djourno.id—Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, yang akrab disapa KDM, dikenal dengan pendekatan tegas dalam merumuskan kebijakan untuk membenahi tata kelola pendidikan, pemerintahan, dan kehidupan sosial di Jawa Barat.
Namun, sejumlah kebijakannya menuai penolakan terbuka dari lima kepala daerah: Bupati Bandung Dadang Supriatna, Wali Kota Cirebon Effendi Edo, Bupati Karawang Aep Syaepuloh, Bupati Sumedang Dony Ahmad Munir, dan Wali Kota Bandung Muhammad Farhan.
Penolakan ini tidak hanya terfokus pada larangan study tour, tetapi juga mencakup kebijakan seperti jam masuk sekolah, penanganan siswa nakal, larangan rapat ASN di hotel, hingga usulan pembongkaran aset publik seperti Teras Cihampelas.
Visi Dedi dan Ketegangan dengan Kepala Daerah
Sejak dilantik pada Februari 2025, Dedi Mulyadi memperkenalkan serangkaian kebijakan yang diklaim bertujuan memperkuat karakter, efisiensi, dan keadilan sosial.
Beberapa di antaranya tertuang dalam Surat Edaran Nomor 43/PK.03.04/Kesra tentang “9 Langkah Pembangunan Pendidikan Menuju Gapura Panca Waluya” serta arahan lain di luar sektor pendidikan.
Kebijakan ini mencakup larangan study tour, penetapan jam masuk sekolah pukul 06.30, penanganan siswa nakal dengan pelatihan di barak militer, larangan rapat ASN di hotel, larangan siswa membawa ponsel ke sekolah, hingga usulan pembongkaran Teras Cihampelas.
Namun, pendekatan Dedi yang cenderung sentralistik memicu resistensi dari kepala daerah yang merasa kebijakan tersebut tidak selaras dengan kebutuhan lokal.
Penolakan ini mencerminkan ketegangan antara visi provinsi dan otonomi daerah, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang memberikan kewenangan besar kepada bupati/wali kota di bidang pendidikan dasar-menengah dan pengelolaan aset lokal.
Kebijakan yang Ditolak dan Alasan Kepala Daerah
- Larangan Study Tour
Kebijakan: Melalui SE Nomor 43/PK.03.04/Kesra (Mei 2025), Dedi melarang study tour di sekolah, dengan alasan kegiatan ini sering menjadi ajang rekreasi mahal yang membebani orang tua dan menciptakan tekanan sosial bagi siswa dari keluarga kurang mampu. Ia mendorong wisata edukasi lokal yang lebih terjangkau.
Penolakan:
– Dadang Supriatna (Bupati Bandung) menilai study tour bermanfaat untuk edukasi sejarah dan pengalaman emosional, selama disetujui orang tua dan terarah. “Jangan melarang tanpa solusi,” katanya.
– Effendi Edo (Wali Kota Cirebon) memperbolehkan study tour dengan regulasi ketat, menekankan nilai pembelajaran di luar kelas.
– Aep Syaepuloh (Bupati Karawang) dan Dony Ahmad Munir (Bupati Sumedang) menyoroti potensi wisata edukasi lokal, seperti situs Batujaya atau Jatigede, yang bisa terdampak larangan.
– Muhammad Farhan (Wali Kota Bandung) mendukung study tour selama tidak terkait nilai akademik dan tidak membebani. “Bandung kota terbuka, silakan saja,” ujarnya.
- Jam Masuk Sekolah Pukul 06.30
Kebijakan: Dedi menetapkan jam masuk sekolah pukul 06.30 mulai tahun ajaran 2025/2026 untuk meningkatkan disiplin dan efisiensi waktu belajar.
Penolakan:
– Muhammad Farhan (Wali Kota Bandung) menolak penerapan seragam ini, memilih jam masuk bertahap: 06.30 untuk SMA, 07.00 untuk SMP, dan 07.30 untuk SD. Alasannya, untuk menghindari kemacetan di pagi hari, mengingat Bandung memiliki 1,2 juta kendaraan (Dishub Jabar, 2024).
- Siswa Nakal ke Barak Militer
Kebijakan: Dedi mengusulkan siswa nakal menjalani pembinaan di barak militer untuk menanamkan disiplin dan bela negara.
Penolakan:
– Citra Pitriyami (Bupati Pangandaran) memilih pendekatan persuasif melalui Satpol PP sebelum menyerahkan siswa ke militer. “Barak TNI adalah opsi terakhir,” katanya pada Apel Hardiknas, 2 Mei 2025. Ia tetap mendukung semangat bela negara, tetapi menyesuaikan dengan konteks lokal.
- Larangan Rapat ASN di Hotel
Kebijakan: Dedi melarang ASN menggelar rapat di hotel untuk efisiensi anggaran dan mendorong penggunaan fasilitas pemerintah.
