Kebijakan Sekolah Swasta Gratis Jakarta: Pemerataan atau Sekadar Pencitraan?

- Penulis

Sabtu, 2 Agustus 2025 - 09:52 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

djourno.id—Jakarta, sebagai jantung Indonesia, terus berupaya memastikan pendidikan merata bagi seluruh warganya.

Salah satu langkah besar adalah kebijakan Sekolah Swasta Gratis, yang diujicobakan di 40 sekolah sejak 14 Juli 2025.

Program ini menjanjikan pendidikan tanpa biaya bagi siswa dari keluarga pra-sejahtera, khususnya yang tidak tertampung di sekolah negeri.

Namun, di balik sorotan positif, muncul kecurigaan: apakah kebijakan ini benar-benar tentang pemerataan pendidikan, atau hanya pencitraan politik di tengah sorotan publik?

Ketimpangan distribusi sekolah, seperti yang diungkap anggota DPRD DKI Jakarta Fatimah Tania Nadira Alatas, menjadi titik awal perdebatan.

 

Janji Pendidikan untuk Semua

Kebijakan Sekolah Swasta Gratis lahir dari kebutuhan mendesak untuk memperluas akses pendidikan di Jakarta, di mana daya tampung sekolah negeri terbatas.

Melalui kerja sama dengan sekolah swasta yang memenuhi syarat legalitas, akreditasi, dan transparansi keuangan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menanggung biaya pendidikan untuk siswa dari jenjang SD hingga SLB.

Program ini menyasar penerima Kartu Jakarta Pintar (KJP Plus), Program Indonesia Pintar (PIP), dan Kartu Pekerja Jakarta (KPJ), dengan Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) tanpa biaya.

Wakil Gubernur DKI Jakarta, Rano Karno, menegaskan bahwa kebijakan ini dirancang untuk mengurangi beban keluarga kurang mampu.

“Kami ingin setiap anak Jakarta mendapatkan pendidikan berkualitas tanpa memikirkan biaya,” ujarnya di Jakarta, (15/7/2025).

Saat ini, Peraturan Gubernur (Pergub) sebagai payung hukum program sedang dalam tahap harmonisasi dengan DPRD DKI, Kementerian Pendidikan, dan Kementerian Dalam Negeri, dengan target pengesahan melalui APBD Perubahan 2025.

Namun, di tengah janji manis tersebut, distribusi sekolah swasta gratis yang tidak merata memicu pertanyaan: apakah ini benar-benar upaya pemerataan, atau sekadar langkah kosmetik untuk meraih simpati publik?

 

Langkah Inklusif untuk Kaum Marginal

Pendukung kebijakan ini memuji program Sekolah Swasta Gratis sebagai terobosan inklusif.

Dengan biaya pendidikan ditanggung Pemprov DKI, keluarga pra-sejahtera kini memiliki akses ke sekolah swasta, yang sering kali memiliki fasilitas lebih baik dibandingkan sekolah negeri di beberapa wilayah.

Data Dinas Pendidikan DKI menunjukkan bahwa 40 sekolah swasta gratis telah menampung ribuan siswa pada tahap uji coba, mengurangi tekanan pada sekolah negeri yang setiap tahun menolak puluhan ribu pendaftar akibat keterbatasan kuota.

Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Nahdiana, menegaskan bahwa program ini menargetkan kelompok rentan.

“Kami memastikan siswa dari keluarga tidak mampu, terutama penerima KJP Plus, PIP, dan KPJ, bisa bersekolah tanpa biaya,” katanya.

Program ini juga mendorong keterlibatan orang tua dalam proses belajar-mengajar dan pengembangan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan industri, meningkatkan peluang lulusan untuk bersaing di pasar kerja.

Bagi masyarakat, kebijakan ini adalah angin segar. Di tengah biaya sekolah swasta yang bisa mencapai Rp2 juta hingga Rp5 juta per bulan, program ini mengurangi beban finansial keluarga kurang mampu.

Baca Juga:  Kemarahan terhadap Bupati Pati: Dari Kebijakan Kontroversial hingga Tuntutan Mundur

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta (2024), angka putus sekolah di kalangan keluarga miskin mencapai 1,5% untuk SMP dan 2,3% untuk SMA.

Dengan adanya sekolah swasta gratis, angka ini berpotensi menurun, memberikan harapan bagi anak-anak dari keluarga marginal untuk meraih pendidikan yang lebih baik.

 

Ketimpangan Distribusi dan Dugaan Pencitraan

Namun, kebijakan ini tidak luput dari kritik tajam. Fatimah Tania Nadira Alatas, anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta, menyoroti ketimpangan distribusi sekolah swasta gratis.

“Program ini baik, tapi pelaksanaannya harus adil dan merata. Jangan sampai hanya dinikmati wilayah tertentu,” ujarnya, seperti dikutip dari laman resmi DPRD DKI pada 31 Juli 2025.

