God Works in Mysterious Ways: Debat Pakar atas Kebijakan Abolisi dan Amnesti Prabowo

- Penulis

Jumat, 1 Agustus 2025 - 14:25 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

djourno.id—Di ruang tahanan Rutan Cipinang, Jakarta Timur, sebuah momen penuh haru tercipta. Anies Baswedan, mantan Gubernur DKI Jakarta, menjenguk Thomas Trikasih Lembong—atau yang akrab disapa Tom Lembong—pada Jumat, 1 Agustus 2025.

Di sana, Tom, yang baru saja menerima abolisi dari Presiden Prabowo Subianto, mengungkapkan rasa syukurnya dengan kalimat yang menyentuh: “Tuhan selalu berpihak dan memberikan jalan pada kebenaran.

God works in mysterious ways.” Kata-kata itu, menurut Anies, mencerminkan keyakinan Tom bahwa keadilan akhirnya menemukan jalannya, meski melalui cara yang tak terduga.

Bersama istrinya, Ciska, Tom menyatakan kebahagiaan dan rasa syukur atas kebebasan yang kini di depan mata, setelah 9 bulan 3 hari terpisah dari keluarga sejak 29 Oktober 2024.

Anies, yang hadir sebagai sahabat sekaligus mantan rekan politik, tak hanya menyampaikan kebahagiaan keluarga Tom. Ia juga mengapresiasi langkah Presiden Prabowo dan DPR RI yang menyetujui abolisi tersebut.

“Kami ingin menyampaikan apresiasi kepada Bapak Presiden Prabowo yang mengusulkan abolisi, dan kepada DPR RI yang menyetujui usulan sehingga Pak Tom Lembong bisa segera berkumpul kembali dengan keluarga,” ujar Anies dengan nada penuh penghormatan.

Bagi keluarga Tom, momen ini adalah anugerah, sebuah asa baru setelah berbulan-bulan terbelenggu oleh proses hukum yang sarat kontroversi.

Di sisi lain, Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, juga menyambut gembira kabar amnesti yang diberikan kepadanya bersama 1.115 terpidana lainnya.

Meski belum banyak berkomentar langsung, tim hukum Hasto menyampaikan rasa terima kasih kepada Presiden Prabowo atas kebijakan ini. “Terima kasih, Pak Prabowo!” ujar kubu Hasto.

Bagi Hasto, yang divonis 3,5 tahun penjara dalam kasus suap terkait pergantian antarwaktu anggota DPR untuk Harun Masiku, amnesti ini menjadi angin segar, menandai babak baru setelah proses hukum yang memicu polarisasi di kalangan pendukungnya.

Keputusan Presiden Prabowo untuk memberikan abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto, yang disetujui DPR pada 31 Juli 2025, bukan sekadar tindakan hukum.

Ia adalah isyarat politik yang kuat, sebuah langkah menuju rekonsiliasi nasional menjelang peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia.

Namun, di balik sambutan hangat dari para tokoh dan publik, kebijakan ini juga memicu pro dan kontra di kalangan pakar hukum, mencerminkan kompleksitas isu keadilan di Indonesia.

 

Respons Positif: Harapan untuk Persatuan

Keputusan ini mendapat sambutan positif dari sejumlah tokoh. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, menyebutnya sebagai “langkah strategis dalam penegakan keadilan.”

Dalam program Gerak Cepat Politik Kompas pada 9 Juli 2025, Mahfud menegaskan bahwa kasus Tom dan Hasto sarat dengan nuansa politik.

“Jeritan hati masyarakat dan opini publik ternyata benar bahwa kasus ini sangat kental nuansa politiknya, dan itu tidak boleh diulangi lagi,” ujarnya.

Ia melihat kebijakan ini sebagai sinyal bahwa hukum tidak boleh lagi menjadi alat politik, sekaligus harapan agar Indonesia menuju negara hukum yang sejati.

