Dilema Kebijakan Tembakau: Demi Alasan Kesehatan, Jutaan Petani Dikorbankan

- Penulis

Senin, 28 Juli 2025 - 16:23 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

djourno.id—Bayangkan seorang petani tembakau di Klaten, yang setiap pagi menyirami tanamannya dengan harapan panennya bisa menafkahi keluarga, kini harus menghadapi ancaman menurunnya permintaan akibat kebijakan baru pemerintah.

Atau seorang buruh rokok di Jawa Tengah, yang kehilangan pekerjaan setelah pabrik tempatnya bekerja tutup, menyusul aturan ketat yang membuat produksi rokok legal merosot.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, yang mengatur pengendalian zat adiktif dalam Industri Hasil Tembakau (IHT), telah memicu gelombang kekhawatiran.

Aturan ini, meski bertujuan melindungi kesehatan masyarakat, dinilai mengancam jutaan petani, buruh, dan pelaku UMKM di sentra-sentra tembakau.

Mengapa kebijakan ini menuai penolakan? Bagaimana seharusnya pemerintah menyeimbangkan kesehatan publik dengan kesejahteraan ekonomi?

 

Petani dan Buruh di Ujung Tanduk

PP Nomor 28 Tahun 2024, yang menggantikan 31 peraturan sebelumnya, memperketat pengendalian tembakau melalui larangan penjualan rokok eceran, pembatasan iklan dalam radius 500 meter dari sekolah dan tempat bermain anak, serta rencana kemasan polos tanpa merek.

Subaan Abdul Rahman, Ketua FSP-RTMM-SPSI Jawa Tengah, menyebut tiga dampak utama: penurunan produksi rokok legal, melemahnya daya beli masyarakat, dan melonjaknya peredaran rokok ilegal.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 mencatat 1,46 juta pekerja di sektor tembakau, dengan 342.417 di industri mikro dan 868.434 di industri kecil.

Namun, jumlah pabrik rokok merosot dari 4.793 pada 2007 menjadi 1.100 pada 2022, sebagian akibat kenaikan cukai dan regulasi ketat.

Kasus pailitnya PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) di Jawa Tengah, yang menyebabkan 10.969 pekerja kehilangan pekerjaan pada Maret 2025, menjadi peringatan nyata.

Dampaknya tidak hanya pada buruh, tetapi juga pedagang lokal, pemilik kos, dan UMKM di sekitar pabrik.

Sementara itu, peredaran rokok ilegal melonjak, dengan penindakan meningkat dari 253,7 juta batang pada 2023 menjadi 710 juta batang pada 2024.

Kebijakan ini, meski bertujuan mengurangi prevalensi perokok (70 juta orang, 7,4% di antaranya anak usia 10-18 tahun, menurut Survei Kesehatan Indonesia 2023), justru memukul perekonomian rakyat kecil.

 

Niat Baik Kebijakan

Tujuan PP Nomor 28 Tahun 2024 untuk melindungi kesehatan masyarakat patut diapresiasi. Menurut Kementerian Kesehatan, merokok menyebabkan penyakit seperti kanker paru, jantung, dan PPOK, dengan biaya kesehatan akibat rokok mencapai Rp17,9-27,7 triliun per tahun pada 2019, setara 61,75-91,8% defisit JKN.

Larangan penjualan rokok eceran dan pembatasan iklan di dekat sekolah bertujuan menekan akses anak dan remaja, yang menurut Global Youth Tobacco Survey 2019 menunjukkan peningkatan perokok usia 13-15 tahun dari 18,3% (2016) ke 19,2%.

Kebijakan ini sejalan dengan rekomendasi WHO Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), yang menegaskan bahwa regulasi ketat seperti larangan iklan dan penjualan eceran efektif menurunkan konsumsi tembakau.

Baca Juga:  Antara Infrastruktur dan Kesejahteraan: Strategi Kebijakan AHY Wujudkan Asta Cita

Dukungan terhadap kebijakan ini penting karena memperkuat legitimasi sosial, sebagaimana ditegaskan oleh teori kebijakan publik John Bryson, yang menekankan peran stakeholder dalam keberhasilan implementasi.

 

Mencari Keseimbangan Kesehatan dan Ekonomi

Namun, meski niatnya mulia, PP Nomor 28 Tahun 2024 dinilai kurang mempertimbangkan dampak ekonomi dan sosial, terutama bagi petani tembakau dan buruh.

Bupati Klaten Hamenang Wajar Ismoyo menyoroti bahwa Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT), yang mencapai Rp246,07 triliun pada 2024, merupakan penopang perekonomian daerah seperti Klaten.