Ia mencontohkan Daerah Pemilihan (Dapil) 5 Jakarta Timur, yang meliputi Kecamatan Duren Sawit, Jatinegara, dan Kramat Jati, hanya memiliki satu sekolah swasta gratis, yakni SMKS Laboratorium Jakarta di Pondok Kopi. Sementara itu, kecamatan lain memiliki lebih dari satu sekolah, dan Kramat Jati bahkan tidak memiliki SMA negeri sama sekali.

Ketimpangan ini memicu kecurigaan bahwa kebijakan ini lebih mengarah pada pencitraan politik ketimbang pemerataan nyata.

“Jika tujuannya pemerataan, mengapa distribusinya timpang? Ini terasa seperti proyek untuk menarik perhatian publik, bukan solusi jangka panjang,” ujar seorang aktivis pendidikan yang enggan disebut namanya.

Kritik ini diperkuat oleh fakta bahwa uji coba hanya mencakup 40 sekolah dari total ratusan sekolah swasta di Jakarta, jauh dari cukup untuk menjawab kebutuhan 10,6 juta penduduk ibu kota.

Tania menegaskan bahwa setiap kecamatan seharusnya memiliki setidaknya satu sekolah swasta gratis yang mudah diakses.

“Pendidikan adalah hak dasar. Ketimpangan seperti di Kramat Jati, yang tidak punya SMA negeri dan sekolah swasta gratis, memaksa warga membayar biaya pendidikan yang mahal,” katanya.

Ketidakadilan ini memicu pertanyaan apakah kebijakan ini benar-benar dirancang untuk rakyat atau hanya untuk menciptakan narasi sukses di permukaan.

 

Solusi Nyata atau Sekadar Tambal Sulam?

Untuk menjawab kritik dan dugaan pencitraan, evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan ini mutlak diperlukan.

Tania menyerukan pemetaan ulang distribusi sekolah berdasarkan data akurat tentang jumlah anak usia sekolah, tingkat kemiskinan, dan ketersediaan sekolah di setiap kecamatan.

“Kami butuh pendekatan berbasis data, bukan hanya berdasarkan kemauan politik,” tegasnya. Teknologi geospasial dapat digunakan untuk memastikan alokasi sekolah yang proporsional.

Selain itu, kualitas pendidikan di sekolah swasta gratis harus menjadi fokus. Standar minimum fasilitas, kurikulum, dan tenaga pendidik perlu ditegakkan untuk memastikan siswa mendapatkan pendidikan setara dengan sekolah negeri.

Pelibatan komunitas lokal dalam pengawasan juga penting untuk menjaga transparansi dan mencegah penyalahgunaan anggaran.

Pemprov DKI juga perlu menjelaskan secara terbuka progres harmonisasi Pergub dan alokasi anggaran, untuk menghilangkan persepsi bahwa kebijakan ini hanya untuk pencitraan.

Komunikasi yang transparan akan membantu membangun kepercayaan publik bahwa program ini benar-benar bertujuan untuk pemerataan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Follow WhatsApp Channel djourno.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Kemacetan TB Simatupang: Noda di Tengah Upaya Pramono Anung Atasi Macet Jakarta
Pramono Pangkas Trotoar TB Simatupang: Solusi Kemacetan atau Pengorbanan Pejalan Kaki?
Pajak Daerah dan Stabilitas Sosial: Antara Ambisi Fiskal dan Gelombang Protes
Warga Jateng Puas Kinerja Ahmad Luthfi di Kesehatan, Tersandung di Lapangan Kerja
Tertekan Dampak Transfer Pusat Dipangkas: Pemerintah Daerah Naikkan Pajak, Picu Protes Besar
Survei Litbang Kompas: Warga Jawa Barat Menanti Solusi Ekonomi dari Dedi Mulyadi
Survei Litbang Kompas: Warga Jawa Barat Kecewa Kinerja Dedi Mulyadi Atasi Lapangan Kerja   
Gelombang Kenaikan Pajak Daerah dan Riak Perlawanan Rakyat

Berita Terkait

Rabu, 27 Agustus 2025 - 12:14 WIB

Kemacetan TB Simatupang: Noda di Tengah Upaya Pramono Anung Atasi Macet Jakarta

Minggu, 24 Agustus 2025 - 12:45 WIB

Pramono Pangkas Trotoar TB Simatupang: Solusi Kemacetan atau Pengorbanan Pejalan Kaki?

Jumat, 22 Agustus 2025 - 18:25 WIB

Pajak Daerah dan Stabilitas Sosial: Antara Ambisi Fiskal dan Gelombang Protes

Rabu, 20 Agustus 2025 - 10:10 WIB

Warga Jateng Puas Kinerja Ahmad Luthfi di Kesehatan, Tersandung di Lapangan Kerja

Selasa, 19 Agustus 2025 - 15:22 WIB

Tertekan Dampak Transfer Pusat Dipangkas: Pemerintah Daerah Naikkan Pajak, Picu Protes Besar

Berita Terbaru

Kolom

Warisan Pemikiran Ekonomi Syafruddin Prawiranegara

Jumat, 29 Agu 2025 - 13:28 WIB