Eks Ketua Mahkamah Konstitusi lainnya, Jimly Asshiddiqie, juga memuji keputusan ini sebagai “hebat, cerdas, dan tegas.”

Dalam cuitannya di X, ia menilai langkah Prabowo sebagai inisiatif langka yang patut diapresiasi, terutama karena mampu meredam polarisasi politik.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Gelora, Fahri Hamzah, menyebutnya “kabar gembira yang mengharukan.”

Ia menyoroti bahwa kasus Tom dan Hasto telah membelah masyarakat, dengan pendukung masing-masing melihat proses hukum sebagai balas dendam politik.

“Presiden datang dengan sikap tegas untuk menggunakan kewenangannya demi kerukunan masyarakat,” katanya.

Dari kalangan partai, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKB, Abdullah, menegaskan bahwa kebijakan ini membantu meningkatkan stabilitas politik.

“Pemerintah siap membuka ruang pengampunan dan memulai proses rekonsiliasi,” ujarnya, seraya menekankan bahwa keputusan ini telah dipertimbangkan secara matang dengan mematuhi prinsip keadilan dan transparansi.

Baca Juga:  Kebijakan AI Nasional: Peta Strategis Indonesia Menuju Masa Depan Digital

Tokoh pemuda nasional, Achmad Annama dari DPP KNPI, juga memuji kebijakan ini sebagai bentuk komitmen untuk memulihkan marwah peradilan yang selama ini dianggap menyimpang dari nilai keadilan.

 

Pro dan Kontra: Persimpangan Keadilan dan Politik

Meski mendapat banyak pujian, kebijakan ini tidak luput dari kritik. Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, menilai bahwa pemberian abolisi dan amnesti ini justru merupakan bentuk politisasi hukum.

“Ini politisasi hukum ‘dibereskan’ dengan politik lagi,” katanya.

Menurutnya, meskipun secara konstitusional kebijakan ini sah berdasarkan Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945, penggunaannya dalam kasus Tom dan Hasto lebih bermuatan politis ketimbang hukum murni.

Ia khawatir langkah ini bisa menjadi preseden buruk bagi pemberantasan korupsi, karena ada cara hukum normal seperti banding yang seharusnya digunakan.

Bivitri menjelaskan perbedaan teknis antara abolisi dan amnesti dengan lugas: “Amnesti menghapus akibat hukum dari tindak pidana, sedangkan abolisi menghentikan seluruh proses hukum, termasuk penuntutan.”

Dalam kasus Tom, yang masih dalam proses banding atas vonis 4,5 tahun penjara karena korupsi impor gula, abolisi menghentikan proses hukumnya sepenuhnya.

Sementara itu, amnesti untuk Hasto, yang telah divonis 3,5 tahun penjara dalam kasus suap Harun Masiku, menghapus hukumannya.

Namun, Bivitri menegaskan bahwa menyelesaikan kasus melalui jalur politik seperti ini dapat melemahkan integritas sistem hukum.

Mantan penyidik senior KPK, Novel Baswedan, juga menyuarakan kekecewaan. Ia menyebut korupsi sebagai kejahatan serius yang mengkhianati kepentingan negara, dan penyelesaian secara politis seperti ini berpotensi merusak upaya pemberantasan korupsi.

“Ketika penyelesaian kasus tindak pidana korupsi dilakukan secara politis, ini akan menjadi preseden buruk,” ujarnya.

Khusus untuk kasus Hasto, Novel menilai amnesti justru menutup peluang pengusutan kasus yang lebih besar, terutama karena proses hukumnya sempat terhambat oleh intervensi eks Ketua KPK Firli Bahuri.

Namun, untuk kasus Tom, Novel setuju bahwa Tom seharusnya dibebaskan oleh hakim karena kurangnya bukti yang kuat.

Di sisi lain, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mendukung kebijakan ini dengan catatan. Ia melihat kasus Tom dan Hasto sebagai kasus bernuansa politis, bukan kejahatan murni.