Namun, regulasi ketat ini mengurangi serapan tembakau, memukul petani yang sudah terpuruk—di Temanggung, misalnya, petani tembakau tetap miskin meski sektor ini menyumbang Rp213 triliun cukai pada 2023.

Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun memperingatkan bahwa kebijakan cukai yang eksesif, seperti pada Sigaret Kretek Mesin (SKM I), menyebabkan kontraksi produksi, seperti dialami Gudang Garam.

Dari perspektif ilmu kebijakan publik, model Thomas Dye menekankan perlunya mengantisipasi dampak sekunder. PP ini gagal melakukannya, terutama karena minimnya dialog dengan stakeholder seperti petani, buruh, dan pedagang.

Lemahnya penegakan hukum terhadap rokok ilegal—yang lebih murah (Rp13.000 per 20 batang dibandingkan Rp30.000 untuk rokok legal)—juga memperparah situasi, sebagaimana dikhawatirkan Asosiasi Pasar Rakyat Seluruh Indonesia (Aparsi).

Karena itu beberapa langkah perlu dipertimbangkan. Pertama, tunda kenaikan cukai hingga 2027 untuk pemulihan industri, seperti diusulkan Gappri;

kedua, perkuat operasi pemberantasan rokok ilegal dengan melibatkan serikat pekerja; ketiga, alokasikan DBHCHT untuk pelatihan alih profesi bagi petani dan buruh; dan keempat, buka dialog dengan pelaku industri dan daerah melalui Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) untuk mencari win-win solution.

 

Menuju Kebijakan yang Lebih Adil

PP Nomor 28 Tahun 2024 adalah langkah berani untuk kesehatan publik, tetapi tanpa keseimbangan, kebijakan ini berisiko menciptakan gelombang pengangguran dan kemiskinan.

Dukungan terhadap aspek-aspek positifnya, seperti perlindungan anak dari rokok, harus diiringi dengan langkah antisipatif untuk memperbaiki dampak buruknya.

Pemerintah perlu mengadopsi pendekatan berbasis data, seperti simulasi WHO yang menunjukkan kenaikan cukai 25% dapat mengurangi perokok dua kali lipat lebih efektif daripada 10%, sambil mengalokasikan pendapatan untuk kesehatan dan alih profesi.

Gerakan “Advokasi IHT Terintegrasi” FSP-RTMM-SPSI dan desakan Bupati Klaten untuk dialog menunjukkan urgensi keterlibatan stakeholder.

Dengan menyeimbangkan kesehatan dan ekonomi, pemerintah dapat memastikan bahwa petani tembakau, buruh, dan pedagang kecil tidak menjadi korban kebijakan yang seharusnya melindungi rakyat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Follow WhatsApp Channel djourno.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Antara Infrastruktur dan Kesejahteraan: Strategi Kebijakan AHY Wujudkan Asta Cita
Hapus Tantiem: Langkah Berani Rosan Roeslani Perbaiki Tata Kelola BUMN  
Megawati: PDIP Dukung Kebijakan Prabowo yang Pro Rakyat, Kritisi Penyimpangan
God Works in Mysterious Ways: Debat Pakar atas Kebijakan Abolisi dan Amnesti Prabowo
Di Balik Kebijakan Prabowo Berikan Abolisi dan Amnesti untuk Tom Lembong dan Hasto
Di Balik Kebijakan PPATK Blokir Rekening Nganggur: Perlindungan atau Penyiksaan Rakyat?
Mengapa Hilirisasi Nikel Tidak Akan Berhasil Tanpa Sinkronisasi Kebijakan?
Kebijakan AI Nasional: Peta Strategis Indonesia Menuju Masa Depan Digital

Berita Terkait

Senin, 4 Agustus 2025 - 15:15 WIB

Antara Infrastruktur dan Kesejahteraan: Strategi Kebijakan AHY Wujudkan Asta Cita

Senin, 4 Agustus 2025 - 10:59 WIB

Hapus Tantiem: Langkah Berani Rosan Roeslani Perbaiki Tata Kelola BUMN  

Jumat, 1 Agustus 2025 - 14:25 WIB

God Works in Mysterious Ways: Debat Pakar atas Kebijakan Abolisi dan Amnesti Prabowo

Jumat, 1 Agustus 2025 - 08:37 WIB

Di Balik Kebijakan Prabowo Berikan Abolisi dan Amnesti untuk Tom Lembong dan Hasto

Kamis, 31 Juli 2025 - 09:06 WIB

Di Balik Kebijakan PPATK Blokir Rekening Nganggur: Perlindungan atau Penyiksaan Rakyat?

Berita Terbaru