Kwik Kian Gie: Arsitek Kebijakan, Suara Rakyat Kecil

- Penulis

Rabu, 30 Juli 2025 - 06:59 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

djourno.id—Pada malam yang hening, Senin, 28 Juli 2025, Indonesia kehilangan salah satu putra terbaiknya. Kwik Kian Gie, ekonom senior, politikus berintegritas, dan nasionalis sejati.

Ia berpulang di usia 90 tahun di Rumah Sakit Medistra, Jakarta. Lebih dari sekadar duka, kepergiannya mengingatkan kita pada jejak panjang perjuangannya.

Seorang pemikir yang tak pernah lelah memperjuangkan keadilan ekonomi, kedaulatan nasional, dan keberpihakan pada rakyat kecil.

Lewat kebijakan-kebijakan yang ia gagas dan warisan pemikirannya yang relevan hingga kini, Kwik Kian Gie telah menorehkan tinta emas dalam sejarah Indonesia.

 

Jejak Kebijakan: Suara Rakyat di Tengah Krisis

Lahir di Juwana, Pati, Jawa Tengah, pada 11 Januari 1935, Kwik Kian Gie adalah anak dari keluarga Tionghoa yang menanamkan nilai kerja keras dan integritas.

Dengan latar belakang pendidikan di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Nederlandse Economische Hogeschool (kini Erasmus University) di Rotterdam, Belanda, Kwik bukan hanya seorang akademisi, tetapi juga seorang praktisi yang membumi.

Kiprahnya di panggung politik dan pemerintahan dimulai ketika ia bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada 1987, yang kemudian menjadi PDI Perjuangan.

Puncak pengaruhnya terlihat saat ia menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Menko Ekuin) pada 1999–2000 di bawah Presiden Abdurrahman Wahid, serta Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas pada 2001–2004 di era Presiden Megawati Soekarnoputri.

Di tengah badai krisis moneter 1997–1998, Kwik menjadi mercusuar harapan. Ia dengan tegas menentang skema penyelesaian utang ala Dana Moneter Internasional (IMF), yang ia anggap merugikan kedaulatan ekonomi Indonesia.

“Jangan sampai kita disubordinasi secara politik oleh kekuatan asing,” katanya, sebuah prinsip yang menjadi benang merah dalam setiap kebijakannya.

Salah satu kebijakan monumentalnya adalah desain kontrak kerja sama untuk Blok Migas Cepu pada 2004.

Sebagai Kepala Bappenas, Kwik merancang skema di mana ExxonMobil, yang awalnya berposisi sebagai Technical Assistance Contract (TAC), menjadi subordinat Pertamina.

Langkah ini bukan sekadar manuver teknis, tetapi sebuah pernyataan bahwa sumber daya alam Indonesia harus dikelola untuk kepentingan rakyat, bukan korporasi asing.

Meski pemerintahan Megawati berakhir sebelum skema ini terwujud penuh, gagasan ini mencerminkan visinya tentang kedaulatan ekonomi—sebuah visi yang tetap relevan di tengah tantangan globalisasi saat ini.

Kwik juga dikenal sebagai penentang liberalisasi ekonomi yang berlebihan.

Terinspirasi oleh Keynesian Economics dan ajaran ekonom peraih Nobel Jan Tinbergen, ia percaya bahwa negara harus hadir untuk melindungi rakyat kecil, bukan menyerahkan segalanya pada mekanisme pasar.

Kritiknya terhadap privatisasi tanpa kendali dan ketergantungan pada utang luar negeri menjadi pengingat bahwa pertumbuhan ekonomi harus inklusif, bukan hanya menguntungkan segelintir elite.

“Ekonomi yang adil adalah ekonomi yang menyentuh kehidupan masyarakat paling bawah,” ujarnya, sebuah mantra yang ia pegang teguh sepanjang hidupnya.

 

Warisan yang Hidup: Dari Meja Kabinet hingga Ruang Kelas

Baca Juga:  Jonan dan Jalur Lurus: Dari Kereta Rongsok ke Pelayanan Kelas Dunia

Warisan Kwik Kian Gie tak hanya terukir dalam kebijakan pemerintahan, tetapi juga dalam dunia pendidikan dan pemikiran publik.

Sejak muda, ia telah menunjukkan dedikasi pada pendidikan. Pada usia 19 tahun, ia mendirikan SMA Erlangga di Surabaya. Pada 1982, bersama ekonom senior Prof. Panglaykim, ia mendirikan Institut Manajemen Prasetiya Mulya, yang memperkenalkan program MBA pertama di Indonesia.

