Di Balik Kebijakan PPATK Blokir Rekening Nganggur: Perlindungan atau Penyiksaan Rakyat?

- Penulis

Kamis, 31 Juli 2025 - 09:06 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

djourno.id—Di tengah hiruk-pikuk Jakarta, sebuah kebijakan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tiba-tiba mengguncang kehidupan ribuan warga Indonesia.

Rekening bank yang sudah lama tak disentuh, yang dalam istilah perbankan disebut “dormant” atau menganggur, kini diblokir sementara.

Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, mengklaim ini adalah langkah heroik untuk melindungi publik dari kejahatan finansial seperti judi online, peretasan, hingga pencucian uang.

Tapi, di sisi lain, kebijakan ini memicu gelombang protes, dari warga biasa hingga anggota DPR, yang menyebutnya sebagai langkah gegabah, bahkan melanggar hukum.

Apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa PPATK begitu ngotot? Dan, bagaimana Presiden Prabowo Subianto harus menyikapi kegaduhan ini?

 

Mengapa Rekening Menganggur Jadi Sasaran?

Bayangkan Anda memiliki rekening bank yang sengaja “dibiarkan” untuk menabung jangka panjang—mungkin untuk pendidikan anak, dana darurat, atau tabungan hari tua. Tiba-tiba, tanpa pemberitahuan, rekening itu tak bisa diakses.

Ini bukan cerita fiksi, melainkan kenyataan yang dialami banyak nasabah setelah PPATK mengeluarkan kebijakan pemblokiran rekening dormant pada Mei 2025.

Menurut Ivan Yustiavandana, alasan di balik kebijakan ini adalah maraknya penyalahgunaan rekening pasif untuk aktivitas ilegal.

Data PPATK mencatat fakta mencengangkan: sejak 2020, lebih dari satu juta rekening diduga terkait aktivitas kriminal, dengan 150.000 di antaranya adalah rekening nominee yang diperjualbelikan atau diretas.

Lebih spesifik lagi, pada 2024, PPATK menemukan 28.000 rekening digunakan untuk deposit judi online, banyak di antaranya adalah rekening dormant yang berpindah tangan tanpa sepengetahuan pemilik asli.

Total nilai transaksi di 140.000 rekening pasif mencapai Rp428,37 miliar dalam satu dekade, membuka celah besar untuk pencucian uang, perdagangan narkotika, hingga korupsi.

“Rekening pasif sering jadi kendaraan empuk buat kejahatan finansial. Pemiliknya tidak sadar, tiba-tiba rekening mereka dipakai untuk transaksi ilegal,” ujar Ivan dalam pernyataan resminya. Ia menegaskan bahwa pemblokiran ini bersifat sementara, hanya untuk menghentikan transaksi, dan dana nasabah tetap aman.

Nasabah bisa mengaktifkan kembali rekening mereka dengan mendatangi bank. Namun, benarkah semudah itu?

 

Motif di Balik Kebijakan: Perlindungan atau Kontrol Berlebihan?

Di permukaan, motif PPATK tampak mulia: melindungi masyarakat dari kejahatan siber yang kian merajalela.

Judi online, misalnya, telah menjadi momok sosial. Ivan menyebut dampaknya mengerikan—dari perceraian, kebangkrutan, hingga kasus ekstrem seperti bunuh diri atau penjualan anak.

Dengan maraknya peretasan dan penjualan rekening, PPATK merasa perlu bertindak cepat. Apalagi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang memberi mereka wewenang untuk menghentikan transaksi mencurigakan.

Namun, di balik niat baik itu, banyak yang mencium bau “abuse of power.” Anggota Komisi XI DPR, Melchias Marcus Mekeng, menyebut kebijakan ini seperti mengatur uang pribadi orang.