Penolakan:
– Muhammad Farhan (Wali Kota Bandung) menolak, dengan alasan rapat di hotel (khususnya bintang dua, tiga, dan melati) mendukung industri perhotelan yang terpukul pasca-pandemi. Ia bahkan menyiapkan insentif untuk hotel yang tidak melakukan PHK.
- Larangan Siswa Membawa Ponsel ke Sekolah
Kebijakan: Dedi melarang siswa membawa ponsel untuk mengurangi gangguan dalam pembelajaran.
Penolakan:
– Muhammad Farhan (Wali Kota Bandung) mengusulkan pengaturan penggunaan ponsel, bukan larangan total. “Ponsel dikumpulkan selama pelajaran, kecuali untuk kebutuhan pembelajaran,” ujarnya pada 14 Juli 2025.
- Usulan Pembongkaran Teras Cihampelas
Kebijakan: Dedi mengusulkan pembongkaran Teras Cihampelas untuk mengembalikan karakter asli kawasan sebagai pusat perdagangan pakaian.
Penolakan:
– Muhammad Farhan (Wali Kota Bandung) menolak, memilih renovasi dengan anggaran tahunan untuk menjaga aset senilai Rp80 miliar (hasil appraisal 2025). Ia menilai pembongkaran berisiko melanggar hukum dan memakan waktu lama, merujuk pada regulasi aset daerah di atas Rp5 miliar (UU No. 1/2004).
Akar Penolakan dan Implikasinya
Sentralisme vs Otonomi Daerah
Penolakan kepala daerah mencerminkan ketegangan antara kebijakan provinsi yang seragam dan kebutuhan lokal yang beragam.
UU No. 23/2014 memberikan kewenangan kepada bupati/wali kota untuk mengatur pendidikan dasar-menengah dan aset daerah, sehingga kebijakan Dedi dianggap “overreach” oleh sebagian pihak. Misalnya, kebutuhan Bandung sebagai kota pariwisata berbeda dengan Pangandaran yang lebih agraris, atau Karawang dengan situs sejarahnya.
Dampak Ekonomi dan Sosial
– Ekonomi: Larangan rapat di hotel dan study tour berpotensi mengurangi pendapatan sektor pariwisata, yang menopang 1,5 juta pekerja di Jabar (BPS, 2024). Demonstrasi pelaku usaha pada Juli 2025 menunjukkan keresahan ini.
– Sosial: Kebijakan seperti siswa nakal ke barak militer atau larangan ponsel dianggap kurang mempertimbangkan aspek psikologis dan dinamika modern. Studi UPI (2023) menunjukkan 60% siswa merasa tekanan psikologis dari kebijakan disiplin ketat.
Persepsi Publik
Publik terbagi: sebagian mendukung Dedi karena efisiensi anggaran dan perlindungan keluarga miskin, tetapi banyak juga yang menilai pendekatannya kaku. Postingan Dedi di Instagram (@dedimulyadi71, 22 Juli 2025) tentang study tour memicu 10.000 komentar, dengan 55% menentang kebijakan.
Jalan Tengah: Kolaborasi dan Regulasi
Pengamat tata kelola pemerintahan dari Universitas Padjadjaran, Dr. Muradi, menyarankan dialog antara provinsi dan kabupaten/kota untuk merumuskan kebijakan yang fleksibel. Beberapa rekomendasi:
– Pendidikan: Regulasi study tour dan penggunaan ponsel, seperti batasan biaya dan kurikulum terintegrasi, lebih efektif ketimbang larangan.
– Disiplin Siswa: Pendekatan persuasif, seperti konseling, lebih cocok ketimbang pelatihan militer.
– Ekonomi Lokal: Rapat ASN di hotel dapat diizinkan dengan batasan anggaran, mendukung UMKM perhotelan.
– Aset Publik: Keputusan soal aset seperti Teras Cihampelas harus melibatkan kajian lintas dinas dan masyarakat lokal.
Kebijakan Dedi Mulyadi—dari larangan study tour, jam masuk sekolah, penanganan siswa nakal, hingga pengelolaan aset—mencerminkan visi kuat untuk efisiensi dan pembangunan karakter.
Namun, penolakan dari Dadang Supriatna, Effendi Edo, Aep Syaepuloh, Dony Ahmad Munir, dan Muhammad Farhan menunjukkan bahwa pendekatan top-down sulit diterapkan di provinsi sekompleks Jawa Barat.
Dengan 27 kabupaten/kota dan dinamika sosial-ekonomi yang beragam, sebuah kebijakan memerlukan fleksibilitas dan kolaborasi.
Tanpa dialog yang inklusif, visi reformasi Dedi berisiko terjebak dalam polemik, meninggalkan pertanyaan: akankah Jawa Barat menemukan harmoni antara idealisme provinsi dan realitas lokal?