djourno.id—Di tengah riuh rendah dinamika politik Indonesia, sebuah keputusan besar lahir dari Istana.
Presiden Prabowo Subianto, dengan langkah yang tak terduga, mengeluarkan kebijakan strategis: abolisi untuk mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong dan amnesti untuk Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto.
Keputusan ini, yang diumumkan menjelang peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 2025, bukan sekadar pengampunan hukum. Ia adalah simbol harapan, isyarat rekonsiliasi, dan cerminan tekad untuk menyatukan bangsa yang terbelah oleh polarisasi politik.
Mengapa Abolisi dan Amnesti?
Abolisi dan amnesti, meski sering disandingkan, memiliki makna hukum yang berbeda.
Abolisi, seperti yang diberikan kepada Tom Lembong, adalah penghentian seluruh proses hukum terhadap seseorang.
Artinya, segala tuduhan pidana yang menjeratnya dihapus, seolah tak pernah ada. Amnesti, yang diberikan kepada Hasto Kristiyanto, adalah pengampunan hukuman bagi seseorang yang telah dijatuhi vonis.
Hukuman dihapus, tetapi catatan perbuatan tetap ada. Dalam konteks ini, keduanya menjadi alat politik yang kuat untuk menunjukkan sikap kenegarawanan seorang pemimpin.
Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas, yang mengusulkan kebijakan ini kepada Presiden, menjelaskan bahwa langkah ini diambil demi kepentingan bangsa dan negara.
“Kita ingin ada persatuan menjelang perayaan 17 Agustus,” ujar Supratman dalam konferensi pers di gedung DPR RI, Jakarta, pada 31 Juli 2025.
Ia menegaskan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk merajut rasa persaudaraan, menciptakan kondusivitas, dan mengajak seluruh elemen politik untuk membangun Indonesia bersama-sama.
Namun, di balik alasan formal itu, ada narasi yang lebih dalam. Keputusan ini adalah respons terhadap luka politik yang telah lama menggores bangsa.
Tom Lembong, yang pernah menjadi co-pilot tim sukses Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, dan Hasto Kristiyanto, tokoh kunci PDI Perjuangan, dianggap oleh banyak pihak sebagai korban “penyanderaan politik” melalui rekayasa hukum. Proses hukum yang menjerat mereka, menurut para pendukungnya, lebih didorong oleh motif politik ketimbang keadilan.
Mantan Menko Polhukam Mahfud MD menyebut kebijakan ini sebagai “langkah strategis dalam penegakan keadilan.”
Dalam cuitannya di X pada 1 Agustus 2025, ia menulis, “Presiden Prabowo mengambil langkah strategis dengan memberi amnesti kepada Hasto dan abolisi kepada Tom Lembong. Ini sinyal tegas bahwa praktik penyanderaan politik melalui rekayasa hukum tidak lagi bisa dibiarkan.”
Mahfud menegaskan bahwa kebijakan ini bukan hanya soal pengampunan, tetapi juga pernyataan bahwa hukum tidak boleh lagi menjadi alat politik.
Mengapa Tom dan Hasto Layak?
Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto bukanlah nama sembarangan. Keduanya memiliki rekam jejak yang kuat dalam kontribusi mereka untuk Indonesia, yang menjadi salah satu pertimbangan utama dalam kebijakan ini.
Tom, seorang ekonom terkemuka, dikenal sebagai Menteri Perdagangan yang mendorong reformasi ekonomi dan perdagangan internasional. Ia juga pernah menjadi co-pilot tim sukses pasangan Anies-Muhaimin, sebuah peran yang membuatnya menjadi target politik.
Proses hukum yang menjeratnya, menurut pendukungnya, adalah upaya untuk melemahkan lawan politik.
Sementara itu, Hasto Kristiyanto adalah otak strategis PDI Perjuangan. Ia dikenal sebagai figur yang vokal dalam memperjuangkan demokrasi dan keadilan sosial.
