Ketika Istri Ridwan Kamil Kritik Kebijakan Dedi Mulyadi

- Penulis

Jumat, 1 Agustus 2025 - 15:54 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

djourno.id—Di sebuah sudut Kota Cimahi, di bawah langit Jawa Barat yang cerah pada Kamis (31/7/2025), Atalia Praratya, anggota Komisi VIII DPR RI sekaligus istri mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, melangkah masuk ke Sentra Abiyoso.

Kunjungannya ke Sekolah Rakyat Cimahi bukan sekadar agenda formal seorang legislator, melainkan sebuah perjalanan untuk mendengar, melihat, dan menyuarakan apa yang dirasa tak lagi selaras dalam dunia pendidikan Jawa Barat.

Dengan nada yang tegas namun penuh empati, Atalia menyoroti kebijakan kontroversial Gubernur Jawa Barat saat ini, Dedi Mulyadi, yang menaikkan jumlah siswa per rombongan belajar (rombel) dari 36 menjadi 50 siswa.

Kritiknya tak hanya menggugah, tetapi juga mengundang refleksi mendalam: apakah pendidikan di Jawa Barat sedang mengejar angka, atau masih memegang teguh kualitas?

 

Kebijakan Rombel 50 Siswa

Kebijakan peningkatan jumlah siswa per rombel menjadi 50 anak, yang mulai diterapkan di sejumlah sekolah negeri di Jawa Barat sejak awal tahun ajaran 2024/2025, awalnya dimaksudkan untuk mengatasi keterbatasan ruang kelas di tengah lonjakan jumlah siswa.

Berdasarkan data Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, pada tahun 2024, terdapat sekitar 3,2 juta siswa sekolah menengah pertama dan atas di provinsi ini, dengan pertumbuhan tahunan sekitar 2,5%.

Sementara itu, jumlah ruang kelas yang tersedia hanya bertambah rata-rata 1% per tahun, menciptakan kesenjangan yang signifikan.

Untuk mengakomodasi semua siswa tanpa harus membangun gedung baru dalam waktu singkat, kebijakan rombel 50 siswa dianggap sebagai solusi pragmatis oleh pemerintahan Dedi Mulyadi.

Namun, pragmatisme ini tak luput dari kritik. Atalia, dalam kunjungannya ke Sekolah Rakyat Cimahi, menyoroti dampak langsung kebijakan ini di lapangan.

“Bagaimana mungkin anak-anak bisa nyaman kalau mereka duduk berhimpitan?” tanyanya dengan nada retoris yang mengena. “Belum lagi gerahnya, belum lagi aktivitas lainnya.”

Ia menekankan bahwa kelas yang terlalu padat bukan hanya soal keterbatasan ruang fisik, tetapi juga tentang ruang psikologis dan pedagogis bagi siswa untuk belajar.

Menurut standar nasional yang diatur dalam Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah, jumlah ideal siswa per rombel untuk SMP dan SMA adalah 28 hingga 32 anak, jauh di bawah angka 50 yang kini diterapkan di Jawa Barat.

Atalia juga mendengar curahan hati para guru yang merasa kewalahan. “Bayangkan ngurus anak yang 25 saja repot, apalagi dua kali lipat, di usia remaja yang penuh dinamika,” ujarnya, menggambarkan tantangan nyata di kelas.

Data dari Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jawa Barat menunjukkan bahwa 68% guru di wilayah perkotaan melaporkan kesulitan mengelola kelas dengan lebih dari 40 siswa, terutama dalam hal pembelajaran interaktif dan penilaian individual.

Baca Juga:  Kebijakan Sekolah Swasta Gratis Jakarta: Pemerataan atau Sekadar Pencitraan?

Kebijakan ini, menurut Atalia, berisiko menurunkan kualitas pendidikan, karena guru terpaksa fokus pada pengendalian kelas ketimbang pengembangan potensi siswa.

 

Sekolah Rakyat Cimahi: Oase di Tengah Polemik

Kontras dengan kebijakan rombel 50 siswa, Sekolah Rakyat Cimahi yang dikunjungi Atalia menawarkan pemandangan berbeda.

Sekolah ini, yang beroperasi di bawah naungan Sentra Abiyoso, hanya memiliki 100 siswa, dengan setiap rombel terdiri dari 25 anak.

Atalia tampak terkesan saat meninjau fasilitas sekolah: ruang kelas yang lapang, tempat tidur yang rapi, kamar mandi yang bersih, hingga ruang makan yang terjaga kebersihannya.

“Saya melihat bagaimana anak-anak dimanusiakan,” katanya, nada suaranya penuh kekaguman. “Mereka diberikan tempat yang layak, dibiasakan dengan kebiasaan baik.”