“Buktinya, mengapa hanya Tom yang dituntut dalam kasus impor gula, padahal menteri perdagangan lain melakukan hal serupa?” katanya.

Abdul bahkan mendesak agar Jaksa Agung ST Burhanuddin dicopot, karena ia menduga ada motif politik di balik kelanjutan kasus Tom. Baginya, kebijakan Prabowo adalah langkah untuk mencegah dendam politik yang dapat memperburuk polarisasi.

 

Pesan Keadilan di Tengah Kontroversi

Terlepas dari pro dan kontra, kebijakan abolisi untuk Tom Lembong dan amnesti untuk Hasto Kristiyanto mencerminkan upaya besar untuk menegakkan keadilan dalam makna yang lebih luas—bukan hanya keadilan retributif, tetapi juga restoratif.

Bagi pendukung Tom dan Hasto, keputusan ini adalah kemenangan atas apa yang mereka anggap sebagai “penyanderaan politik.”

Bagi kritikus, ini adalah pengingat bahwa hukum harus ditegakkan secara murni, tanpa campur tangan politik.

Namun, di tengah perbedaan pandangan, ada benang merah yang mengikat: harapan agar hukum tidak lagi menjadi alat untuk memecah belah, tetapi jembatan untuk menyatukan.

Keputusan ini, seperti kata Tom Lembong, mungkin adalah cara Tuhan bekerja secara misterius.

Di tangan Presiden Prabowo, abolisi dan amnesti menjadi nyala kecil di tengah kabut polarisasi, menawarkan harapan bahwa Indonesia dapat melangkah menuju masa depan yang lebih harmonis.

Apapun pandangan kita tentang langkah ini, satu hal pasti: ini adalah ikhtiar untuk menyembuhkan luka bangsa, menuju keadilan yang tidak hanya menghukum, tetapi juga memaafkan demi kebaikan bersama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Follow WhatsApp Channel djourno.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Antara Infrastruktur dan Kesejahteraan: Strategi Kebijakan AHY Wujudkan Asta Cita
Hapus Tantiem: Langkah Berani Rosan Roeslani Perbaiki Tata Kelola BUMN  
Megawati: PDIP Dukung Kebijakan Prabowo yang Pro Rakyat, Kritisi Penyimpangan
Di Balik Kebijakan Prabowo Berikan Abolisi dan Amnesti untuk Tom Lembong dan Hasto
Di Balik Kebijakan PPATK Blokir Rekening Nganggur: Perlindungan atau Penyiksaan Rakyat?
Mengapa Hilirisasi Nikel Tidak Akan Berhasil Tanpa Sinkronisasi Kebijakan?
Kebijakan AI Nasional: Peta Strategis Indonesia Menuju Masa Depan Digital
Kebijakan yang Berhasil Membawa Ekonomi Indonesia Tumbuh di Atas 8%

Berita Terkait

Senin, 4 Agustus 2025 - 15:15 WIB

Antara Infrastruktur dan Kesejahteraan: Strategi Kebijakan AHY Wujudkan Asta Cita

Senin, 4 Agustus 2025 - 10:59 WIB

Hapus Tantiem: Langkah Berani Rosan Roeslani Perbaiki Tata Kelola BUMN  

Jumat, 1 Agustus 2025 - 14:25 WIB

God Works in Mysterious Ways: Debat Pakar atas Kebijakan Abolisi dan Amnesti Prabowo

Jumat, 1 Agustus 2025 - 08:37 WIB

Di Balik Kebijakan Prabowo Berikan Abolisi dan Amnesti untuk Tom Lembong dan Hasto

Kamis, 31 Juli 2025 - 09:06 WIB

Di Balik Kebijakan PPATK Blokir Rekening Nganggur: Perlindungan atau Penyiksaan Rakyat?

Berita Terbaru