Supratman Andi Agtas menegaskan bahwa prestasi dan kontribusi keduanya menjadi alasan kuat untuk memberikan abolisi dan amnesti.
“Keduanya memiliki jasa bagi bangsa, dan ini adalah pertimbangan yang telah disepakati DPR,” ujarnya.
Keputusan ini juga mencerminkan pengakuan bahwa hukuman yang dijatuhkan kepada mereka lebih merupakan produk dari dinamika politik ketimbang keadilan murni.
Sambutan Positif
Keputusan Presiden Prabowo menuai sambutan hangat dari berbagai kalangan. Fahri Hamzah, politikus senior, menyebutnya sebagai “kabar gembira yang mengharukan.”
Dalam tulisannya di X, ia menulis, “Presiden datang dengan sikap tegas untuk menggunakan kewenangannya dalam memutuskan sesuatu yang punya dampak besar kepada kembalinya kerukunan dalam masyarakat kita.”
Fahri melihat kebijakan ini sebagai langkah rekonsiliasi besar menjelang peringatan 80 tahun kemerdekaan, sebuah momentum untuk menyatukan elite dan rakyat.
Muhammad Said Didu, mantan pejabat publik, juga memberikan pujian. “Terima kasih kepada Bapak Presiden @Prabowo yang memberikan abolisi kepada Tom Lembong. Semoga ini menjadi awal penghentian penggunaan hukum sebagai alat politik,” tulisnya di X.
Ia menyoroti bahwa abolisi untuk Tom menunjukkan pengakuan Presiden bahwa ada kesalahan dalam proses hukum yang menjeratnya.
Publik di media sosial juga ramai menyambut keputusan ini. Jagat maya, yang selama berbulan-bulan dipenuhi oleh polarisasi akibat kasus Tom dan Hasto, kini dipenuhi dengan ungkapan syukur dan harapan.
Banyak yang melihat kebijakan ini sebagai angin segar, sebuah sinyal bahwa Indonesia sedang bergerak menuju rekonsiliasi sejati.
“Ini langkah besar menuju persatuan. Presiden Prabowo menunjukkan bahwa dia adalah pemimpin untuk semua,” tulis salah satu pengguna X.
Menyentuh Hati, Menyatukan Bangsa
Di balik keputusan ini, ada cerita tentang bangsa yang sedang mencari jalan untuk sembuh dari luka polarisasi.
Selama bertahun-tahun, Indonesia telah terbelah oleh politik aliran, di mana perbedaan pandangan sering kali berujung pada permusuhan.
Kasus Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto menjadi simbol dari pembelahan itu. Pendukung mereka melihat proses hukum sebagai upaya untuk membungkam suara kritis, sementara pihak lain memandangnya sebagai penegakan hukum.
Namun, di tangan Presiden Prabowo, konflik ini diubah menjadi peluang untuk menyatukan.
Keputusan untuk memberikan abolisi dan amnesti bukanlah tanda kelemahan, melainkan kekuatan.
Ia menunjukkan bahwa seorang pemimpin tidak hanya berkuasa untuk menghukum, tetapi juga untuk memaafkan demi kebaikan yang lebih besar. Seperti yang ditulis Fahri Hamzah, “Di luar sana, dunia tidak sedang baik-baik saja. Indonesia sebagai negara besar hendaknya memberikan contoh menguatnya kohesi sosial.”
Menjelang 17 Agustus 2025, ketika bendera merah putih berkibar di seluruh penjuru negeri, kebijakan ini menjadi pengingat bahwa kemerdekaan sejati bukan hanya tentang bebas dari penjajahan, tetapi juga tentang merdeka dari dendam dan perpecahan.
Presiden Prabowo, dengan langkahnya yang berani, telah menabur benih harapan untuk Indonesia yang lebih bersaudara.
Semoga, seperti doa Fahri Hamzah, peringatan kemerdekaan ke-80 menjadi momentum rekonsiliasi, baik di tingkat elite maupun rakyat. Merdeka!