Sekolah Rakyat Cimahi bukanlah sekolah negeri biasa. Didirikan sebagai bagian dari program inisiatif sosial, sekolah ini menargetkan anak-anak dari keluarga kurang mampu, namun dengan pendekatan pendidikan yang holistik.

Kurikulumnya tidak hanya mencakup pelajaran akademik, tetapi juga pembinaan karakter, keterampilan hidup, dan nilai-nilai kebangsaan.

Atalia, yang juga melakukan sosialisasi empat pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika) bersama Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Prof. Deni Kamaluddin Yusup, melihat sekolah ini sebagai contoh bagaimana pendidikan dapat berjalan dengan manusiawi.

“Kami ingin masyarakat memahami dan mengamalkan inti sari empat pilar tersebut,” ujarnya, menegaskan bahwa pendidikan bukan hanya soal akademik, tetapi juga pembentukan identitas bangsa.

 

Bayang-Bayang Legacy Ridwan Kamil

Kritik Atalia terhadap kebijakan Dedi Mulyadi tak bisa dilepaskan dari konteks historis kepemimpinan Ridwan Kamil sebagai Gubernur Jawa Barat periode 2018–2023.

Selama masa jabatannya, Ridwan Kamil dikenal dengan sejumlah inisiatif di sektor pendidikan, seperti program “Jabar Masagi” yang menekankan pendidikan karakter berbasis budaya Sunda, serta pembangunan dan renovasi ribuan ruang kelas melalui skema “Rutilahu Sekolah”.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat menunjukkan bahwa pada 2022, angka partisipasi sekolah (APS) untuk jenjang SMP di Jawa Barat mencapai 98,7%, salah satu yang tertinggi di Indonesia, sebagian berkat perluasan akses pendidikan di daerah terpencil.

Ridwan Kamil juga memperkenalkan konsep sekolah inklusif, yang memastikan anak-anak berkebutuhan khusus mendapatkan tempat di sistem pendidikan reguler.

Pendekatannya selalu menekankan keseimbangan antara kuantitas dan kualitas, dengan fokus pada fasilitas yang layak dan pembelajaran yang bermakna.

Sekolah Rakyat Cimahi, meski bukan bagian langsung dari program pemerintah provinsi, mencerminkan semangat yang serupa: kecil, terfokus, dan manusiawi.

Atalia, meski tak secara eksplisit menyebut legacy suaminya, seolah mengingatkan bahwa Jawa Barat pernah memiliki visi pendidikan yang berbeda.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Follow WhatsApp Channel djourno.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Kemacetan TB Simatupang: Noda di Tengah Upaya Pramono Anung Atasi Macet Jakarta
Pramono Pangkas Trotoar TB Simatupang: Solusi Kemacetan atau Pengorbanan Pejalan Kaki?
Pajak Daerah dan Stabilitas Sosial: Antara Ambisi Fiskal dan Gelombang Protes
Warga Jateng Puas Kinerja Ahmad Luthfi di Kesehatan, Tersandung di Lapangan Kerja
Tertekan Dampak Transfer Pusat Dipangkas: Pemerintah Daerah Naikkan Pajak, Picu Protes Besar
Survei Litbang Kompas: Warga Jawa Barat Menanti Solusi Ekonomi dari Dedi Mulyadi
Survei Litbang Kompas: Warga Jawa Barat Kecewa Kinerja Dedi Mulyadi Atasi Lapangan Kerja   
Gelombang Kenaikan Pajak Daerah dan Riak Perlawanan Rakyat

Berita Terkait

Rabu, 27 Agustus 2025 - 12:14 WIB

Kemacetan TB Simatupang: Noda di Tengah Upaya Pramono Anung Atasi Macet Jakarta

Minggu, 24 Agustus 2025 - 12:45 WIB

Pramono Pangkas Trotoar TB Simatupang: Solusi Kemacetan atau Pengorbanan Pejalan Kaki?

Jumat, 22 Agustus 2025 - 18:25 WIB

Pajak Daerah dan Stabilitas Sosial: Antara Ambisi Fiskal dan Gelombang Protes

Rabu, 20 Agustus 2025 - 10:10 WIB

Warga Jateng Puas Kinerja Ahmad Luthfi di Kesehatan, Tersandung di Lapangan Kerja

Selasa, 19 Agustus 2025 - 15:22 WIB

Tertekan Dampak Transfer Pusat Dipangkas: Pemerintah Daerah Naikkan Pajak, Picu Protes Besar

Berita Terbaru

Kolom

Warisan Pemikiran Ekonomi Syafruddin Prawiranegara

Jumat, 29 Agu 2025 - 13:28 WIB