“Mungkin orang sengaja menyimpan uang di rekening pasif untuk alasan pribadi. PPATK terlalu jauh masuk ke ranah pribadi,” katanya.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga mempertanyakan kurangnya transparansi dan selektivitas dalam pemblokiran. “Jangan sampai tabungan konsumen yang sengaja diendapkan untuk keperluan tertentu ikut jadi korban,” ujar Rio Priambodo dari YLKI.

Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) bahkan lebih keras. Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, menyebut kebijakan ini “jelas melanggar hukum” karena pemblokiran seharusnya dilakukan hanya setelah ada bukti kuat tindak pidana, bukan berdasarkan status “dormant” semata.

Ia menyinggung rekening anak-anak atau orang tua yang sengaja dibiarkan untuk tabungan jangka panjang, yang kini terancam. “Ini keterlaluan,” tegasnya.

 

Kegaduhan Publik: Dari Media Sosial hingga Parlemen

Kebijakan ini tak hanya menuai kritik dari para elite, tetapi juga memicu kemarahan di kalangan masyarakat. Media sosial menjadi saksi gelombang protes.

Baca Juga:  Kebijakan yang Berhasil Membawa Ekonomi Indonesia Tumbuh di Atas 8%

Seorang warganet mengeluh rekeningnya yang berisi uang hadiah lomba anaknya diblokir tanpa alasan jelas.

Yang lain menyebut tabungan untuk pengobatan orang tua mereka ikut terkena. Andrew Darwis, pendiri forum Kaskus, bahkan secara terbuka mengeluhkan rekeningnya di Bank Jago yang tiba-tiba tak bisa diakses.

Di parlemen, anggota Komisi III DPR, Hinca Pandjaitan, mempertanyakan urgensi kebijakan ini dan berencana memanggil PPATK untuk rapat kerja setelah masa reses. “Publik harus tahu dasar dan tujuannya apa. Ini isu sensitif,” katanya.

Namun, ada juga yang mendukung, seperti Wakil Ketua Komisi III DPR, Rano Alfath, yang menyebut kebijakan ini strategis untuk mencegah kejahatan finansial, selama dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan transparansi.

Kegaduhan ini mencapai puncaknya ketika Presiden Prabowo Subianto memanggil Ivan Yustiavandana dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo ke Istana pada 30 Juli 2025.

Ivan sendiri irit bicara, hanya menyebut banyak hal dibahas tanpa merinci apakah pemblokiran rekening menjadi topik utama. “Tanya ke Mensesneg,” katanya singkat, seolah menghindari sorotan media.

Namun, pada pertemuan sebelumnya di bulan Mei, Ivan mengklaim Prabowo mendukung kebijakan ini dengan catatan agar kepentingan nasabah tetap dijaga.

 

Dampak: Antara Keamanan dan Kekacauan

Dampak kebijakan ini terasa nyata. Di satu sisi, PPATK berhasil menghentikan potensi penyalahgunaan ratusan ribu rekening untuk kejahatan finansial.

Data mereka menunjukkan lebih dari 10 juta penerima bantuan sosial belum menggunakan rekening mereka selama lebih dari tiga tahun, dengan dana Rp2,1 triliun mengendap. Sinyal distribusi bansos yang tidak efektif. Ini memperkuat argumen PPATK bahwa rekening dormant adalah celah rawan.

Namun, di sisi lain, pemblokiran massal tanpa pemberitahuan jelas telah menyulitkan banyak nasabah.

Proses reaktivasi rekening, meski diklaim sederhana oleh Ivan, ternyata tidak selalu mudah.

PPATK menyebut prosesnya memakan waktu 20 hari kerja, yang bagi sebagian orang—terutama masyarakat bawah yang bergantung pada tabungan—bisa terasa seperti selamanya.

Belum lagi, kurangnya sosialisasi membuat banyak nasabah bingung, bahkan panik, ketika mendapati rekening mereka tak bisa diakses.

 

Sikap Prabowo: Antara Dukungan dan Koreksi

Presiden Prabowo Subianto berada di posisi sulit. Di satu sisi, ia tampak mendukung langkah PPATK untuk menjaga keamanan finansial, seperti yang disampaikan Ivan pada Mei 2025.