Dedikasinya berlanjut dengan pendirian Institut Bisnis dan Informatika Indonesia (IBII), yang kini dikenal sebagai Kwik Kian Gie School of Business, sebagai wujud visinya bahwa kemandirian ekonomi tak terpisahkan dari kemandirian intelektual.

Sebagai intelektual publik, Kwik adalah bagian dari “Kelompok Ekonomi 30” bersama tokoh seperti Sjahrir dan Rizal Ramli, yang aktif mengkritik kebijakan ekonomi Orde Baru melalui media massa.

Ketika banyak ekonom memilih bergabung dengan kekuasaan, Kwik memilih berdiri di luar, menjalankan peran “check and balances” dengan kritik berbasis data dan teori.

Ia menyoroti dominasi “Mafia Berkeley” dalam kebijakan ekonomi Orde Baru, yang menurutnya mengabaikan kepentingan rakyat hingga akhirnya ambruk pada 1997.

Pemikirannya tentang kedaulatan ekonomi dan bahaya jebakan utang luar negeri masih bergema, terutama di tengah defisit APBN dan beban utang negara yang kian menumpuk.

Kwik juga meninggalkan warisan moral yang tak kalah penting.

Ia dikenal sebagai politikus yang tak tergiur jabatan, menolak transaksi politik pragmatis, dan konsisten melawan korupsi serta dominasi asing.

“Ia adalah suara akal sehat dalam kebijakan publik,” kata ekonom Syafruddin Karimi, yang mengenang keteguhan Kwik dalam membela rakyat kecil.

Anwar Abbas, Wakil Ketua Umum MUI, menyebutnya sebagai “politikus negarawan” yang berjuang bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi untuk bangsa.

Warisan ini tercermin dalam lima buku yang ia tulis, yang dengan kritis menyoroti kekuasaan, politik, dan ekonomi Indonesia. Buku-buku itu menjadi bacaan wajib bagi mereka yang ingin memahami tantangan bangsa.

 

Inspirasi yang Tak Padam

Kwik Kian Gie bukan sekadar ekonom; ia adalah simbol perlawanan terhadap ketidakadilan.

Dalam setiap kritiknya—baik terhadap oligarki, konglomerasi hitam, atau kebijakan yang merugikan rakyat—ia menunjukkan bahwa keberanian intelektual dan integritas adalah senjata ampuh untuk mengubah bangsa.

Kepergian Kwik Kian Gie meninggalkan kekosongan, tetapi gagasannya tetap hidup.

Di era ketika ketimpangan ekonomi kembali mencuat—dengan data Bank Dunia yang menyebutkan 194,6 juta jiwa di Indonesia hidup dalam kemiskinan pada Juni 2025—suaranya tentang ekonomi berkeadilan terasa semakin relevan.

Ia mengajarkan bahwa pertumbuhan ekonomi bukan sekadar angka, tetapi tentang keadilan, keberlanjutan, dan kesejahteraan rakyat.

Selamat jalan, Pak Kwik. Anda telah menjalani hidup dengan penuh makna, meninggalkan warisan yang akan terus menginspirasi generasi penerus untuk membangun Indonesia yang lebih adil dan berdaulat.

Nama Anda akan selalu dikenang sebagai suara rakyat, penjaga integritas, dan arsitek kedaulatan ekonomi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Follow WhatsApp Channel djourno.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Jejak Kebijakan Suryadharma Ali: Reformasi Tata Kelola Dana Haji dan Produk Halal   
Sri Mulyani: Menjaga Negeri dari Badai Anggaran
Jonan dan Jalur Lurus: Dari Kereta Rongsok ke Pelayanan Kelas Dunia

Berita Terkait

Kamis, 31 Juli 2025 - 14:49 WIB

Jejak Kebijakan Suryadharma Ali: Reformasi Tata Kelola Dana Haji dan Produk Halal   

Rabu, 30 Juli 2025 - 06:59 WIB

Kwik Kian Gie: Arsitek Kebijakan, Suara Rakyat Kecil

Selasa, 22 Juli 2025 - 16:32 WIB

Sri Mulyani: Menjaga Negeri dari Badai Anggaran

Sabtu, 19 Juli 2025 - 08:31 WIB

Jonan dan Jalur Lurus: Dari Kereta Rongsok ke Pelayanan Kelas Dunia

Berita Terbaru