29 sekolah baru dibangun antara 2020–2025, Jawa Barat menghadapi ketimpangan serius antara jumlah siswa dan kapasitas sekolah negeri.

Namun, sindirannya terhadap era Ridwan Kamil memicu pertanyaan: apakah data ini benar-benar mencerminkan kegagalan pendahulunya, atau sekadar strategi politik untuk mengalihkan perhatian?

Ridwan Kamil, selama masa jabatannya, memang fokus pada program seperti “Jabar Masagi” untuk pendidikan karakter dan renovasi ribuan ruang kelas melalui “Rutilahu Sekolah.”

Data BPS Jawa Barat menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah (APS) jenjang SMP mencapai 98,7% pada 2022, salah satu yang tertinggi di Indonesia.

Namun, minimnya pembangunan sekolah baru, sebagaimana diungkap Dedi, menunjukkan bahwa ekspansi infrastruktur tidak secepat pertumbuhan populasi siswa.

Polemik ini juga menggarisbawahi dampak kebijakan pada sekolah swasta. Dengan hanya 40% siswa terserap di sekolah negeri, sekolah swasta seharusnya menjadi mitra strategis.

Namun, kebijakan rombel 50 siswa justru memicu distorsi kompetisi, seperti yang disoroti Esti Wijayati, dengan sekolah swasta kehilangan daya saing.

Usulan seperti subsidi untuk siswa kurang mampu di sekolah swasta, sebagaimana diajukan Ade Hendriana, bisa menjadi jalan tengah, namun belum mendapat respons konkret dari Pemprov Jabar.

Di balik adu kritik ini, ada pesan yang lebih besar: pendidikan adalah cerminan prioritas sebuah daerah.

Atalia, dengan pengalamannya sebagai ibu, pendidik, dan legislator, mengingatkan bahwa kualitas harus menjadi jantung kebijakan pendidikan.

Sementara itu, Dedi, dengan pendekatan pragmatisnya, menegaskan bahwa akses adalah hak dasar yang tak boleh dikorbankan.

Keduanya memiliki poin yang sah, namun solusi sejati membutuhkan dialog, bukan sekadar adu narasi.

Dengan janji Dedi untuk membangun 50 sekolah baru pada 2026, ada secercah harapan bahwa tekanan pada rombel akan mereda.

Namun, tanpa kajian komprehensif dan keterlibatan semua pihak—guru, sekolah swasta, hingga masyarakat—kebijakan ini berisiko menjadi solusi sementara yang meninggalkan luka permanen pada kualitas pendidikan.

Di tengah sorotan publik dan sentimen politik yang mengiringi, satu hal jelas: anak-anak Jawa Barat layak mendapatkan pendidikan yang tidak hanya menampung mereka, tetapi juga memanusiakan mereka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Follow WhatsApp Channel djourno.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Dari Pendidikan hingga Pangan: Langkah ‘Aisyiyah Jakarta Barat Semai Keluarga Tangguh
Mengapa Kepala Daerah Jawa Barat Ramai-ramai Tolak Kebijakan Dedi Mulyadi?
Kebijakan Sekolah Swasta Gratis Jakarta: Pemerataan atau Sekadar Pencitraan?
Ketika Istri Ridwan Kamil Kritik Kebijakan Dedi Mulyadi
Hadapi Gelombang Kemiskinan Baru, Bagaimana Formula Kebijakan Jakarta?
Kebijakan Berbasis Desa: Lampung Wujudkan Penurunan Kemiskinan
Pagi Terlalu Dini, Malam Terlalu Ketat: Mengapa Kebijakan Dedi Mulyadi Memicu Badai Protes?
Bus Biru, Harapan Baru: Kebijakan Pramono Anung dan Revolusi Transportasi Jakarta

Berita Terkait

Senin, 4 Agustus 2025 - 18:38 WIB

Dari Pendidikan hingga Pangan: Langkah ‘Aisyiyah Jakarta Barat Semai Keluarga Tangguh

Senin, 4 Agustus 2025 - 16:13 WIB

Polemik Kebijakan Rombel 50 Siswa: Dikritik Atalia, Dedi Mulyadi Sindir Ridwan Kamil

Minggu, 3 Agustus 2025 - 14:54 WIB

Mengapa Kepala Daerah Jawa Barat Ramai-ramai Tolak Kebijakan Dedi Mulyadi?

Sabtu, 2 Agustus 2025 - 09:52 WIB

Kebijakan Sekolah Swasta Gratis Jakarta: Pemerataan atau Sekadar Pencitraan?

Jumat, 1 Agustus 2025 - 15:54 WIB

Ketika Istri Ridwan Kamil Kritik Kebijakan Dedi Mulyadi

Berita Terbaru