Namun, kegaduhan publik dan kritik dari berbagai kalangan, termasuk DPR dan MAKI, menuntutnya untuk bertindak lebih dari sekadar memanggil pejabat ke Istana.

Prabowo seharusnya mengambil pendekatan yang lebih transparan dan pro-rakyat. Pertama, ia perlu memerintahkan PPATK untuk memperbaiki mekanisme pemblokiran, seperti memastikan hanya rekening dengan indikasi kuat aktivitas kriminal yang ditargetkan, bukan pemblokiran massal.

Kedua, ia harus mendorong PPATK untuk meningkatkan sosialisasi dan membuka saluran pengaduan yang mudah diakses, seperti hotline atau crisis center yang diminta YLKI.

Ketiga, Prabowo bisa memanfaatkan wewenangnya untuk mengaudit kinerja PPATK, memastikan kebijakan ini tidak melanggar UU Perbankan atau UU TPPU, seperti yang dikhawatirkan oleh Mekeng dan MAKI.

 

Menggelitik: Cermin yang Pecah

Ada pepatah yang dikutip dalam sebuah opini publik: “Buruk rupa, cermin dibelah.”

Kebijakan PPATK ini seperti cermin yang memantulkan kekurangan sistem keuangan kita, tapi alih-alih memperbaiki, PPATK justru memilih “memecah cermin” dengan pemblokiran massal. Publik bukan hanya meminta perlindungan, tetapi juga keadilan dan kejelasan.

Pertanyaannya, akankah Prabowo membiarkan cermin itu tetap pecah, atau akan ia ganti dengan cermin baru yang lebih jernih—kebijakan yang benar-benar melindungi tanpa menyakiti rakyatnya?

Di tengah badai protes ini, satu hal jelas: rakyat menanti jawaban, dan Istana bukan tempat untuk bersembunyi di balik kata “tanya Mensesneg.”

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Follow WhatsApp Channel djourno.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Antara Infrastruktur dan Kesejahteraan: Strategi Kebijakan AHY Wujudkan Asta Cita
Hapus Tantiem: Langkah Berani Rosan Roeslani Perbaiki Tata Kelola BUMN  
Megawati: PDIP Dukung Kebijakan Prabowo yang Pro Rakyat, Kritisi Penyimpangan
God Works in Mysterious Ways: Debat Pakar atas Kebijakan Abolisi dan Amnesti Prabowo
Di Balik Kebijakan Prabowo Berikan Abolisi dan Amnesti untuk Tom Lembong dan Hasto
Mengapa Hilirisasi Nikel Tidak Akan Berhasil Tanpa Sinkronisasi Kebijakan?
Kebijakan AI Nasional: Peta Strategis Indonesia Menuju Masa Depan Digital
Kebijakan yang Berhasil Membawa Ekonomi Indonesia Tumbuh di Atas 8%

Berita Terkait

Senin, 4 Agustus 2025 - 15:15 WIB

Antara Infrastruktur dan Kesejahteraan: Strategi Kebijakan AHY Wujudkan Asta Cita

Senin, 4 Agustus 2025 - 10:59 WIB

Hapus Tantiem: Langkah Berani Rosan Roeslani Perbaiki Tata Kelola BUMN  

Minggu, 3 Agustus 2025 - 12:08 WIB

Megawati: PDIP Dukung Kebijakan Prabowo yang Pro Rakyat, Kritisi Penyimpangan

Jumat, 1 Agustus 2025 - 14:25 WIB

God Works in Mysterious Ways: Debat Pakar atas Kebijakan Abolisi dan Amnesti Prabowo

Jumat, 1 Agustus 2025 - 08:37 WIB

Di Balik Kebijakan Prabowo Berikan Abolisi dan Amnesti untuk Tom Lembong dan Hasto

Berita Terbaru